Ayat mutasyabihat dalam Al-Quran adalah ayat yang secara dzohir makna dan arti lafadznya bertentangan dengan ayat muhkam yang qot'i dan yakin. juga makna dari ayat itu memungkinkan kepada makna yang banyak seperti (contoh) ayat ''yadullaahi fauqo aydiihim'' (al-fath:10) ''bal yadaahu mabsuthotaani yunfiqu kaifa yasyaa'' (Al-maidah : 64) ''arrohmaanu 'alal'arsyistawaa'' (Thoha : 5) "walitusna'a 'ala 'ainii" (Thoha : 39), "washbir lihukmi robbika fainnaka bia'yuninaa" (Atthur: 47)
coba lihat secara bahasa artinya yad = 1 tangan, yadaan = 2 tangan, istawa = duduk, 'ain=mata, a'yun = mata yang banyak, secara dzohir ayat tersebut bertentangan dengan ayat lain dan juga dengan ayat muhkam yang bermakna jelas dan tidak ada kemungkinan lain seperti ''laisa kamitslihi syaiun'', "walam yakullahu kufuwan ahad" yang menerangkan bahwa Allah itu tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Para ulama telah bersepakat bahwa Allah terlepas dan suci dari apa yang ditunjukan menurut dzohir nash Al-Quran tersebut yang menafikan kesempurnaan Allah dan ketuhanan-Nya, namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah penempatan dalam nash mutasyabihat ke 2 golongan utama :
1. Madzhab salaf
tidak menyelami ayat tersebut ke takwil atau tafsir terperinci (tafshili) apapun, dan cukup menetapkan (itsbat) apa yang telah ditetapkan Allah untuk dzat-Nya dan mensucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap makhluk , jalan yang diambil adalah takwil ijmali (global) terhadap teks, dan menyerahkan ilmu detail dan maksudnya kepada ilmu Allah 'azza wajalla (tafwidh).
Adapun membiarkan nash tersebut secara dzohir tanpa takwil ijmali atau tafhsili maka tidak pernah ditempuh oleh salaf maupun kholaf, jika dibiarkan seperti itu maka akan ada banyak makna yang bertentangan dalam sifat ini, seperti 'ain (mata) dalam satu ayat dalam bentuk tunggal (lihat Thoha 39), dan di ayat lain dalam bentuk jamak (lihat atthur: 48), juga ayat tentang Allah istiwa di 'ars (Thoha : 5) dengan ayat tentang Allah lebih dekat dari urat leher ( Qof : 16), jika dibiarkan secara dzohir maka akan ada pertentangan yang nyata dalam Al-Quran.
Adapun jika anda mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap Makhluk yang menempati tempat, mempunyai anggota badan, bentuk dan gambaran, kemudian menetapkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk Dzatnya yang pantas dan sesuai dengan kemuliaan-Nya, dengan menyerahkan rincian dan detail maknanya serta maksudnya dari nash2 tersebut kepada Allah (tafwidh), anda selamat dari pertentangan dalam memahami ayat Quran dari sangkaan. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh salaf rahimahumullah.
2. Madzhab kholaf
madzhab yang datang setelahnya, takwil nash-nash tersebut sejalan dan disesuaikan dengan nash yang muhkam yang menyucikan Allah dari arah, tempat dan anggota badan. Mereka mentakwil ayat istiwa dengan "tasalluthilquwwah wassulthon" ia merupakan makna yang telah tetap dr segi bahasa dan sesuai, menafsirkan "yad" dengan "quwwah atau karom" menafsirkan "ain" dengan "'inayah warri'aayah' dan lain sebagainya.
Madzhab salaf pada masanya adalah yang paling utama dan paling selamat dan sesuai dengan fitrah iman yang tertancap di akal dan hati, dan madzhab kholaf pada masanya adalah sebuah jalan yang tidak bisa dihindarkan karena pada saat itu banyaknya aliran pemikiran (filsafat, mantiq dll) dan diskusi ilmiyah, dan disebabkan pula oleh jelasnya bahwa bahasa arab adalah bahasa yang dipenuhi dengan kaidah majaz, tasybih (penyerupaan) dan isti'aroh (peminjaman makna).
Yang terpenting dalam masalah ini adalah kita mengetahui bahwa dari kedua manhaj tersebut bertujuan ke arah yang satu, yaitu bahwa tidak ada yang menyerupai Allah 'azza wajalla, dan Allah bersih dan suci dari segala sifat kurang, adapun perbedaan (ikhtilaf) antara kedua madzhab tersebut adalah dalam masalah perbedaan lafdhi dan syakli (bentuk) saja.
Namun secara menyeluruh ada 5 jenis cara dalam menyikapi ayat mutasyabihat,
1. Tafwidh muthlak (menyerahkan makna dan maksudnya kepada Allah)
2. Takwil ( menggeser makna dzohirnya ke makna yang sesuai dengan dalil syara dan bahasa)
3. Itsbat wattanziih ( menetapkan dan mensucikan Allah dari penyerupaan dan kekurangan)
4. Ta'thiil ( menggeser makna dzohirnya tanpa ada dalil seperti muktazilah yang mengingkari melihat Allah di akhirat)
5. Tajsiim, tasybih ( menyerupakan Allah dengan makhluk seperti Allah punya tangan dan mata seperti kita dll)
(sedikit kutipan dari bab tentang mensucikan Allah dari segala sifat yg bertentangan dengan sifat wajib dan dari segala kekurangan, Dr. Buthi)
coba lihat secara bahasa artinya yad = 1 tangan, yadaan = 2 tangan, istawa = duduk, 'ain=mata, a'yun = mata yang banyak, secara dzohir ayat tersebut bertentangan dengan ayat lain dan juga dengan ayat muhkam yang bermakna jelas dan tidak ada kemungkinan lain seperti ''laisa kamitslihi syaiun'', "walam yakullahu kufuwan ahad" yang menerangkan bahwa Allah itu tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Para ulama telah bersepakat bahwa Allah terlepas dan suci dari apa yang ditunjukan menurut dzohir nash Al-Quran tersebut yang menafikan kesempurnaan Allah dan ketuhanan-Nya, namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah penempatan dalam nash mutasyabihat ke 2 golongan utama :
1. Madzhab salaf
tidak menyelami ayat tersebut ke takwil atau tafsir terperinci (tafshili) apapun, dan cukup menetapkan (itsbat) apa yang telah ditetapkan Allah untuk dzat-Nya dan mensucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap makhluk , jalan yang diambil adalah takwil ijmali (global) terhadap teks, dan menyerahkan ilmu detail dan maksudnya kepada ilmu Allah 'azza wajalla (tafwidh).
Adapun membiarkan nash tersebut secara dzohir tanpa takwil ijmali atau tafhsili maka tidak pernah ditempuh oleh salaf maupun kholaf, jika dibiarkan seperti itu maka akan ada banyak makna yang bertentangan dalam sifat ini, seperti 'ain (mata) dalam satu ayat dalam bentuk tunggal (lihat Thoha 39), dan di ayat lain dalam bentuk jamak (lihat atthur: 48), juga ayat tentang Allah istiwa di 'ars (Thoha : 5) dengan ayat tentang Allah lebih dekat dari urat leher ( Qof : 16), jika dibiarkan secara dzohir maka akan ada pertentangan yang nyata dalam Al-Quran.
Adapun jika anda mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap Makhluk yang menempati tempat, mempunyai anggota badan, bentuk dan gambaran, kemudian menetapkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk Dzatnya yang pantas dan sesuai dengan kemuliaan-Nya, dengan menyerahkan rincian dan detail maknanya serta maksudnya dari nash2 tersebut kepada Allah (tafwidh), anda selamat dari pertentangan dalam memahami ayat Quran dari sangkaan. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh salaf rahimahumullah.
2. Madzhab kholaf
madzhab yang datang setelahnya, takwil nash-nash tersebut sejalan dan disesuaikan dengan nash yang muhkam yang menyucikan Allah dari arah, tempat dan anggota badan. Mereka mentakwil ayat istiwa dengan "tasalluthilquwwah wassulthon" ia merupakan makna yang telah tetap dr segi bahasa dan sesuai, menafsirkan "yad" dengan "quwwah atau karom" menafsirkan "ain" dengan "'inayah warri'aayah' dan lain sebagainya.
Madzhab salaf pada masanya adalah yang paling utama dan paling selamat dan sesuai dengan fitrah iman yang tertancap di akal dan hati, dan madzhab kholaf pada masanya adalah sebuah jalan yang tidak bisa dihindarkan karena pada saat itu banyaknya aliran pemikiran (filsafat, mantiq dll) dan diskusi ilmiyah, dan disebabkan pula oleh jelasnya bahwa bahasa arab adalah bahasa yang dipenuhi dengan kaidah majaz, tasybih (penyerupaan) dan isti'aroh (peminjaman makna).
Yang terpenting dalam masalah ini adalah kita mengetahui bahwa dari kedua manhaj tersebut bertujuan ke arah yang satu, yaitu bahwa tidak ada yang menyerupai Allah 'azza wajalla, dan Allah bersih dan suci dari segala sifat kurang, adapun perbedaan (ikhtilaf) antara kedua madzhab tersebut adalah dalam masalah perbedaan lafdhi dan syakli (bentuk) saja.
Namun secara menyeluruh ada 5 jenis cara dalam menyikapi ayat mutasyabihat,
1. Tafwidh muthlak (menyerahkan makna dan maksudnya kepada Allah)
2. Takwil ( menggeser makna dzohirnya ke makna yang sesuai dengan dalil syara dan bahasa)
3. Itsbat wattanziih ( menetapkan dan mensucikan Allah dari penyerupaan dan kekurangan)
4. Ta'thiil ( menggeser makna dzohirnya tanpa ada dalil seperti muktazilah yang mengingkari melihat Allah di akhirat)
5. Tajsiim, tasybih ( menyerupakan Allah dengan makhluk seperti Allah punya tangan dan mata seperti kita dll)
(sedikit kutipan dari bab tentang mensucikan Allah dari segala sifat yg bertentangan dengan sifat wajib dan dari segala kekurangan, Dr. Buthi)
Artikel Terkait