1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?
2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.
4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan.
Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?! Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal. Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin...
Al Hamdu Lillah, Wa ash Shalat wa as Salam Ala Rasululillah,
Di antara bid'ah hasanah adalah perayaan maulid nabi yang mulia. Peringatan maulid nabi ini telah dikerjakan turun-temurun oleh mayoritas umat Islam semenjak ratusan tahun lalu; bahkan telah ada sebelum munculnya ajaran aneh Wahabi yang mengharamkannya. Semua lapisan umat Islam; dari mulai para raja/penguasa, para ulama, orang-orang saleh, hingga orang-orang awam sekalipun telah sepakat memandang baik perayaan maulid nabi ini. Lapisan ulama dari berbagai disiplin ilmu; ahli hadits, ahli tafsir, ahli bahasa, ahli ushul, ahli fiqih, kaum sufi, dan para ahli ibadah mereka semua sepakat memandang baik perayaan maulid nabi. Peringatan maulid nabi ini memiliki dasar dalam syari'at yang hal itu dipahami/diintisarikan dari kandungan berbagai teks syari'at itu sendiri sebagaimana dinyatakan oleh al Imam al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dan ulama terkemuka lainnya.
Di masa sekarang, kaum wahabi; para pengingkar tawassul, membawa ajaran aneh mengatakan bahwa perayaan maulid nabi sebagai perbuatan bid'ah sesat yang diharamkan. Bahkan, --dan ini salah satu sebab kaum Wahabi dianggap sebagai kaum yang benci kepada Rasulullah--, salah seorang pemuka wahabi masa sekarang, bernama Abu Bakar al Jaza'iri [[semoga Allah memberikan petunjuk baginya]] berkata: "SESUNGGUHNYA DAGING-DAGING DARI BINATANG SEMBELIHAN YANG DIBAGI-BAGIKAN DALAM PERAYAAN MAULID LEBIH HARAM DARI PADA DAGING BABI". na'udzu billah.
Anehnya, ini betul-betul aneh dan ajaib...., orang-orang wahabi itu sadar atau tidak; tahu atau tidak, --tapi kemungkinan besarnya mereka tahu; terutama para pemukanya-- bahwa Ibn Taimiyah yang merupakan "Imam besar mereka tanpa tanding" sedikitpun tidak pernah mengatakan maulid nabi haram. Bahkan sebaliknya, dalam tulisannya Ibn Taimiyah mengatakan bahwa maulid nabi jika dilakukan dengan niat yang baik maka akan menghasilkan pahala; artinya Ibnu Taimiyah menghalalkan peringatan maulid nabi. Lalu apa masalahnya orang-orang wahabi itu mengharamkannya??
Anda simak, perhatikan dengan seksama bukti autentik ini. Kitab karya al Mujassim Ibnu Taimiyah (w 728 H) berjudul Iqtidla ash Sirath al Mustaqim, cet. 1421 H Dar al Fikr Bairut Lebanon, hlm. 269, menuliskan:
"Pengagungan terhadap maulid nabi yang secara musiman telah dijadikan tradisi oleh banyak orang, di dalamnya terdapat pahala yang besar karena tujuannya baik dan karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Rasulullah".
Saudaraku sekalian, dari sini timbul pertanyaan besar; "Jika demikian lalu orang-orang Wahabi dengan ajaran aneh mengharamkan maulid bersama siapakah mereka ?? Mereka bukan bagian dari Ahlussunnah yang manganggap baik maulid nabi, juga bukan pengikut Ibnu Taimiyah karena juga menganggap baik maulid nabi !!! Kalau begitu lalu sebenarnya yang disebut ahli bid'ah karena mambawa ajaran aneh itu siapa ?? Wahai kaum Wahabi, caci makilah diri kalian sendiri !!! Ikut siapa kailan ??? Sadarilah... sadarilah... kebenaran ada di depan mata kalian !!!
Cukup sebuah kehinaan bagi kalian karena kalian telah menganggap sesat sesuatu yang telah dianggap baik oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, dan dari generasi ke generasi; di seluruh penjuru dunia dari barat hingga timur.
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan cahaya iman bagi kita, dan rasa cinta yang besar terhadap kekasih kita; Rasulullah..
Diambil dari catatan teman di FB
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?
2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.
4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan.
Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?! Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal. Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin...
Al Hamdu Lillah, Wa ash Shalat wa as Salam Ala Rasululillah,
Di antara bid'ah hasanah adalah perayaan maulid nabi yang mulia. Peringatan maulid nabi ini telah dikerjakan turun-temurun oleh mayoritas umat Islam semenjak ratusan tahun lalu; bahkan telah ada sebelum munculnya ajaran aneh Wahabi yang mengharamkannya. Semua lapisan umat Islam; dari mulai para raja/penguasa, para ulama, orang-orang saleh, hingga orang-orang awam sekalipun telah sepakat memandang baik perayaan maulid nabi ini. Lapisan ulama dari berbagai disiplin ilmu; ahli hadits, ahli tafsir, ahli bahasa, ahli ushul, ahli fiqih, kaum sufi, dan para ahli ibadah mereka semua sepakat memandang baik perayaan maulid nabi. Peringatan maulid nabi ini memiliki dasar dalam syari'at yang hal itu dipahami/diintisarikan dari kandungan berbagai teks syari'at itu sendiri sebagaimana dinyatakan oleh al Imam al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dan ulama terkemuka lainnya.
Di masa sekarang, kaum wahabi; para pengingkar tawassul, membawa ajaran aneh mengatakan bahwa perayaan maulid nabi sebagai perbuatan bid'ah sesat yang diharamkan. Bahkan, --dan ini salah satu sebab kaum Wahabi dianggap sebagai kaum yang benci kepada Rasulullah--, salah seorang pemuka wahabi masa sekarang, bernama Abu Bakar al Jaza'iri [[semoga Allah memberikan petunjuk baginya]] berkata: "SESUNGGUHNYA DAGING-DAGING DARI BINATANG SEMBELIHAN YANG DIBAGI-BAGIKAN DALAM PERAYAAN MAULID LEBIH HARAM DARI PADA DAGING BABI". na'udzu billah.
Anehnya, ini betul-betul aneh dan ajaib...., orang-orang wahabi itu sadar atau tidak; tahu atau tidak, --tapi kemungkinan besarnya mereka tahu; terutama para pemukanya-- bahwa Ibn Taimiyah yang merupakan "Imam besar mereka tanpa tanding" sedikitpun tidak pernah mengatakan maulid nabi haram. Bahkan sebaliknya, dalam tulisannya Ibn Taimiyah mengatakan bahwa maulid nabi jika dilakukan dengan niat yang baik maka akan menghasilkan pahala; artinya Ibnu Taimiyah menghalalkan peringatan maulid nabi. Lalu apa masalahnya orang-orang wahabi itu mengharamkannya??
Anda simak, perhatikan dengan seksama bukti autentik ini. Kitab karya al Mujassim Ibnu Taimiyah (w 728 H) berjudul Iqtidla ash Sirath al Mustaqim, cet. 1421 H Dar al Fikr Bairut Lebanon, hlm. 269, menuliskan:
"Pengagungan terhadap maulid nabi yang secara musiman telah dijadikan tradisi oleh banyak orang, di dalamnya terdapat pahala yang besar karena tujuannya baik dan karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Rasulullah".
Saudaraku sekalian, dari sini timbul pertanyaan besar; "Jika demikian lalu orang-orang Wahabi dengan ajaran aneh mengharamkan maulid bersama siapakah mereka ?? Mereka bukan bagian dari Ahlussunnah yang manganggap baik maulid nabi, juga bukan pengikut Ibnu Taimiyah karena juga menganggap baik maulid nabi !!! Kalau begitu lalu sebenarnya yang disebut ahli bid'ah karena mambawa ajaran aneh itu siapa ?? Wahai kaum Wahabi, caci makilah diri kalian sendiri !!! Ikut siapa kailan ??? Sadarilah... sadarilah... kebenaran ada di depan mata kalian !!!
Cukup sebuah kehinaan bagi kalian karena kalian telah menganggap sesat sesuatu yang telah dianggap baik oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, dan dari generasi ke generasi; di seluruh penjuru dunia dari barat hingga timur.
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan cahaya iman bagi kita, dan rasa cinta yang besar terhadap kekasih kita; Rasulullah..
Diambil dari catatan teman di FB
Artikel Terkait