Sunday, 31 July 2011

Puasa Bukan Hanya Menahan Lapar dan Haus

Bismillahirrohmaanirrohim

Alhamdulillah bulan Ramadhon bulan penuh kemuliaan akan datang insyaallah dalam beberapa jam kedepan, semoga kita masih diberikan kesempatan untuk menjumpainya aamiin

Banyak keutamaan dalam bulan Ramadhan yang termaktub dalam Hadits-Hadits Nabi diantara keutamaannya ialah pahala yang berpuasa itu sangat besar kalau kebaikan selain puasa ada balasannya dari 10 x lipat sampai 700x lipat sedangkan puasa Allah sendiri yang membalasnya, sebagaimana dalam hadits :

قال صلى الله عليه وسلم : ( كل عمل ابن آدم له الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف
 . يقول الله عز وجل : إلاالصيام فإنه لي وأنا أجزي به ، ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي ، للصائم فرحتان ؛فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه، و لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك
[أخرجه البخاري ومسلم]

"setiap amal kebaikan manusia akan dibalas 10 kali lipat sampai 700 kali lipat, Allah berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa untuk-Ku, ia meninggalkan syahwat, makan, dan minum karena Aku, Bagi orang yang berpuasa ada 2 kebahagiaan, bahagia ketika berbuka puasa dan ketika bertemu Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi menurut Allah dari minyak misik"

Bahwa orang yang berpuasa dan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab maka akan diampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu:

وقال صلى الله عليه وسلم : ( من صام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه ) [أخرجه البخاري ومسلم]

قال صلى الله عليه وسلم : ( من قام رمضان إيماناً واحتساباً ، غفر له ما تقدم من ذنبه ) [أخرجه البخاري ومسلم]

Menurut Syekh Nashr bin Muhammad dalam kitab “Tanbihul Ghoofilin” bahwa dalam hadits ini menindikasikan bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam menyaratkan dalam puasa dan qiyamullail harus karena Iman dan Ihtisab iman adalah Attashdiq artinya membenarkan apa yang telah dijanjikan Allah bagi yg berpuasa,  ihtisab adalah muqbilan ‘alaihi khosyi’an lillah menerima ketetapanNya dan Khusu’ karena Allah.

Tapi kita juga harus ingat bahwa Nabi mengingatkan kita bahwa banyak orang yg berpuasa namun tidak ada baginya dari puasa itu selain lapar dan haus,

 " رب صائم ليس - له من صيامه إلا الجوع " (رواه النسائي وابن ماجه عن أبي هريرة، ورواه عنه أحمد والحاكم والبيهقي بلفظ " رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش"

oleh karana itu kita jangan melupakan esensi dari tujuan puasa itu yaitu supaya menjadi orang yang bertaqwa, sebagaimana dalam Firman Allah Subhanahuwata’ala dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:

كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Tidak diragukan lagi bahwa pahala  puasa ini tidak diperuntukan bagi orang yang menahan lapar dan haus tok, tapi inilah balasan bagi orang yang bisa menjaga anggota badannya misal menjaga lisannya dari perkataan keji dan kotor, ghibah, mengunjing, berkata-kata yang tidak perlu dsb. Mata dijaga dari  perkara haram,  Ia juga menjaga hatinya dari iri dengki, dan permusuhan dengan muslim lainnya. Hal ini telah diperingatkan oleh Nabi dalam sabdanya :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).” (Sahih, HR. al-Bukhari)
  
الصوم جنة ، فإذا كانيوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يفسق ولا يجهل ، فإن سابه أحد فليقل إني امرؤ صائم 
 [أخرجه البخاري ومسلم] 


Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela/diejek dan disakiti maka katakanlah, ‘Saya sedang berpuasa’.” (Sahih, HR. Muslim)

Oleh karena itu mari kita sambut Ramadhan dengan hati yang senang dan juga kita tidak melupakan esensi dari puasa ini, semoga kita bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, dan jangan sampai aktifitas kita ketika tidak puasa dan ketika sedang puasa sama saja, artinya harus ada perbedaan dan perubahan ke arah yang lebih baik.


BACA SELENGKAPNYA>>>>

Friday, 29 July 2011

Makna "Istiwa"

HADIST JARIYYAH
Banyak beredar di kalangan Internet dalam komunitas tertentu tentang Keberadaan Allah di langit dalam arti yg hakiki, dg hanya bermodal 1 , 2 hadist saja dan tanpa mau memperhatikan penjelasan ‘Ulama yg kapasitas keIlmuannya sudah tidak di ragukan lagi.

Memang dalam beberapa hal mereka memakai Hujjah2 dari ‘Ulama yg dalam satu kesempatan berpihak kepadanya, dan anehnya dalam hal Aqidah justru mereka lebih memilih perkataan2 yg lebih cenderung ke hawa nafsunya, jadi mereka sangat layak di beri label “Nukminu bi ba’dl wa nakfuru bi ba’dl” (Mempercayai sebagian dan mendustakan sebagiannya lagi) atau lebih halusnya “Munafiq”.
Seperti umum di ketahui mereka sangat mendambakan pengamalan Agama berdasarkan Kumpulan2 Hadist dari seorang yg mereka percaya sebagai orang yg amanah dalam Ilmu, Amal dan ketelitian ilmiyyahnya, Sebut saja Shahihain. Namun di sisi yg lain ada satu tokoh abad millennium yg menjadi tempat pustaka mereka atas kesahihan dari sebuah Hadist yg dia korek dari Orang yg terpercaya. Logikanya jika Pengumpul riwayat itu ternyata adalah terbukti (menurut versi dia) banyak riwayat yg tidak bisa di pertanggung jawabkan, kenapa dia masih saja melanjutkan penelitiannya dari orang yg di ragukan ketelitiannya? Aneh dan sia sia.
Terlepas dari itu semua, toh ada banyak lagi hadist2 yg lain, yg masih ada pertalian kejadian, kasus dan kesamaan latar belakangnya.


Sebenarnya ada beberapa data hadist dg Versi masing2 dalam Kasus pengidentifikasian Allah di langit yg jika di kumpulkan maka akan terjadi sebuah keguncangan kesimpulan, mana yg paling bisa di percaya, mana yg harus di tetapkan sebagai sandaran hukum, mana yg seharusnya di pertanggung jawabkan keilmiahannya. Mari kita urai satu persatu!!!
1. قال أبو داود في سننه : حدثنا إبراهيم بن يعقوب الجوزجاني ، ثنا يزيد بن هارون ، قال أخبرني المسعودي عن عون بن عبد الله بن عتبة ، عن أبي هريرة : أن رجلاً أتى النَّبي صلى الله عليه وسلم بجارية سوداء فقال : يا رسول الله ، إن علي رقبة مؤمنة؟ فقال لها : « أين الله؟ » فأشارت إلى السماء بإصبعها فقال لها : « فمن أنا؟ » فأشارت إلى النَّبي صلى الله عليه وسلم وإلى السماء ، يعني أنت رسول الله . فقال : « أعتقها فإنها مؤمنة »

Berkata Abu Dawud dalam Sunannya: Menceritakan keapadaku Ibrahim bin Ya’qub Al Jaujazani, meceritakan kepadaku Yazid bin Harun, Beliau berkata: Memberi Khabar kepadaku Al Mas’udi dari ‘Aun bin ‘Abdillah bin ‘Utbah dari Abi Hurairah: Sesungguhynya telah datang seorang Laki2 kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi wa Sallam dg membawa seorang Budak Perempuan yg Hitam, kemudian berkata: Wahai Rosulullah apakah aku harus memerdekakannya jika Ia beriman? Maka Rosulullah berkata kepada Budak Wanita itu, Di mana Allah?, maka Budak itu member isyarat kepada Nabi dg Jari2nya ke arah langit , maka Rosulullah berkata lagi Siapa saya? Maka Budak itu member Isyarat kea rah Nabi dank e arah Langit yg di maksud adalah Engkau adalah Utusan Allah. Maka Rosulullah Bersabda, merdekakanlah Ia sesungguhnya Ia seorang yg beriman.

Disini dg jelas bhw Budak itu berIsyarat dg Tangannya sebagai ungkapan yg ia sendirilah yg bisa memahami bahasanya, adapun kaidah Isyarat dg menunjukkan tangan di atas orang lain Mafhum dg adat istiadat yg melingkupinya.Orang lain boleh membuat opini dan perspsi, tapi menunjukkan Bukan Hakikinya. Tentu Allah dan Rosulullah lebih tahu.

Nah, sekarang simak yg berikut, untuk menyingkat halaman yg terbatas, maka saya tidak akan menterjemahkan Jalur periwatannya, saya hanya akan berusaha menerjemahkan Poin2 dari percakapan yg penting saja, tentu tidak dg mengurangi bobot isi dan tujuannya.
(وأخبرنا) أبو عبد الله الحافظ نا أبو على الحافظ نا احمد بن يحيى بن زهير نا عبيد الله بن محمد الحارثى نا أبو عاصم نا أبو معدان المنقرى يعنى عامر بن مسعود نا عون بن عبد الله بن عتبة حدثنى أبى عن جدى قال جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بامة سوداء فقالت يا رسول الله ان على رقبة مؤمنة أفتجزئ عنى هذه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ربك قالت الله ربى قال فما دينك قالت الاسلام قال فمن انا قالت انت رسول الله قال فتصلين الخمس وتقرين بما جئت به من عند الله قالت نعم فضرب صلى الله عليه وسلم على ظهرها وقال أعتقيه

“Telah datang Seorang Perempuan Kepada Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dg membawa seorang Budak Perempuan yg Hitam Kemudia Ia berkata: Wahai Rosulullah saya mempunyai Budak perempuan Apakah Engkau merasa cukup dariku dg ini? Maka berkata Rosulullah SAW: siapa Tuhanmu? Jariyah menjawab: Allah Tuhanku, Berkata Rosulullah: Apa Agamamu? Jariyya menjawab: Islam Agamaku, Berkata Rosulullah: Siapa saya?, Jariyyah menjawab: Engkau utusan Allah, Berkata Rosulullah: maka sholatlah lima waktu, dan percayalah dg apa yg aku sampaikan kepadamu dari Allah, Jariyyah menjawab: Iya, Maka Rosulullah menepuk punggung Jariyyah itu dan berkata: Merdekakanlah ia.

Sangat Jelas disini bercerita lain, tak ada satupun kalimat “Dimana Allah”, dalam riwayat ini tertdapat cerita yg wajar, sebagaimana wajarnya pertanyaan pada umumnya untuk mengetahui Islam/Imannya seseorang. Yaitu dg Pertanyaan Rosulullah “Siapa Tuhanmu”,
Dan berikut versi yg lain, tapi maaf seperti yg sudah saya singgung di atas, sebaiknya saya hanya menterjemahkan point2 yg penting saja:
(أخبرنا) أبو زكريا بن أبى اسحاق المزكى وابو بكر احمد بن الحسن القاضى قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب اخبرني مالك بن انس عن هلال بن اسامة عن عطاء بن يسار عن عمر بن الحكم رضى الله عنه انه قال أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله ان جارية لى كانت ترعى غنما لي ففقدت شاة من الغنم فسألتها عنها فقالت أكلها الذئب فأسفت وكنت من بنى آدم فلطمت وجهها وعلى رقبة أما ؟ عتقها فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم اين الله فقالت هو في السماء فقال من انا فقال انت رسول الله قال اعتقها
Disini sangat jelas adanya pertanyaan Rosulullah dg kalimat “Aina Allah” (di mana Allah) dan budak itu menjawab dg Kalimat “Fi Al Sama” (di langit), bukan dg kalimat “Ala Al Sama” (di atas langit).

Cerita yg mirip dalam penggunaan kalimat pertanyaan “Aina Allah” juga terdapat dalam Hadits berikut, dan juga jawaban yg tegas dari Jariyah tersebut dg menggunakan kalimat “Fi Al Sama”:
حدثنا أبو شعيب عبد الله بن الحسن الحراني، حدثنا يحيى بن عبد الله البابلتي، حدثنا الأوزاعي، حدثني يحيى بن أبي كثير، حدثني هلال بن أبي ميمونة، حدثني عطاء بن يسار، حدثني معاوية بن الحكم السلمي، قال: انطلقت إلى غنيمة ترعاها جارية لي في قبل أحد والجوانية، فوجدت الذئب قد أصاب منها شاة، وأنا رجل من بني آدم آسف كما يأسفون، فصككتها صكة، ثم انصرفت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته فعظم ذلك علي، قلت: يا رسول الله، أفلا أعتقها؟، قال:”بلى، ائتني بها”فجئت بها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال:”أين الله؟”، فقالت: الله عز وجل في السماء، قال:”فمن أنا؟”، قالت: أنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال:”فإنها مؤمنة، فأعتقها”

Akan lain ceritanya jika kita simak Hadits berukut:
عن ابن عباس قال : أتى النبى – صلى الله عليه وسلم - رجل بجارية سوداء فقال يا رسول الله إن أمى ماتت وعليها رقبة مؤمنة فهل تجزئ هذه عنها فقال لها رسول الله – صلى الله عليه وسلم - أين الله فأومأت برأسها إلى السماء فقال من أنا قالت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة (البزار) [كنز العمال 1744 ]
Di sini tetap ada kalimat pertanyaan dg menggunakan “Aina Allah” namun jawaban Jariyyah tersebut tidak menggunakan kalimat “Fi Al Sama”, tapi dg Isyarat kepalanya mendongak ke atas, seperti Hadist yg pertanma.


Dalam sunan Bayhaqi hadist no 15662
أخبرنا أبو على الروذبارى أخبرنا أبو بكر بن داسة حدثنا أبو داود أخبرنا إبراهيم بن يعقوب الجوزجانى حدثنا يزيد بن هارون أخبرنا المسعودى عن عون بن عبد الله عن عبد الله بن عتبة عن أبى هريرة : أن رجلا أتى النبى -صلى الله عليه وسلم- بجارية سوداء فقال : يا رسول الله إن على عتق رقبة مؤمنة فقال لها :« أين الله؟ ». فأشارت إلى السماء بإصبعها فقال لها :« فمن أنا؟ ».
فأشارت إلى النبى -صلى الله عليه وسلم- وإلى السماء تعنى : أنت رسول الله فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- :« أعتقها فإنها مؤمنة ».

Di dalam Hadits di atas di kisah kan juga terdapat kalimat pertanyaan dg menggunakan kalimat “Aina Allah”, namun lain ceritanya dg hadist yg lain karena di sini menceritakan jawaban Jariyyah dg cerita mengacungkan tangannya ke langit. Dn ada tambahan cerita lagi ketika menjawab pertanyaan Nabi “Man Ana” (Siapa saya) yaitu si Jariyah tersebut menuding Rosulullah dan kemudian menunjuk Langit.
Dari kedua riwyat dalam Hadits di atas dan di tambah satu Hadits yg pertama, maka di sinyalir bahw Jariyyah tersebut adalah seorang yg bisu.maka wajar saja jika ia mengungkapkan keimanannya dg Isyarat.
Sementara dalam hadist no 20477:

أخبرنا أبو زكريا بن أبى إسحاق المزكى وأبو بكر : أحمد بن الحسن القاضى قالا حدثنا أبو العباس : محمد بن يعقوب أنبأنا محمد بن عبد الله بن الحكم أنبأنا ابن وهب أخبرنى مالك بن أنس عن هلال بن أسامة عن عطاء بن يسار عن عمر بن الحكم رضى الله عنه أنه قال : أتيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقلت يا رسول الله إن جارية لى كانت ترعى غنما لى ففقدت شاة من الغنم فسألتها عنها فقالت أكلها الذئب فأسفت وكنت من بنى آدم فلطمت وجهها وعلى رقبة أأعتقها فقال لها رسول الله -صلى الله عليه وسلم- :« أين الله؟ ». فقالت : هو فى السماء فقال :« من أنا؟ ».
فقالت : أنت رسول الله. قال :« أعتقها ».
Dalam Hadist ini ada kalimat pertanyaan “aina Allah” dan jawaban jelas, namun dg kalimat yg berbeda lagi yaitu “Huwa Fi Al sama” (Dia di langit).disini terdapat kalimat tambahan Huwa (Dia).

Dalam Musnad Ahmad Hadits no 8125 :

حدثنا عبد الله حدثنى أبى حدثنا يزيد أخبرنا المسعودى عن عون عن أخيه عبيد الله بن عبد الله بن عتبة عن أبى هريرة أن رجلا أتى النبى -صلى الله عليه وسلم- بجارية سوداء أعجمية فقال يا رسول الله إن على عتق رقبة مؤمنة. فقال لها رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « أين الله ». فأشارت إلى السماء بإصبعها السبابة. فقال لها « من أنا ». فأشارت بإصبعها إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- وإلى السماء أى أنت رسول الله. فقال « أعتقها ».

Disini juga terdapat Pertanyaan dg kalimat “Aina Allah” namun jawaban dg Isyarat yg jelas dg Menunjukkan dg telunjuk jarinya ke atas.

Dalam Musnad Ahmad Hadist no 24485 :

قال وكانت لى جارية ترعى غنما لى فى قبل أحد والجوانية فاطلعتها ذات يوم فإذا الذئب قد ذهب بشاة من غنمها وأنا رجل من بنى آدم آسف كما يأسفون لكنى صككتها صكة فأتيت النبى -صلى الله عليه وسلم- فعظم ذلك على قلت يا رسول الله أفلا أعتقها قال « ائتنى بها ». فأتيته بها فقال لها « أين الله ». فقالت فى السماء. قال « من أنا ». قالت أنت رسول الله. قال « أعتقها فإنها مؤمنة ». وقال مرة « هى مؤمنة فأعتقها ».
Disini juga terdapat pertanyaan dan jawaban yg jelas yaitu menggunakan kalimat Aina dan Fissama, namun alur ceritanya sangat berbeda dg hadit2 yg lain.

dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,
“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,
أَيْن اللَّهُ
“Di mana Allah?”
Dia menjawab,
فِى السَّمَاءِ
“Di langit.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.”
Dan mari kita bahas
فِى السَّمَاءِ
“Di langit.” Bukan di atas langit, karena memakai Fi bukan ‘Ala
“Fi as-Sama’” dalam perkataan budak tersebut adalah untuk mengungkapkan bahwa Allah Maha Tinggi sekali pada derajat dan keagungan-Nya.

Berikut sanad dan matan hadits tersebut pada shahih Muslim juz I halaman 381, hadits nomor 537, cetakan Daar Ihyaa at Turaats al ‘Arabi:
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح وأبو بكر بن أبي شيبة وتقاربا في لفظ الحديث قالا حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير عن هلال بن أبي ميمونة عن عطاء بن يسار عن معاوية بن الحكم السلمي قال
بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت واثكل أمياه ما شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما رأيتهم يصمتونني لكني سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو وأمي ما رأيت معلما قبله ولا بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن
أو كما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم ( قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون قال كان نبي من الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها وأنا رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة …….
Disini juga terdapat pertanyaan dan jawaban dg menggunakan kalimat Aina dan Fi al sama, namun alur ceritanya lebih panjang dan sangat berbeda dg alur cerita pada Hadist2 yg sudah saya sebutkan di atas.

Dari beberapa Hadits di atas menunjukkan sebuah periwayatan, isi dan maksud yg satu sama lain saling berbeda, shingga setidaknya menimbulkan 2 Kemungkinan :
1. Hadis ini mengandung Idhthirob (kerancuan/pertentangan-se cara lughah) atau disebut Hadis Mudhthorib yakni hadis yang matan atau sanadnya berbeda-beda dan saling bertentangan yang tidak dapat dijama’ (dikompromikan) dan harus ditarjih salah satu riwayat yang ada namun masing-masing redaksinya mempunyai kemiripan satu sama lain. oleh karenanya seperti apa dalam Alfiyahnya: Wal idhthirabu yujibu ad-dha’fa “Idhthirab (meniscayakan kedhoifan dalam hadis”. Sedangkan Hadis dhoif tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah.
2. para ulama yg mengatakan tdk sepaham berpendapat hadis riwayat Muslim Mudhtharib baik sanad maupun matannya dan disebabkan hadisnya ma’lul (cacat) karena menyalahi Ushulus Syari’ah. Yaitu orang dikatakan Muslim (beriman) ketika ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat bukan dengan mengucapkan Allah fis Sama’ (Allah di langit). krena hadits maslah aqidah harus bener2 mutawattir dan tdk rancu dr sisi makna , lafadz dan pemahaman serta tdk ta’arudh dngn ayat atau hadits lainnya, sbagmana mnrt qaidah mustholahil hadits setiap hadits yg bertolak dngn mutawattir maka bathil.

kesimpulannya ada dua pendat dsni:
1. mendla,ifkan, karena isinya menyelisihi Pokok2 Syari’ah. Ingat Arkanul Iman tidak satupun mengharuskan keyakinan Allah di mana
2. mensahihkan hadits jariyah ini, baik sanad maupun matan apa yg ada d kitab muslim atau serupa dngnnya d kitab hadits lainnya sprt baihaqi dan syaibah, shingga jalannya mentakwil bukan memhami Dhahirnya.


PENJELASAN PARA PAKAR
. Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat[5]:
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.”

Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw. ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya [Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, Hal.: 245, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran.].

Mari kita simak Pendapat dan Argumen dari para Ahli lebih lanjut sebagai berikut:
Al Hafidh Ibn Hajar menjelaskan tentang makna في السماء sebagai berikut: قوله في السماء ظاهره غير مراد إذ الله منزه عن الحلول في المكان لكن لما كانت جهة العلو أشرف من غيرها أضافها إليه إشارة إلى علو الذات والصفات : Dzahirnya kalimat “di langit” adalah bukan yang dikehendaki, karena Allah Maha Suci dari menempati di satu tempat. Akan tetapi karena arah atas adalah lebih mulia dari yang lainnya, maka disandarkanlah ke langit sebagai isyarat Luhurnya Dzat Allah (Lihat Fat-hul Baari juz XIII halaman 412)

Ingat bhw ‘Aliyy itu tidak semata2 menunjukkan arti Atas/Tinggi yg berkonotasi sebagai arah saja, misalkan Anda memberi nama seorang anak dg Nama ‘Ali, maka tentu saja arti yg di maksud bukanlah tinggi atau atas seperti halnya sebuah benda yg berada di atas kepala kita, namun arti yg di tuju adalah Tingginya derajat, martabat atau kedudukannya atau Luhurnya Budi pekertinya dan arti2 yg serupa. Inilah yg seringkali di plintir oleh penerjemah2 karbitan yg cingkrang dalam hasanah satra (Pent).

Berikut komentar al Qaadli ‘Iyaadl sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim Juz V halaman 24 – 25 , cetakan ke III tahun 1978 M – 1389 H, Daar al Fikr:
قال القاضي عياض لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقوله تعالى أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ونحوه ليست على ظاهرها بل متأولة عند جميعهم فمن قال باثبات جهة فوق من غير تحديد ولا تكييف من المحدثين والفقهاء والمتكلمين تأول في السماء
أي على السماء ومن قال من دهماء النظار والمتكلمين وأصحاب التنزيه بنفي الحد واستحالة الجهة في حقه سبحانه وتعالى تأولوها تأويلات بحسب مقتضاها وذكر نحو ما سبق
Berkata Al Qodli ,Iyadl: Tidak ada perselisihan sedikitpun dalam kalangan Muslimin, baik dari para tokoh fiqih, Hadits, teolog, cendikiawan dan para Muqollidnya (yg mengikuti para Imamnya) sesungguhnya apapun yg datang (Ayat/Hadist) bahwa Allah di Langit seperti halnya sabda Allah: أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض dn yg semisal, itu tidaklah sperti apa adanya, tapi mereka semua menakwilkannya. Maka dari golongan Muhadditsin, Fuqoha, teolog dan cendikiawan ada yg menetapkan adanya arah atas dg tanpa membatasi, dan takyif (mempertanyakan caranya bagaimana), maka mereka menakwilkan kalimat yg seharusnya di Langit (bentuk ungkapan yg mengandung arti tempat) dg kalimat di atas langit. Ada juga dari para pembesar Cendikiawan, Ahli Teologi dan Golongan Tanzih yg menolak keterbatasan dan Arah Bagi Allah, mereka ini menakwilkan Ayat2 tersebut dg Takwil yg sesuai”.

قال ويا ليت شعري ما الذي جمع أهل السنة والحق كلهم على وجوب الامساك عن الفكر في الذات كما أمروا وسكتوا لحيرة العقل واتفقوا على تحريم التكييف والتشكيل وأن ذلك من وقوفهم وامساكهم غير شاك في الوجود والموجود وغير قادح في التوحيد بل هو حقيقته ثم تسامح بعضهم باثبات الجهة خاشيا من مثل هذا التسامح وهل بين التكييف واثبات الجهات فرق لكن أطلاق ما أطلقه الشرع من أنه القاهر فوق عباده وانه استوى على العرش مع التمسك بالآية الجامعة للتنزيه الكلى الذي لا يصح في المعقول غيره وهو قوله تعالى ليس كمثله شيء عصمة لمن وفقه الله تعالى وهذا كلام القاضي رحمه الله تعالى
Al Qodli ,Iyadl mengatakan: Alangkah aku tahu betapa golongan Ahlussunnah dan yg Haq semuanya mewajibkan menahan diri dan memerintahkan untuk tidak memikirkan Dzat Allah karena keterbatasan akal, dan Semuanya juga telah sepakat Keharamannya memperbincangkan Kayfiyyah (cara/bagaimana) dan bentuk (praktisinya), diam mereka bukan karena Ragu2 akan Wjudnya Allah dan bukan pula mengurangi nilai Ketauhidannya, justru yg seperti inilah Tauhid yg sebenarnya itu. Kemudian sebagian dari mereka membuat keteledoran dg menetapkan Arah bagi Allah dan inilah sebuah kekhawatiran yg muncul akibat tenggang rasa yg mereka lakukan (Diam). Dan apakah antara Praktek dan penetapan arah itu berbeda? Yang Jelas adalah apa yg telah di tetapkan Syara’ bahwa Sesungguhnya Dia adalah Yg Maha menundukkan semua mahluqNya, dan sesungguhnya Dia Beristawa di ‘Arasy di sertai berpegang erat kepada Ayat2 yg menyimpulkan adanya Tanzih (pembersihan Dzat Allah) dari segala macam penyerupaan, yg mana hal itu juga di tolak oleh hukum Akal dan lebih di kehendaki Allah sendiri, dalil yg menunjukkan itu adalah “Laisa Ka Mitslihi Syaiun” Demikian ini adalah Bicaranya Al Qodli ,Iyadl”

Dan berikut komentar Al Hafidh As Suyuthi dalam kitab beliau “Ad Diibaaj ‘alaa Muslim” juz II halaman 216
هو من أحاديث الصفات يفوض معناه ولا يخاض فيه مع التنزيه أو يؤول بأن المراد امتحانها هل هي
موحدة تقر بأن الخالق المدبر هو الله وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى له يستقبل الكعبة وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة بل ذلك لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين أم هي من الذين يعبدون الأوثان التي بين أيديهم
“Ia adalah termasuk beberapa Hadits yg menerangkan Shifat2 artinya di serahkan kepada Allah dan tidak perlu di perpanjang lebarkan pembahasannya di sertai Tanzih (mensucikan Allah dari segala macam penyerupaan) atau di takwilkan bhw Maksud dari Shifat2 itu adalah sebagai ujian apakah Kita tetap memaha Esakan Allah atau tidak dg meyakini bhw sesungguhnya Dzat Pencipta dan Pengatur Alam Semesta itu satu satunya adalah Allah yg ketika kita Meminta sesuatu dg mendongakkan Kepala kita kea rah langit sebagai Kiblatnya Doa, seperti ketika kita Sholat menghadap Ka’bah.

Hal seperti itu bukan berarti Allah terbatasi di Langit, sebagaimana Allah juga tidak terbatasi dalam arahnya Ka’bah. Tetapi semua itu hanya menunjukkan bhw Langit adalah Qiblat Do’a dan Ka’bah adalah Qiblatnya Sholat. Ataukah dg sholat menghadap ke Ka’bah itu sama dg para penyembah Berhala yg berada di sekitarnya?”

Berikut paparan al Hafidh Ibn Hajar dalam kitab Fathul Baari juz XII halaman 405 s/d 407 (mengenai al Istiwaa:
اختلف الناس في الاستواء المذكور هنا فقالت المعتزلة معناه الاستيلاء بالقهر والغلبة واحتجوا بقول الشاعر قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
(13/405)
“Ada perbedaan pendapat di kalangan Manusia tentang maksud “ISTIWA” di atas itu, maka Orang2 Mu’tazilah berkata bahwa artinya adalah Menguasai dg memenangkan dan menunndukkan, dan Orang2 Mu’tazilah itu berhujjah dg Perkataan Penyair: Telah menguasai Bisyr atas Iraq * Dg Tanpa Pedang dan pertumpahan darah”

وقالت الجسمية معناه الاستقرار
Dan Berkata Orang2 Jismiyyah (Orang yg menganggap bhw Allah berjisim) Arti ISTAWA adalah MENETAP
وقال بعض أهل السنة معناه ارتفع وبعضهم معناه علا وبعضهم معناه الملك والقدرة ومنه استوت له الممالك يقال لمن أطاعه أهل البلاد وقيل معنى الاستواء التمام والفراغ من فعل الشيء ومنه قوله تعالى ولما بلغ أشده واستوى فعلى هذا فمعنى استوى على العرش أتم الخلق وخص لفظ العرش لكونه أعظم الأشياء وقيل ان على في قوله على العرش بمعنى إلى فالمراد على هذا انتهى إلى العرش أي فيما يتعلق بالعرش لأنه خلق الخلق شيئا بعد شيء
Dan Berkata Sebagian Ahlissunnah bhw arti Istawa itu adalah Irtafa’a = Luhur, membangun, mengangkat dan sebagian yg lain mengartikan ‘Ala = Tinggi/atas dan sebagian yg lain mengartikan Al Mulku Wa Al Qudroh = Merajai dan menguasai, dan dari arti seperti ini akan sesuai dg ungkapan “Istawat lahu al mamalik = tunduk semua Raja kepadanya, maksudnya Para penduduk yg tunduk/patuh kepadanya. Yg lainnya juga memaknai Istawa tersebut dg arti Sempurna dan Usai/rampung dalam mengerjakan sesuatu seperti halnya Sabda Allah: “Wa Lamma Balaghgo Asyuddahu wastawa ‘ala suqihi” = dan ketika telah sempurna buahnya dan kukuh pada tangkainya” maka dari arti2 tersebut, dapat diambil kesimpulan bhw yg di maksud Istawa ‘Alal ‘Arsyi adalah menyempurnakan penciptaan, dan Allah menghususkan dg memakai kalimat ‘Arasy ini karena ‘Arasy adalah sesuatu yg sangat dahsyat. Dan ada juga yg berpendapat ‘Ala dalam Kalimat yg tersambung dg ‘Arasy ini dg arti Ila dalam arti Penciptaan alam semesta telah rampung menuju Arasy, Maksudnya setiap sesuatu yg berhubungan dg ‘Arasy karena Allah menciptakan sesuatu itu bertahap.

ثم قال بن بطال فأما قول المعتزلة فإنه فاسد لأنه لم يزل قاهرا غالبا مستوليا وقوله ثم استوى يقتضي افتتاح هذا الوصف بعد ان لم يكن ولازم تأويلهم انه كان مغالبا فيه فاستولى عليه بقهر من غالبه وهذا منتف عن الله سبحانه
Kemudian Ibnu Batthol mengatakan adapun perkataan Orang2 Mu’tazilah itu adalah ucapan yg Fasid (tidak bisa di terima menurut qo,idah mantiqiyyah) karena sesungguhnya Allah itu senantiasa menang, menguasai dan menundukkan, dan perkataan mereka (Mu’tazilah) tentang Istawa yg di artikan Gholaba, Qoharo itu membutuhkan permulaan adanya ketidak adanya shifat2 tersebut di atas, dan hal itu di nafikan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

واما قول المجسمة ففاسد أيضا لأن الاستقرار من صفات الأجسام ويلزم منه الحلول والتناهي وهو محال في حق الله تعالى ولائق بالمخلوقات لقوله تعالى فإذا استويت أنت ومن معك على الفلك وقوله لتستووا على ظهوره ثم تذكروا نعمة ربكم إذا استويتم عليه
Adapun perkatan para Mujassim itu juga Fasid karena berdiam/bertempat itu termasuk shifat2nya jisim, dan bertempat itu membutuhkan tempat tinngal dan sebuah batasan waktu, dan itu semua muhal dalam Haq Allah dan lebih patut untuk para Mahluq, berdasarkan ayat فإذا استويت أنت ومن معك على الفلك dan ketika engkau telah berdiam dan orang2 yg bersamamu di atas perahu (penggalan ayat ke 28 surah al mukminun), dan ayat لتستووا على ظهوره ثم تذكروا نعمة ربكم إذا استويتم عليه Agar kalian berdiam di atas permukaannya (perahu) kemudian sebutlah Ni,mat Tuhan kalian ketika kalian telah berdiam di atasnya (Penggalan ayat ke 13 surah al zuhruf).

قال واما تفسير استوى علا فهو صحيح وهو المذهب الحق وقول أهل السنة لأن الله سبحانه وصف نفسه بالعلي وقال سبحانه وتعالى عما يشركون وهي صفة من صفات الذات واما من فسره أرتفع ففيه نظر لأنه لم يصف به نفسه
Berkata Imam Nawawi: adapun tafsir Istawa dg ‘Ala (Luhur) maka inilah yg benar, dan ini adalah Madzhab yg Haq dan perkataan Ahlissunnah, karena Allah menshifati DzatNya sendiri dg keluhuran dan Allah bersabda سبحانه وتعالى عما يشركون Maha Suci Allah (suci dari segala macam penyerupaan dalam Dzat, Shifat dan Af’al) dan maha Luhur Allah dari Orang2 yg menyekutukaNya. Istawa adalah termasuk ShifatNya Dzat, adapun Orang2 yg menafsirkannya dg أرتفع (Meninggi/atas) maka harus di selidiki lebih lanjut, karena Allah sendiri tidak menshifati DzatNya sendiri dg itu.

قال واختلف أهل السنة هل الاستواء صفة ذات أو صفة فعل فمن قال معناه علا قال هي صفة ذات ومن قال غير ذلك قال هي صفة فعل وان الله فعل فعلا سماه استوى على عرشه لا ان ذلك قائم بذاته لاستحالة قيام الحوادث به انتهى ملخصا
Berkata Imam Ibnu Hajar: Dan Ulama Ahlissunnah berselisih pendapat apakah Istawa itumerupakan Shifanya Dzat atau Shifatnya Perbuatan, maka bagi orang (Ulama Ahlussunnah) yg berpendapat bhw Istawa itu dg arti ‘Ala (Maha Tinggi/Luhur) itu adalah Shifatnya Dzat. Bagi Orang (Ulama Ahlussunnah juga) yg mengatakan selain itu (tidak dalam arti ‘Ala) maka Istawa itu adalah termasuk Shifat Af’al (tindakan), dan sesungguhnya Allah mengerjakan suatu pekerjaan yg di sebut “Istawa ‘ala al ‘arsyi” dan bukan berarti dg adanya penciptaan/tindakan itu menunjukkan Shifat kemandirian Allah (tidak butuh sesuatu), sebab ketidak mungkinannya Allah membutuhkan Hawadits (Mahluqnya), demikian Beliau (Imam Ibnu Hajar) memberi kesimpulan.
(13/406)

Mari kita lihat Sikap Imam Malik atas permasalahan di atas:
بسند جيد عن عبد الله بن وهب قال كنا عند مالك فدخل رجل فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى فأطرق مالك فأخذته الرحضاء ثم رفع رأسه فقال الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك الا صاحب بدعة أخرجوه
“Dg sanad yg bagus yaitu dari Abdullah bin Wahbi Beliau bercerita: pada waktu itu saya berada di dekat Malik, kemudian ada seorang yg masuk dan berkata: Wahai Abu Abdilllah “Al Rohman ‘ala al ‘Arsyi Istawa” bagaimana Istawa itu? Maka Imam Malik seketika menundukkan Kepalanya dan menggigil (Lihatlah betapa Imam Malik sangat takut mendengar pembicaraan seperti ini, betapa Keimannya begitu dahsyat, tidak seperti anak2 muda zaman sekarang yg dg enjoy saja dan hanya bermodalkan terjemah membicarakan hal2 yg gawat seperti ini, pent) kemudian Imam Malik mengangkat kepalanya Al Rohman Istawa di Arasy seperti Dia menshifati Dzatnya sendiri dg Istawa, dan tidak boleh di katakana bagaimana dan bagaimana dan aku tidak memandangmu kecuali sebagai ahli Bid’ah, maka keluarkanlah orang ini”.

ومن طريق يحيى بن يحيى عن مالك نحو المنقول عن أم سلمة لكن قال فيه والاقرار به واجب والسؤال عنه بدعة
“Adapun yg dari jalan periwayatan Yahya bin Yahya dai Imam Malik sebagaimana ygy di nulik di atas dari Ummi Salamah, tetapi Imam Malik mengatakan bhw mengenahi Istawa itu wajib di tetapkan namun bertanya mengenahi bagaimana itu Bid’ah”.
وأخرج البيهقي من طريق أبي داود الطيالسي قال كان سفيان الثوري وشعبة وحماد بن زيد وحماد بن سلمة وشريك وأبو عوانة لا يحددون ولا يشبهون ويروون هذه الأحاديث ولا يقولون كيف قال أبو داود وهو قولنا قال البيهقي وعلى هذا مضى أكابرنا
“Dan Imam Bayhaqi mengeluarkan riwayat dari Abi Dawud Al Thoyalisi mengatakan bhw Sufyan Al Tsauri, Syu’bah, Hammad bin Zayd, Hammad bin Salamah, Syarik, dan Abu ‘Awanah mereka semua tidak member batasan (tidak menetapkan arah) dan Juga tidak membuat penyerupaan, padahal mereka juga meriwayatkan hadist2 di atas, mereka juga tidak berbicara tentang Kayfiyyah. Kemudian Abu Dawud mengatakan bhw semua itu (tidak menetapkan arah dan seterusnya) adalah pendapat kita. Imam Bayhaqi dg berdasarkan riwayat ini menegaskan bhw hal2 yg seperti di atas adalah apa yg di yakini oleh pembesar2 kita di masa lalu”. [Kitab Al Asma wa Al Shifat Lil Bayhaqi hal 407]

وأسند اللالكائي عن محمد بن الحسن الشيباني قال اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن وبالأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في صفة الرب من غير تشبيه ولا تفسير فمن فسر شيئا منها وقال بقول جهم فقد خرج عما كان عليه النبي صلى الله عليه و سلم وأصحابه وفارق الجماعة لأنه وصف الرب بصفة لا شيء
“Dan Al Lalikai menyandarkan perkataannya dari Muhammad bin Hasan Al Syaibani yg mengatakan: Semua ahli Fiqih mulai dari timur sampai barat telah bersepakat mengImani apa yg tertera dalam Al Quran dan Hadist yg mana Rosulullah Shollalahu ‘alaihi wa Sallam telah menegaskan Shifat Tuhan tanpa adanya Tasybih dan tanpa tafsir, maka barang siapa yg menafsirkan Apa saja yg datang dari Al Quran dan Hadits tersebut dg menggunakan perkataan Jahmiyyah, maka orang tersebut telah keluar dari apa yg telah di tetapkan oleh Nabi SAW dan para Sahabatnya. Dan orang itu telah memisahkan diri dari JAMA’AH, karena dia telah menshifati Tuhan dg sifat yg tidak ada padaNya”. [Kitab Sunan Abi Dawud Kitabu Al Sunnah hal 39]

ومن طريق الوليد بن مسلم سألت الأوزاعي ومالكا والثوري والليث بن سعد عن الأحاديث التي فيها الصفة فقالوا أمروها كما جاءت بلا كيف
“Dan dari Jalan Al Walid bin Muslim: Aku bertanya tentang hadits2 yg di dalamnya terdapat shifat2 tersebut kepada Imam Al Awza,I, Imam Malik, Imam Al Tsauri, Imam Al Laits bin Sa,d, maka mereka semua mengatakan dan memerintahkan sebagaimana apa adanya tanpa Kaifiyyah” [Kitab ,Ilal ibni Abi Khatim Juz 5 Hal 468]

وأسند البيهقي بسند صحيح عن احمد بن أبي الحواري عن سفيان بن عيينة قال كل ما وصف الله به نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته والسكوت عنه
“Dan Imam Bayhaqi membuat sanad dg sanad yg sahih dari Ahmad bin Abi Al Khawary dari Sufyan Al Tsauri bin ‘Uyainah mengatakan: “Segala sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qur’an, …, maka Tafsirnya adalah bacaan itu sendiri (Misal Istawa ya Istawa, bukan bersemayam atau yg lain) dan diam darinya (Menanyakan arti dan maksudnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqaad hal. 118 no. 296, Daarul-Aafaaq, Cet. 1/1401; dan Al-Asmaa’ wa Shifat 2/307 no. 869].

وقال امام الحرمين في الرسالة النظامية اختلفت مسالك العلماء في هذه الظواهر فرأى بعضهم تأويلها والتزم ذلك في آي الكتاب وما يصح من السنن وذهب أئمة السلف إلى الانكفاف عن التأويل واجراء الظواهر على مواردها وتفويض معانيها إلى الله تعالى والذي نرتضيه رأيا وندين الله به عقيدة اتباع سلف الأمة للدليل القاطع على ان إجماع الأمة حجة فلو كان تأويل هذه الظواهر حتما لا وشك ان يكون اهتمامهم به فوق اهتمامهم بفروع الشريعة وإذا انصرم عصر الصحابة والتابعين على الاضراب عن التأويل كان ذلك هو الوجه المتبع انتهى
وقد تقدم النقل عن أهل العصر الثالث وهم فقهاء الأمصار كالثوري والأوزاعي ومالك والليث ومن عاصرهم وكذا من أخذ عنهم من الأئمة فكيف لا يوثق بما اتفق عليه أهل القرون

Sekarang mari kita Lihat sebagai perbandingan uraian di atas dg apa yg terdapat dalam kitab Majmuu’u Fatawa Ibn Taimiyah juz I halaman 457 berikut:
وقال في سياق حديث الجارية المعروف : { أين الله ؟ قالت : في السماء } لكن ليس معنى ذلك أن الله في جوف السماء وأن السموات تحصره وتحويه فإن هذا لم يقله أحد من سلف الأمة وأئمتها ؛ بل هم متفقون على أن الله فوق سمواته على عرشه بائن من خلقه ؛ ليس في مخلوقاته شيء من ذاته ولا في ذاته شيء من مخلوقاته . وقد قال مالك بن أنس : إن الله فوق السماء وعلمه في كل مكان – إلى أن قال – : فمن اعتقد أن الله في جوف السماء محصور محاط به وأنه مفتقر إلى العرش أو غير العرش – من المخلوقات – أو أن استواءه على عرشه كاستواء المخلوق على كرسيه : فهو ضال مبتدع جاهل .
Imam Ibnu Taymiyyah dalam menyesuaikan maksud Hadits Jariyyah yg terkenal (Aina Allah – Qolat Fi Al Sama) mengatakan: “Tetapi yg di maksud itu bukanlah Allah berada dalam Interior Langit/ Rongga Langit, dan Langit2 itu membatasiNya dan MemuatNya. Karena seperti ini tidak pernah di ucapkan Oleh para Salaf dan Imam2nya, tetapi Para Salaf bersepakat bahwa Allah berada di atas Langit2Nya di atas \Arasy terpisah dg MahluqNya. (Lihat statemen yg sudah melenceng dari para pendahulu2nya, dan ini yg lebih di sukai oleh wahabi.salafi)

Sebenarnya Hadits2 riwayat di atas terlepas dengan segala macam keseragaman penafsiran dan tidaknya, masih ada Hadist serupa yg jika di maknai atau di tafsirkan dg kaidah tafsir apa adanya akan tampak kerancuan arti dan bukti ketidak mungkinannya baik menurut bukti sejarah, ilmu Manthiqnya dll, lihat saja Hadits yg terdapat dalam Fat-hul Baari juz XIII halaman 412 bahwa ‘Aisyah (Isteri Nabi -shallallaahu ‘alaihi wasallam-) berkata:

ان الله أنكحني في السماء :
“Sesungguhnya Allah menikahkan aku di langit”,
Namun anehnya yg beredar di internet dan buku2 terjemahan tiba2 berubah menjadi “Sesungguhnya Allah menikahkan aku dari atas langit”, darimana penambahan terjemah “dari atas” itu di dapat, katanya menerjemahkan apa adanya? Bukankah fi itu artinya di dalam dan al sama artinya langit? Jika di rangkai tentu menjadi “di dalam langit”.

HADITS-HADITS NABI SAW. YANG MENYATAKAN BUKTI KEISLAMAN SESEORANG, DENGAN “BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”, BUKAN MENANYAKAN “DIMANA ALLAH?”
1. Hadits riwayat Bukhari[28]
روى البخارى عن ابن عمر أن النبى صلى الله عليه وسلم قال لابن الصياد: ( أتشهد أني رسول الله )؟
Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu `Umar, bahwasanya Nabi Saw., berkata kepada Ibnu Shayyad: Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?

1. Hadits Bukhari – Muslim[29]
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليع وسلم قال: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
Dari Ibnu `Umar bahwasanya Rasul Saw. bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!
Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Suyuthi berkomentar: hadits ini adalah hadits mutawatir[30]

1. Hadits Sahih Muslim[31]
عن ابن عباس أن معاذا قال بعثني رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
Dari Ibnu `Abbas bahwasanya Mu`adz berkata: Aku diutus oleh Rasul Saw. , beliau berkata: sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum dari golongan ahlul kitab. Maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah.

1. Hadits Sahih Muslim[32]
روى أن رسول الله أبا هريرة نعليه، قال: يا أبا هريرة اذهب بنعلي هاتين فمن لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقنا بها قلبه فبشره بالجنة.
Diriwayatkan dari Rasul Saw. Wahai Abu Hurairah pergilah engkau dengan membawa kedua sandalku ini, siapapun yang engkau temui di balik kebun ini yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan meyakini (syahadat itu) di hati mereka, maka kabarkanlah mereka dengan surga!

1. Hadits Sahih Muslim[33]
حديث عتبان بن مالك قال إن جماعة من الصحابة أحبوا أن يدعو النبى صلى الله عليه وسلم على مالك ابن دخشم ليهلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أليس يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ؟ قالوا إنه يقول ذلك وما هو في قلبه. قال لا يشهد أحد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه قال أنس فأعجبني هذا الحديث فقلت لابني اكتبه فكتبه
Hadits `Itban bin Malik, ia berkata: Sesungguhnya sekelompok sahabat Rasul Saw. berharap agar Rasul Saw. mendoakan Malik Bin Dukhsyum celaka. Rasul Saw. menjawab: Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah? Mereka menjawab: sesungguhnya ia mengatakan itu hanyalah di lisan saja dan ia tidak meyakini di hatinya. Rasul Saw. bersabda: Tidak ada seorangpun yang besaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah akan masuk neraka dan dimakan oleh neraka. Anas berkata: Hadits ini mengagumkanku, maka aku berkata kepada anakku: Tulislah hadits ini! Maka ia pun menulisnya.

Inilah sekelumit pemaparan hadits dan selain hadits-hadits ini sangat banyak sekali -bahkan sampai derajat mutawatir- semuanya menguatkan kita untuk merajihkan riwayat hadits dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)?. Disamping hadits ini merupakan hadist yang paling sahih sanadnya.

KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang hadits budak wanita yang dibebaskan Rasul Saw. ini kita ketahui bahwa:
selain ulama hadits mensahihkannya ,hadits ini juga oleh para pakar hadits dhaif.. perbedaan ini didasari atas redaksi riwayatnya yg berbeda misalnya Riwayat Muslim dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dengan redaksi : Aina Allah?Qalat: Fis Sama’ “Di mana Allah? jariyah menjawab: di langit (secara makna dzahir)”. Sedangkan riwayat al-Harowi (w. 509 h) dalam Kitab al-Arbain fi Dalailit Tauhid dari Ibnu Abbas: Aina Allah? Fa asyarat ilas sama’ “di mana Allah? jariyah menunjuk ke langit”.

Riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dari as-Syarid bin Suwaid ats-Tsaqafi: Man Biki? Qalat Allah “Siapa yang bersamamu? Jariyah menjawab: Allah”.
Riwayat al-Baihaqi dari ‘Utbah: Man Rabbuki? Faqalat: Allah “Siapa Tuhanmu? jariyah menjawab: Allah”.

Riwayat Malik dalam al-Muwatha’ dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud: A-tasyhadina an la ilaha illallah? Qalat Na’am “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah? jariyah menjawab: Ya”.

1. Hadits yang diriwayatkan dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)? Adalah hadits yang paling sahih secara sanad dan paling kuat pegangan untuk beramal dengannya, terutama dalam masalah akidah.

2. Hadits Sahih Muslim dengan redaksi pertanyaan Rasul Saw: أين الله؟ (dimana Allah)? dan jawaban budak wanita: فى السماء adalah hadits mudltharib -sebagaimana diakui oleh para imam dan pakar hadits- yang tidak sah dijadikan pijakan di dalam masalah akidah. Pertanyaan Rasul Saw. dan jawaban budak yang selalu dijadikan pegangan dalil, bisa diyakini bukanlah bersumber dari Rasul Saw. dan budak wanita, akan tetapi bersumber dari periwayat hadits.

3. Tidak dijadikannya Hadits Sahih Muslim sebagai landasan berdalil dikuatkan oleh; bahwa hadits ini bertentangan dengan dalil yang qath`iy (tegas) dan yaqini (yakin), baik itu secara naqli maupun secara `aqli serta bertentangan dengan ijma` kaum muslimin dari dulu sampai sekarang bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya dan Allah tidak bertempat/butuh kepada tempat layaknya makhluq.


This post was written by:
mbahlalar

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Antara Sunnah dan Bid'ah

Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.

Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.


Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).

Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61…Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah. Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru yang diadakan ─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh syariát Islam─ demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in. Begitu juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.

Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .

Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .

Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.

Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).

Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.

Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !

Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya. Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .

Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !

Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.

Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!

Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :

Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.

Pertama, riwayat Abu Nu’aim;

اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم

‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.

Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ

‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)

Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.

Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.

Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :

Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.

Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.

Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :

a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.

b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. ( Shohih Bukhori hadits nr.1906)

c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.

d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.

e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873)

f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.

g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya.

Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru, yang berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.

Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.

Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.

Sebagaimana telah tercantum sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.

Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya. Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.

Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar). Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.

Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.

‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya.
Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!

Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.

Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.

Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).

Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)

Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;

وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ
رواه مسلم)

Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)

Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”. Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.

Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.

Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!

Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini: “Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).

Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.

Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).

Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.

Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.

Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.

Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.

Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.

Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.

Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat

Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.

a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).

Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).

b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).

Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.

c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:

“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.

Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.

Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah

d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).

e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulallah saw. menugaskan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukai nya’ .

Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.

f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..

Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.

Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.

Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.

g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.

Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.

h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.

Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.

i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.

Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.

Pada hadits-hadits tadi Rasulallah saw. juga tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan lafadz-lafadz do’a yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau saw. dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya. Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan munkar orang membaca tahlilan/yasinan berulang-ulang yang mana dimajlis itu bukan hanya satu surat saja yang dibaca tetapi bermacam-macam surah dari Al-Qur’an dan do’a-do’a yang baik? Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulallah saw. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) yang telah dikemukakan tadi?

j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)

k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)

Masih banyak hadits yang tak tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.

Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :

صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري

‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).

Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.

Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?

Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.

Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi saw. dan zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan. Namun dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi. Bila hal tersebut tidak terjadi, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.

Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.

Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik!

Untuk lebih detail keterangannya sebagai berikut: Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul yamaamah) di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”. Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). Riwayat ini juga dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penulisan Alqur’an selesai dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.

Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.

Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemukakan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.

Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.

Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:

اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
(رواه البخاري

‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).

Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.

Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.

Wallohu a’lam bishshowab

http://warkopmbahlalar.com/penjabaran-mengenai-bidah-hasanah-dan-dholalah-lengkap-insyaalloh.html

BACA SELENGKAPNYA>>>>
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...