oleh Ibnu Piatu Yatim pada 17 Desember 2010 jam 10:51
BID’AH
(Aswaja) Bid’ah ada 2 yaitu bid’ah Hasanah dan bid’ah dlolalah
(Wahabi) Bid’ah semua dlolalah (sesat)
@Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
@1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaituBid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram. Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
MAULID
(Aswaja) Sunnah >< (Wahabi) Haram
@Tersebut di dalam kitab I’anathuth Tholibin oleh Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi:-
1. Telah berkata Imam Hasan al-Bashri (Wafat 116H, pernah bertemu dengan lebih kurang 100 orang shahabat): “Aku kasih jika ada bagiku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul”.
2. Telah berkata Shaikh Junaid al-Baghdadi (wafat 297H): “Sesiapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan kadar baginda, maka telah berjayalah dia dengan iman”.
@Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi: Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak? Dan jawabannya di sisiku: Bahwasanya asal kepada perbuatan maulid, yaitu mengadakan perhimpunan orang ramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya kerana padanya mengagungkan kemuliaan Nabi SAW dan memperlihatkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.
@Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa as, ataupun kecintaan kepada Nabi SAW dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…” Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”
@Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yangmendatangkan pahala.
TAWASSUL
(Aswaja) Sunnah ; (Wahabi) Haram jika dengan orang yang sudah meninggal dunia
@Nabi Adam Bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Sebelum Nabi Muhammad Lahir Umar ra. berkata bahwa baginda Rasulullah SAW berkata : “Tatkala Nabi Adam a.s. telah berbuat kesalahan (yang dengan sebab itu nabi Adam a.s. telah dihantar dari sorga ke dunia ini maka baginda a.s. senantiasa berdoa dan beristighfar sambil menangis-nangis). Sekali beliau mengangkat kepalanya ke langit dan memohon : “Ya Allah aku memohon (keampunan) kepada Engkau dengan berkat Muhammad SAW “ Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya : “Siapakah Muhammad SAW ini, yang engkau memohon keampunan dengan berkatnya? Baginda a.s menjawab : Ketika Engkau jadikan aku, maka sekali daku melihat ke ‘arsymu dan terpandang tulisan Laa ilaha illallahu Muhammadurrasuulullahi (Tidak ada tuhan yang berhaq disembah melainkan Allah – Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah). Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya disisiMu yang namanya Engkau letakan bersama Nama Mu”. Lantas Allah mewahyukan kepada baginda a.s. : ” Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi Akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka pasti aku tidak akan menciptakanmu” (Dikeluarkan dari Thabrani dalam Jami’ushaghir dan juga Hakim dan Abu Nu’aim dan Baihaqi keduanya dalam dalam kitab ad-dalail).
@Dahulu Rasulullah mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah dengan lantas menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafaatnya (Nabi) dengan mengatakan: (Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku). (Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah)
@Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan: (Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
@Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
@Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat:Kitab “Fathul Bari” 2/577)
@Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah: (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku) Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
ZIARAH KUBUR (Aswaja) Sunnah , (Wahabi) Haram jika dilakukan dengan bepergian
@Beliau saw bersabda : “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim hadits no.977 dan 1977)
@Rasul saw berbicara kepada yg mati sebagaimana selepas perang Badr, Rasul saw mengunjungi mayat mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’, wahai syaibah bin rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yg dijanjikan Allah pada kalian…?!, sungguh aku telah menemukan janji tuhanku benar..!”, maka berkatalah Umar bin Khattab ra : “wahai rasulullah.., kau berbicara pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”, Rasul saw menjawab : “Demi (Allah) Yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama sama mendengarku), akan tetapi mereka tak mampu menjawab” (shahih Muslim hadits no.6498).
@Makna ayat : “Sungguh Engkau tak akan didengar oleh yg telah mati”. Berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yg dimaksud orang yg telah mati adalah orang kafir yg telah mati hatinya dg kekufuran, dan Imam Qurtubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yg terbunuh di perang Badr. (Tafsir Qurtubi Juz 13 hal 232).
@Berkata Imam Ibn katsir rahimahullah dalam tafsirnya : “walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna ucapan Rasul saw pada mayat mayat orang kafir pada peristiwa Badr, namun yg paling shahih diantara pendapat para ulama adalah riwayat Abdullah bin Umar ra dari riwayat riwayat shahih yg masyhur dengan berbagai riwayat, diantaranya riwayat yg paling masyhur adalah riwayat Ibn Abdilbarr yg menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas ra dg riwayat Marfu’ bahwa : “tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara uslimnya didunia, terkecuali Allah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”, dan hal ini dikuatkan dengan dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul saw memerintahkan mengucapkan salam pada ahlilkubur, dan salam hanyalaha diucapkan pada yg hidup, dan salam hanya diucapkan pada yg hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan karena riwayat ini maka mereka (ahlil kubur) adalah sama dengan batu dan benda mati lainnya. Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan hal ini, dan telah muncul riwayat yg mutawatir (riwayat yg sangat banyak) dari mereka, bahwa Mayyit bergembira dengan kedatangan orang yg hidup ke kuburnya”. Selesai ucapan Imam Ibn Katsir (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 3 hal 439)
SHOLAT DI MASJID YANG ADA KUBURNYA (Aswaja) Mubah , (Wahabi) Haram
@Berkata Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar : “Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dg merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yg dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525) @Berkata Imam Al Muhaddits Ibn Hajar Al Atsqalaniy : “hadits hadits larangan ini adalah larangan shalat dg menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sah nya shalat, (*maksudnya bilapun shalat diatas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar ra berkata : kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).
JENGGOT (Aswaja) Sunnah ; (Wahabi) Wajib
Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hukum memotong sebagian jenggot. Sebagian besar ‘ulama memakruhkan, sebagian lagi membolehkannya (lihat Ibn ‘Abd al-Barr, al-Tamhîd, juz 24, hal. 145). Salah seorang ‘ulama yang membolehkan memotong sebagian jenggot adalah Imam Malik, sedangkan yang memakruhkan adalah Qadliy ‘Iyadl. Untuk menarik hukum mencukur jenggot dan memelihara jenggot harus diketengahkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berbicara tentang pemeliharaan jenggot dan pemangkasan jenggot. Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang berbicara tentang masalah pemeliharaan jenggot. Imam Bukhari mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis. Adalah Ibnu ‘Umar, jika ia menunaikan haji atau umrah, maka ia menggenggam jenggotnya, dan memotong kelebihannya.” Imam Muslim juga meriwayat hadits yang isinya senada dengan riwayat Imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar, namun dengan menggunakan redaksi yang lain: “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot.” Riwayat-riwayat sama juga diketengahkan oleh Abu Dawud, dan lain sebagainya.Imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, bahwadhahir hadits di atas adalah perintah untuk memanjangkan jenggot, atau membiarkan jenggot tumbuh panjang seperti apa adanya. Qadliy Iyadlmenyatakan: “Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan, dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.[/i]” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Menurut Imam An-Nawawi, para ‘ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar,Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351). Sebagian ‘ulama tidak memberikan batasan apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan. Imam Malik memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ‘ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) mesti dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442).
Menurut Imam Ath-Thabari, para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya. Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya. Dari ‘Atha dan ‘ulama-‘ulama lain, dituturkan bahwasanya larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengan tasyabbuh, atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir yang saat itu biasa memangkas jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sedangkan Imam An-Nawawimenyatakan, bahwa yang lebih tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas maupun dikurangi (Imam An-Nawawi,Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy. Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja. Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagiannya, dan disunnahkan panjangnya serasi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426). Al-Thaiyyibiy melarang mencukur jenggot seperti orang-orang A’jam (non muslim) dan menyambung jenggot seperti ekor keledai. Al-Hafidz Ibnu Hajarmelarang mencukur jenggot hingga habis (Ibid, juz 4, hal. 426).
Kami berpendapat bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram. Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub).
ISBAL
(Aswaja) Mubah ,(Wahabi) Haram “Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.] Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]
Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur. Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).” Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.” Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.” Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya.
Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.” Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa adataqyiid. Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut: “Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, danat-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim]. “Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal) .Selanjutnya, Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.” Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. Ath-Thabrani dari haditsnya Abu Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki. Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid(pembatas) “khuyalaa’”.
Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram. Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’ [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbal karena sombong.
Hadits yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyadadalah wajib….” Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram. Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam bentukmuthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadits-hadits di atas.
HADIAH PAHALA UNTUK ORANG MENINGGAL (Aswaja) Sampait; (Wahabi) Tidak sampai (sia-sia)
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 : “ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah” Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25). Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan “ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya” Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni “Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi “ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”. (Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi “Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban: “Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
@Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah: “sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442) Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian. Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
@Imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….” Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
@Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 : “Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”. Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 : “Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu :
1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya,
2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya,
3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”. Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 : “Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
BID’AH
(Aswaja) Bid’ah ada 2 yaitu bid’ah Hasanah dan bid’ah dlolalah
(Wahabi) Bid’ah semua dlolalah (sesat)
@Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
@1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaituBid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram. Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
MAULID
(Aswaja) Sunnah >< (Wahabi) Haram
@Tersebut di dalam kitab I’anathuth Tholibin oleh Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi:-
1. Telah berkata Imam Hasan al-Bashri (Wafat 116H, pernah bertemu dengan lebih kurang 100 orang shahabat): “Aku kasih jika ada bagiku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul”.
2. Telah berkata Shaikh Junaid al-Baghdadi (wafat 297H): “Sesiapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan kadar baginda, maka telah berjayalah dia dengan iman”.
@Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi: Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak? Dan jawabannya di sisiku: Bahwasanya asal kepada perbuatan maulid, yaitu mengadakan perhimpunan orang ramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya kerana padanya mengagungkan kemuliaan Nabi SAW dan memperlihatkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.
@Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa as, ataupun kecintaan kepada Nabi SAW dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…” Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”
@Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yangmendatangkan pahala.
TAWASSUL
(Aswaja) Sunnah ; (Wahabi) Haram jika dengan orang yang sudah meninggal dunia
@Nabi Adam Bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Sebelum Nabi Muhammad Lahir Umar ra. berkata bahwa baginda Rasulullah SAW berkata : “Tatkala Nabi Adam a.s. telah berbuat kesalahan (yang dengan sebab itu nabi Adam a.s. telah dihantar dari sorga ke dunia ini maka baginda a.s. senantiasa berdoa dan beristighfar sambil menangis-nangis). Sekali beliau mengangkat kepalanya ke langit dan memohon : “Ya Allah aku memohon (keampunan) kepada Engkau dengan berkat Muhammad SAW “ Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya : “Siapakah Muhammad SAW ini, yang engkau memohon keampunan dengan berkatnya? Baginda a.s menjawab : Ketika Engkau jadikan aku, maka sekali daku melihat ke ‘arsymu dan terpandang tulisan Laa ilaha illallahu Muhammadurrasuulullahi (Tidak ada tuhan yang berhaq disembah melainkan Allah – Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah). Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya disisiMu yang namanya Engkau letakan bersama Nama Mu”. Lantas Allah mewahyukan kepada baginda a.s. : ” Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi Akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka pasti aku tidak akan menciptakanmu” (Dikeluarkan dari Thabrani dalam Jami’ushaghir dan juga Hakim dan Abu Nu’aim dan Baihaqi keduanya dalam dalam kitab ad-dalail).
@Dahulu Rasulullah mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah dengan lantas menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafaatnya (Nabi) dengan mengatakan: (Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku). (Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah)
@Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan: (Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
@Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
@Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat:Kitab “Fathul Bari” 2/577)
@Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah: (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku) Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
ZIARAH KUBUR (Aswaja) Sunnah , (Wahabi) Haram jika dilakukan dengan bepergian
@Beliau saw bersabda : “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim hadits no.977 dan 1977)
@Rasul saw berbicara kepada yg mati sebagaimana selepas perang Badr, Rasul saw mengunjungi mayat mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’, wahai syaibah bin rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yg dijanjikan Allah pada kalian…?!, sungguh aku telah menemukan janji tuhanku benar..!”, maka berkatalah Umar bin Khattab ra : “wahai rasulullah.., kau berbicara pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”, Rasul saw menjawab : “Demi (Allah) Yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama sama mendengarku), akan tetapi mereka tak mampu menjawab” (shahih Muslim hadits no.6498).
@Makna ayat : “Sungguh Engkau tak akan didengar oleh yg telah mati”. Berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yg dimaksud orang yg telah mati adalah orang kafir yg telah mati hatinya dg kekufuran, dan Imam Qurtubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yg terbunuh di perang Badr. (Tafsir Qurtubi Juz 13 hal 232).
@Berkata Imam Ibn katsir rahimahullah dalam tafsirnya : “walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna ucapan Rasul saw pada mayat mayat orang kafir pada peristiwa Badr, namun yg paling shahih diantara pendapat para ulama adalah riwayat Abdullah bin Umar ra dari riwayat riwayat shahih yg masyhur dengan berbagai riwayat, diantaranya riwayat yg paling masyhur adalah riwayat Ibn Abdilbarr yg menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas ra dg riwayat Marfu’ bahwa : “tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara uslimnya didunia, terkecuali Allah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”, dan hal ini dikuatkan dengan dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul saw memerintahkan mengucapkan salam pada ahlilkubur, dan salam hanyalaha diucapkan pada yg hidup, dan salam hanya diucapkan pada yg hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan karena riwayat ini maka mereka (ahlil kubur) adalah sama dengan batu dan benda mati lainnya. Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan hal ini, dan telah muncul riwayat yg mutawatir (riwayat yg sangat banyak) dari mereka, bahwa Mayyit bergembira dengan kedatangan orang yg hidup ke kuburnya”. Selesai ucapan Imam Ibn Katsir (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 3 hal 439)
SHOLAT DI MASJID YANG ADA KUBURNYA (Aswaja) Mubah , (Wahabi) Haram
@Berkata Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar : “Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dg merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yg dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525) @Berkata Imam Al Muhaddits Ibn Hajar Al Atsqalaniy : “hadits hadits larangan ini adalah larangan shalat dg menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sah nya shalat, (*maksudnya bilapun shalat diatas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar ra berkata : kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).
JENGGOT (Aswaja) Sunnah ; (Wahabi) Wajib
Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hukum memotong sebagian jenggot. Sebagian besar ‘ulama memakruhkan, sebagian lagi membolehkannya (lihat Ibn ‘Abd al-Barr, al-Tamhîd, juz 24, hal. 145). Salah seorang ‘ulama yang membolehkan memotong sebagian jenggot adalah Imam Malik, sedangkan yang memakruhkan adalah Qadliy ‘Iyadl. Untuk menarik hukum mencukur jenggot dan memelihara jenggot harus diketengahkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berbicara tentang pemeliharaan jenggot dan pemangkasan jenggot. Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang berbicara tentang masalah pemeliharaan jenggot. Imam Bukhari mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis. Adalah Ibnu ‘Umar, jika ia menunaikan haji atau umrah, maka ia menggenggam jenggotnya, dan memotong kelebihannya.” Imam Muslim juga meriwayat hadits yang isinya senada dengan riwayat Imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar, namun dengan menggunakan redaksi yang lain: “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot.” Riwayat-riwayat sama juga diketengahkan oleh Abu Dawud, dan lain sebagainya.Imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, bahwadhahir hadits di atas adalah perintah untuk memanjangkan jenggot, atau membiarkan jenggot tumbuh panjang seperti apa adanya. Qadliy Iyadlmenyatakan: “Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan, dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.[/i]” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Menurut Imam An-Nawawi, para ‘ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar,Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351). Sebagian ‘ulama tidak memberikan batasan apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan. Imam Malik memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ‘ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) mesti dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442).
Menurut Imam Ath-Thabari, para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya. Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya. Dari ‘Atha dan ‘ulama-‘ulama lain, dituturkan bahwasanya larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengan tasyabbuh, atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir yang saat itu biasa memangkas jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sedangkan Imam An-Nawawimenyatakan, bahwa yang lebih tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas maupun dikurangi (Imam An-Nawawi,Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy. Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja. Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagiannya, dan disunnahkan panjangnya serasi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426). Al-Thaiyyibiy melarang mencukur jenggot seperti orang-orang A’jam (non muslim) dan menyambung jenggot seperti ekor keledai. Al-Hafidz Ibnu Hajarmelarang mencukur jenggot hingga habis (Ibid, juz 4, hal. 426).
Kami berpendapat bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram. Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub).
ISBAL
(Aswaja) Mubah ,(Wahabi) Haram “Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.] Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]
Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur. Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).” Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.” Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.” Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya.
Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.” Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa adataqyiid. Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut: “Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, danat-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim]. “Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal) .Selanjutnya, Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.” Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. Ath-Thabrani dari haditsnya Abu Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki. Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid(pembatas) “khuyalaa’”.
Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram. Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’ [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbal karena sombong.
Hadits yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyadadalah wajib….” Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram. Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam bentukmuthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadits-hadits di atas.
HADIAH PAHALA UNTUK ORANG MENINGGAL (Aswaja) Sampait; (Wahabi) Tidak sampai (sia-sia)
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 : “ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah” Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25). Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan “ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya” Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni “Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi “ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”. (Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi “Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban: “Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
@Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah: “sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442) Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian. Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
@Imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….” Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
@Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 : “Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”. Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 : “Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu :
1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya,
2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya,
3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”. Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 : “Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Artikel Terkait