Thursday, 16 June 2011

Dapatkah Kita Hidup Tanpa Cinta ?

Apakah cinta itu adalah naluri alami yang ditetapkan Allah bagi manusia? Apakah manusia dapat menjalani hidup tanpa cinta? apakah manusia tidak memerlukan cinta? Dapatkah ia hidup tanpa mencintai dan dicintai? Dapatkah hal itu terjadi? tentu tidak mungkin!!

Tak seorang pun yang dapat hidup tanpa cinta. Inilah fitarah (sifat bawaan). Ini naluri, insting, watak, tabiat. Kalau Allah tidak menciptakannya pada diri kita, maka tidak ada harapan bagi manusia untuk bertahan hidup dan berkembang biak (mempertahankan kelangsungan hidup).

Naluri atau insting adalah salah satu factor alam semesta ini yang terus berjalan. Jadi tidak mungkin kita berfikir untuk memaksakan naluri, tidak mungkin kita mematikan fungsi naluri ini dalam hidup kita dan tidak mugkin pula kita bersikap bodoh dan berpura-pura tidak tahuketika kita memperbincangkan masalah ini.

Sebagian orang mengira bahwa karena kita berbicara dalam bingkai agama, maka tidak ada yang namanya cinta. Tentu saja, ini merupakan pola pikir yang keliru dan tidak tepat.

Naluri diciptakan ketika awal kehidupan, sejak diciptakan Adam as. Hadis Nabi menyebutkan bahwa ketika masuk surga, Adam merasa kesepian. Artinya, meskipun hidup di surga ia merasakan ada sesuatu yang kurang.

Ia merasa bahwa dirinya membutuhkan Hawa. Patut dicatat, ungkapan ini bukan sekedar imajinasi, khayalan belaka, namun benar-benar bersumber dari hadis Nabi saw. Ketika Adam tidur, Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuknya. Adam pun terbangun dan mendapati Hawa telah berada di sisinya. 

“Siapa engkau?,” Tanya Adam.
“Aku seorang wanita.”
"Siapa namamu?”
“Hawa.”
“Mengapa engkau diciptakan?”
“Agar engkau merasa senag kepadaku.”

Artinya, Hawa menjadi symbol ketentraman, agar engkau merasa senang kepadaku, agar engkau menyukaiku, bukan karena Hawa menjadi budaknya atau miliknya. Maksudnya, hai adam dan semua kaum Adam di muka bumi ini sampai hari kiamat, kalian tidak akan merasa senang, merasa tentram kecuali ada Hawa di sisimu. Inilah Agama kita, Islam kita, dan pemahaman kita tentang agama ini.Anehnya dalam kitab-kitab samawi dan kitab selain samawi dalam agama lain menggambarkan wanita seakan-akan bukan dari jenis manusia, atau yang memiliki martabat yang rendah dan berada di bawah kaum laki-laki.

Ada juga yang memandang wanita(Hawa) sebagi biang keladi kemaksiatan Adam dan menjadi penyebab turunnya adam ke bumi, menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kesedihan adam memakan buah khuldi. Akan tetapi, sebenarnya alquran tidak pernah menyebutkan hal ini. Sebaliknya Al-quran memposisika kedua orang (Adam dan Hawa) derajat dan tanggung jawab yang sama. Allah berfirman: “ Maka setan membisikan pikiran jahat kepada keduanyauntuk menampakan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka yaitu auratnya dan setan berkata, ‘Tuhan engkau tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya engkau berdua tidak menjadi malaikat atau menjadi orang yang tidak kekal (dalam surga).” ( Q.S Al- A’rof : 20)

Ayat-ayat tentang kisah Adam dan Hawa ini tidak menyebutkan bahwa iblis hanya menertawakan dan menipu Hawa saja, tetapi Iblis menggelincirkan keduanya, membisiki keduanya, sekali lagi keduanaya, liat aja domir (kata ganti) yang dipake adalah mutsanna ghooib (Humaa). Dengan demikian, tanggung jawab ini harus dipikul keduanya.

Sejumlah atsar dan kisah kaum-kaum terdahulu (al-shabiqin) mengisahkan bahwa Adam turun di India sementara Hawa turun di Jeddah. Barangkali disinilah munculnya nama Jeddah Al-Kubra (nenek tertua) anak cucu Adam. 

Dikisahkan juga bahwa Adam terus saja mencari Hawa hingga akhirnya kedua orag ini bertemu di gunung Arafah, kalau diperhatikan bahwa arafah dekat ke Jeddah daripada India. Jadi Adam-lah yang merasa sangat lelah dan paling banyak mencari Hawa sampai ke Arofah!!!

Sebenarnya, dalam sejumlah penafsiran dapat ditemukan sebuah ungkapan yang sangat indah. Materi ini mengandung ketenangan, bukan beban yang menghimpit seperti yang dipandang sebagian orang. Al Qurthubi menyebutkan bahwa para malaikat bertanya kepada Adam, “Apakah engakau mencintai Hawa?” Adam menjawab “Ya.” Para malaikat kemudian bertanya kepada Hawa, “Apakah engkau mencintai Adam?”. Ia menjawab “Tidak.” Padahal, dalam hatinya tersimpan rasa cinta yang jauh lebih besar dari pada rasa cinta yang dimiliki Adam! Aku menceritakan hal ini agar kita dapat menyebutkan bahwa insting atau naluri mencintai muncul sejak penciptaan Adam dan Hawa.


Terinspirasi dari buku "Ya Allah Taburkan Cinta Pada Kami......"
Artikel Terkait

Comments
1 Comments

1 comments:

Anonymous said...

hidup tanpa cinta??
sepertinya gak mungkin,,
karena cinta pertama kepada Rabb :)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...