Saturday, 30 June 2012

Siapakah Wahabi

Dongeng Rustumiyyah

Ada apa dibalik beredarnya dongeng  Rustumiyyah

Dongeng Wahhabiyyah Rustumiyyah menceritakan tentang ajaran seorang yang bernama Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum [208 H/823 M] sangat populer dikalangan mereka dengan judul Siapakah Wahabi sesungguhnya atau Inilah Wahhabi sesungguhnya”  contohnya pada link-link berikut
http://fakta-faktual.blogspot.com/2011/08/wahhabi-yang-asli-tulen-sesat.html
http://kampungsalaf.wordpress.com/2011/09/14/inilah-wahhabi-sesungguhnya/ http://pecintamanhajsalaf.wordpress.com/2011/09/28/inilah-wahabi-sesungguhnya/
http://abangdani.wordpress.com/2011/08/04/inilah-wahhabi-yang-dianggap-sesat-oleh-ulama-ulama-maroko/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=228466557198476
Berikut kajian dongeng tersebut dari  http://warkopmbahlalar.com/dongeng-populer-wahhabiyyah-rustumiyyah/

***** awal kutipan *****

Dalam dongeng populer itu menceritakan bahwa ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum bernama Wahhabiyah nisbah kepada nama Abdul Wahhab, ternyata ajaran yang disebarkan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum itu bukan Wahhabiyyah ( الوهابيه ) tapi Wahbiyyah (الوهبية), lalu kenapa juga ajaran nya disebut Wahbiyyah ? Apakah Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum ? nah tentu saja bukan,  karena ajaran Wahbiyyah tersebut adalah nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H) [عبد الله بن وهب الراسبي]

[Lihat Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya- halaman 145], lalu pecah kepada beberapa firqah, nah firqah nya Abdul wahhab bin Abdirrahman bin Rustum di sebut Wahbiyyah Rustumiyyah (bukan Wahhabiyyah Rustumiyyah), bahkan dalam kitab yang tersebut di atas (rujukan dalam dongeng) sangat jelas bahwa Al-Lakhmi ditanyakan tentang kaum Wahbiyyah, bukan tentang Wahhabiyyah, tetapi dalam dongeng disebutkan bahwa Al-Lakhmi ditanyakan tentang Wahhabiyyah, ini jelas-jelas tipuan dan pembodohan, simak penjelasan berikut ini :

Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun juzuk II halaman 98, beliau berkata :
وكان يزيد قد أذل الخوارج ومهد البلاد فكانت ساكنة أيام روح ورغب في موادعة عبد الوهاب بن رستم وكان من الوهبية فوادعه
Perhatikan dari teks di atas : (ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ).  dan adalah Abdul Wahhab bin Rustum sebagian dari “Wahbiyyah” Maksudnya, Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum adalah pengikut Wahbiyyah bukan Wahhabiyyah, dan juga bukan pendiri Wahbiyyah sehingga ada anggapan bahwa ajaran nya bernama Wahhabiyyah nisbah kepada nama nya Abdul Wahhab, sunnguh anggapan yang sangat keliru, perbedaan antara Wahbiyyah dan Wahhabiyyah bagaikan langit dan bumi, baik dari penulisan atau bacaan nya, atau pun pada nisbah dan ajaran nya, tapi kemiripan penulisan tulisan dan bacaan nya membantu para Syekh Salafi-Wahabi untuk menipu para simpatisan mereka, maka tertipulah orang-orang yang hanya bisa melihat tapi tak mau berpikir.

Bahkan dalam Al-Mi’yaar al-Mu’rib wa al-Jaami’ al-Mughrib ‘an Fataawaa Ifriiqiyyah wa al-Andalus wa al-Maghrib juzuk 11 halaman 168 di tulis oleh Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi (sebagaimana rujukan dalam dongeng mereka)

وسئل اللخمي عن قوم من الوهبية سكنوا بين أظهر أهل السنة زمانا وأظهروا الآن مذهبهم وبنوا مسجدا ويجتمعون فيه ويظهرون مذهبهم في بلد فيه مسجد مبني لأهل السنة زمانا ، وأظهروا أنه مذهبهم وبنوا مسجدا يجتمعون فيه ويأتي الغرباء من كل جهة كالخمسين والستين ، ويقيمون عندهم ، ويعملون لهم بالضيافات ، وينفردون بالأعياد بوضع قريب من أهل السنة . فهل لمن بسط الله يده في
 الأرض الإنكار عليهم ، وضربهم وسجنهم حتى يتوبوا من ذلك ؟

Perhatikan dari teks di atas : (ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻠﺨﻤﻲ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ)

Dan Al-Lakhmi ditanyakan tentang satu kaum dari Wahbiyyah
Maksudnya, Imam Al-Lakhmi ditanyakan tentang satu firqah dari Wahbiyyah, sementara dalam dongeng mereka disebutkan Al-Lakhmi ditanyakan tentang firqah Wahhabiyyah, sangat jelas ini tipuan belaka, Wahhabiyyah dalam penulisan bahasa Arab ber-tasydid pada (Ha) dan ada (Alif) di depan (Ha), sementara Wahbiyyah tulisan nya tidak ber-tasydid pada (Ha) dan tidak ada (Alif) di depan (Ha), maka fatwa Al-Lakhmi bukan tentang faham Wahhabiyyah, tapi tentang firqah Wahbiyyah, dan tidak ada hubungan antara Wahhabiyyah dan Wahbiyyah Rustumiyyah ibadhiyyah.

Dan dalam buku seorang sejarawan asal  Prancis, sebagaimana rujukan dalam dongeng itu pula, yaitu Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil [1364 H/1945 M], lihatlah penyimpangan cerita itu dengan apa yang tersebut dalam buku rujukan nya, ini tulisan Al-Faradbil dalam buku nya :

 وقد سموا أيضا الوهبيين نسبة إلى عبد الله بن وهب الراسبي ، زعيم الخوارج

Dan sungguh mereka dinamakan Wahbiyyin (الوهبيين) karena dinisbahkan kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi, yang di tuduh sebagai Khawarij” [Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya- halaman 145].
Ternyata dalam buku Al-Faradbil juga tertulis Wahbiyyin, bukan Wahhabiyyin, dan dengan sharih disebutkan nisbah nya, Wahbiyyah atau Wahbiyyin bukan nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum sebagaimana dalam dongeng mereka, akan tetapi Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.
Semakin terang benderang upaya makar para syekh Salafi-Wahabi hendak memutar balikkan fakta, sungguh tipuan yang hampir sempurna, banyak trik yang telah mereka susupi dalam kitab, buku, situs dan blog mereka, dan para pengikut mereka tidak pernah mempertanyakan atau membuktikan kebenaran nya, sikap para pengikut mereka yang hanya bisa taqlid buta, semakin mendukung para syekh akan terus mempertahankan taktik ini, (semoga membuka mata para pecinta dongeng itu).

Dan perhatikan nama-nama kitab Wahbiyyah berikut ini :

كتـاب ( تلخيص عقائد الوَهْبِيَّة في نكتة توحيد خالق البرية ) * للشيخ إبراهيم بن بيحمان اليسجني من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1232هـ / 1817م )
كتاب ( العقيدة الوَهْبِيَّة ) * للشيخ أبي مسلم ناصر بن سالم البَهْلانِي من علماء عُمَان ( ت : 1339هـ / 1920م )
كتاب ( دفع شبه الباطل عن الإباضية الوَهْبِيَّة المحقة ) * للشيخ أبي اليقظان إبراهيم من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1393هـ / 1973م )

Perhatikan, ini pengakuan dan pernyataan dari mereka sendiri bahwa faham mereka bernama “Wahbiyyah- الوَهْبِيَّة” bukan Wahhabiyyah, semua mata pun bisa melihat dengan sangat jelas, hanya hati yang ingkar yang masih mempertahankan cerita yang tidak bisa dibuktikan kebenaran nya, ketika cerita atau sejarah sudah tidak lagi sesuai dengan fakta, maka pantaslah cerita itu masuk dalam kategori dongeng, silahkan saja bercerita, tapi bukan untuk di percaya, tapi seharusnya seorang Ustadz tidak mengelabui murid-murid nya dengan cerita dusta, apalagi setingkat Ustadz lulusan luar negeri, sungguh sangat disayangkan.

***** akhir kutipan *****

Semakin jelaslah upaya mereka untuk menutupi sosok dan perilaku sebenarnya dari ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri sekte Wahhabi Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Amin bin Ahmad Asy-Syinqithi dalam bukunya Majalis Ma’a Fadhilah asy-Syaikh Muhammad al-Amin al-Jakna Asy-Syinqithi’ menuliskan bahwa Syaikh Muhammad al-Amin al-Jakna asy-Syinqithi pernah mengatakan dihadapan mufti kerajaan dinasti Saudi, “Siapa yang mengabarkanmu bahwa Nabi yang diutus kepadaku dan yang wajib aku imani bernama Muhammad bin Abdul Wahhab?!! Sesungguhnya Nabi yang diutus kepadaku dan yang wajib aku imani namanya Muhammad bin Abdullah, yang dilahirkan di Makkah bukan dilahirkan di Huraimla, dikubur di Madinah bukan dikubur di Dir’iyyah, dia datang dengan membawa kitab namanya al-Qur’an, dan al-Qur’an itu aku bawa diantara dua lempengku. Dialah yang wajib diimani“.

Firqah atau sekte adalah kaum yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman dari apa yang dipahami oleh kaum muslim pada umumnya sehingga dikatakan pemahamannya termasuk pemahaman kaum khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut: “Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).

Ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut: “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).

Ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, menuliskan sebagai berikut: Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275). “

Begitu pula dapat kita ketahui dari informasi yang disampaikan dalam tulisan pada http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html  atau pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.100001039095629
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).  (HR Bukhari 3341)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Dari kelompok orang ini (Dzul Khuwaishirah  at Tamimi al Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad”. (HR Muslim 1762)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “akan muncul suatu firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)

Dari Asma’ binti Abu bakar radliallahu ‘anhuma, menuturkan; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Saya adalah manusia yang lebih dahulu menuju telaga hingga aku bisa melihat siapa saja diantara kalian yang menuju telagaku, dan ada beberapa orang selainku ditahan sehingga aku mengatakan; ‘Wahai Rabbi, ia adalah bagian dari diriku dan diantara umatku! ‘ maka di jawab; ‘Apakah kamu sadar apa yang mereka lakukan sepeninggalmu, demi Allah, mereka tak henti-hentinya berbalik ke belakang (murtad)  (HR Bukhari 6104)

Kaum khawarij dikenal pula sebagai kaum yang rajin melakukan ibadah namun mereka melakukan secara dzahir  semata.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)

Dalami tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/18/ciri-ulama-berselisih/ dapat kita simpulkan dari sabda-sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa sesungguhnya di masa kemudian akan ada ulama-ulama yang menyebabkan perselisihan diantara kaum muslim dikarenakan perbedaan pemahaman dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Berbahasa ibu yakni bahasa Arab.

2. Kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedoman Rasulullah yakni mereka mengada-adakan di dalam agama atau mengada-ada dalam perkara  syariat atau mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni mereka yang melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya atau mereka yang melakukan sunnah sayyiah, mencontohkan atau meneladankan sesuatu di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

3. Mereka berfatwa tidak mengindahkan kesepakatan as-sawad al a’zham (jumhur ulama) atau tidak mengindahkan pemahaman imam/pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat

4. Pemahaman mereka menyempal (keluar) dari pemahaman jama’ah atau keluar dari pemahaman jumhur ulama atau keluar dari kesepakatan as-sawad al a’zham

5. Seharusnya bersikap lemah lembut terhadap orang mu’min, bersikap keras terhadap orang-orang kafir namun mereka sebaliknya, keras terhadap orang mu’min dan bersikap lemah lembut terhadap orang kafir

6. Mereka memerangi orang-orang beriman yang berbeda pemahaman dengan mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat‘. Aku memanggil mereka, ‘Kemarilah kamu semua‘. Maka dikatakan, ‘Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat‘. Maka aku bersabda: Pergilah jauh-jauh dari sini. (HR Muslim 367)

Oleh karenanya hindarilah sekte-sekte atau firqoh yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)

Khudzaifah Ibnul Yaman berkata, “Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab “Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu? Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka! Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana? Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu” (HR Bukhari 6557, HR Muslim 3434)

Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham“.
Oleh karenanya kita harus kembali kepada pemahaman dan pengamalan agama yang haq yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan menelusuri kembali melalui dua jalur utama yakni

1. Melalui sanad guru, melalui jalur ulama yang sholeh, bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti ulama yang bermazhab yang tersambung kepada Imam Mazhab yang empat.
Contohnya tersambung kepada sanad gurunya Imam Syafi’i ra
Sanad guru Imam Syafi’i ra
a. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
b. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
c. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
d. Al-Imam Malik bin Anas ra
e. Al-Imam Syafi’i Muhammad bin Idris ra

2. Melalui ahlul bait, melalui jalur ulama yang sholeh, bernasab atau bersilsilah keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Ikuti apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almugoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthorigoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Berhati-hatilah dengan mereka yang mengaku-aku mencintai dan mengikuti Imam Ahlul Bait dan menamakan diri mereka kaum Syiah karena kenyataannya mereka hanya mengikuti pemahaman imam-imam kaum mereka semata berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Imam Mujtahid dari kalangan Ahlul Bait.
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian Imam Mujtahid dari kalangan Ahlul Bait, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Tidak sedikit dari kaum Khawarij yang dulunya bersifat brutal, akhirnya menyatakan taubat di hadapan beliau. Dan sebelum abad 7 H berakhir, madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari Hadramaut, dan Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah diterima oleh seluruh penduduknya.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” terutama bagi kaum Alawiyin, karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.

Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Berhati-hatilah dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad) seorang ulama. Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut sering dikritik atau dibantah oleh banyak ulama lainnya.

Apalagi mengikuti pendapat seorang ulama yang sudah dinyatakan oleh ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai ulama yang dapat menyesatkan kaum muslim sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22475&catid=9

Jangan menimbulkan penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Wassalam

Sumber

Silahkan pembaca menilai sendiri... 

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Thursday, 28 June 2012

Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى

HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-

لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-

Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).

Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah


Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.
Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî

Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;
  1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
  2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
  3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Dar Anshar
Dar Anshar
Maktabah Mu'ayyad
Maktabah Mu'ayyad
Dar Kutub
Dar Kutub
-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97;

استواءً يليق به من غير طول الاستقرار

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.
Dar Anshar
Dar Anshar
Maktabah Mu'ayyad
Maktabah Mu'ayyad
Dar Kutub
Dar Kutub
* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100;

استواءً منزها عن الحلول والاتحاد

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.
Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.

الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع

Begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.
Dar Anshar
Dar Anshar
Maktabah Mu'ayyad
Maktabah Mu'ayyad
Dar Kutub
Dar Kutub
* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.
Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.
Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.
Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.
Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?

Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb

1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;
Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.
2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;
Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.
Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.
3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;
Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.
Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.

Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)

  1. Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
  2. Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
  3. Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
  4. Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
  5. Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
  6. Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
  7. Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
  8. Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
  9. Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
  10. Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Daftar Pustaka

  1. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
  2. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
  3. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
  4. Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
  5. Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
  6. Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
  7. Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
  8. Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
  9. Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.
Semoga bermanfaat.

sumber

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Tuesday, 26 June 2012

Suasana Musim Panas Damaskus

Damaskus hari-hari ini terasa lebih panas dan udarapun kering tidak seperti di Indonesia yang beriklim lembab, bahkan kemungkinan suhu udara bisa mencapai 40 derajat Celsius, untuk ukuran orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan suhu panas serta kering bisa menimbulkan mimisan, kepala yang panas dan pusing, keadaan seperti ini terjadi pada puncak musim panas setiap tahun yaitu pada bulan juli, untuk pelajar Indonesia yang pertamakali menginjakan kaki di damaskus mungkin perlu waktu untuk membiasakan diri menghadapi iklim timur tengah seperti ini, selain itu ia juga harus siap fisik karena itu adalah hal yang sangat penting untuk dipersiapkan dalam menjalani hari-hari di musim panas, fisik dipersiapkan dengan tidur yang cukup sekitar 6 jam per-hari, makan-makanan yang bervitamin dan berserat seperti buah-buahan yang akan membantu kondisi tubuh agar tetap fit dan fresh (seger) kalau malas mengunyahnya maka beli jus buah juga susu atau laban (yoghurt) untuk menjaga kekebalan tubuh dan meningkatkan antibodi. 


Ada “sesuatu” yang sangat dicari orang-orang dan begitu laku pada musim ini, apakah itu? Itu adalah es krim, hampir setiap hari saya selalu membelinya karena rasanya yang sangat enak memanjakan lidah dengan rasa yang beraneka ragam dan kelembutan teksturnya, selain itu es krim sedikit membuat tubuh lebih dingin. Begitupun dengan penduduk damaskus, merekapun gemar dengan es krim maka tidak heran banyak toko yang menjual beranekan ragam jenis es krim dan beragam rasa. Salah satu toko es krim yang sangat terkenal di Damaskus adalah Budhoh Omawiyien yang terletak di kawasan Syuuq Hamidiyah sebuah pasar tradisional juga modern yang terletak di jantung kota Damaskus dan berdekatan dengan Masjid Umawi sebuah masjid besar peninggalan masa emas dinasti Umawiyyah dan di sana juga banyak terlahir ulama yang sangat besar seperti Imam Ghozali dan sebagainya. Setiap hari toko es krim Omawi ini selalu ramai dibanjiri penikmat es krim bahkan sering terjadinya antrian panjang oleh para pelanggan baik domestic ataupun luar negeri karena es krim yang berada di toko ini sangat khas dan dibuat dengan tekhnik khusus yang diwariskan turun temurun dari keluarga pengusaha es krim ini.


Tidak hanya udara yang kering dan suhu yang menaik, waktu siangpun sangatlah panjang, sangat kontras dengan waktu siang pada musim dingin, waktu siang pada musim dingin sekitar 11 jam saja sedangkan pada musim panas waktu siang adalah mencapai 16-17 jam bahkan bisa lebih di wilayah yang lebih dekat ke kutub utara, di inggris bahkan waktu siang pada musim panas bisa mencapai 18 jam tentu bagi orang Indonesia perubahan waktu ini sangatlah drastis dan bisa membuat tubuh merasa kaget karena ketidaksiapannya, bentuk dari kekagetan tersebut bisa berupa berbagai macam penyakit seperti sariawan, kulit pecah-pecah seperti bersisik dan gatal, demam, pusing dan sebagainya. 

salah satu sudut taman di Damaskus
Satu hal yang mungkin akan terasa berat bagi pelajar Indonesia di Damaskus adalah saat melaksanakan puasa Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas bahkan puncaknya pada bulan juli ini, ini adalah tantangan dan sekaligus ujian ketahanan fisik dan iman, fisik akan diuji dengan menahan lapar lebih lama daripada dulu ketika puasa di kampong halamannya dan iman akan diuji apakah ia akan siap dan kuat atas perintah Allah ini dengan bersabar sebentar di dunia sebelum ia tidak punya waktu untuk bersabar di akhirat. Apabila dilankan dengan ikhlash insyaAllah balasan yang berlipat ganda telah disiapakan Allah bagi hamba-Nya.


Ini adalah tahun pertama saya menjalani kehidupan di luar negeri jauh dari kampung halaman dan orang-orang yang saya sayangi, di negeri yang penuh barokah dan orang-orang sholih cukuplah doa Nabi dan perintah serta anjurannya kepada sahabat beliau supaya hijrah dan berkunjung ke syam adalah bukti betapa berkahnya negeri ini. Ini adalah kesempatan emas bagi saya untuk mengasah kemampuan diri dan menerpa kedewasaan, jangan sampai kesempatan ini disia-siakan, jika disia-siakan maka saya akan menjadi orang yang sangat merugi, mari bangun semangat pantang mundur, berani hidup dan perlu diingat bahwa hidup ini terlalu sebentar jika hanya menjadi orang yang tidak berguna.



Damaskus 2012

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Sunday, 3 June 2012

Cerita Tentang Kebosanan

Ini sebuah cerita ringan tentang kebosanan.

Seorang tua yang bijak ditanya oleh tamunya.

Tamu :"Sebenarnya apa itu perasaan 'bosan', pak tua?"

Pak Tua :"Bosan adalah keadaan dimana pikiran menginginkan perubahan, mendambakan sesuatu yang baru, dan menginginkan berhentinya rutinitas hidup dan keadaan yang monoton dari waktu ke waktu."

Tamu :"Kenapa kita merasa bosan?"

Pak Tua :"Karena kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki."

Tamu :"Bagaimana menghilangkan kebosanan?"

Pak Tua :"Hanya ada satu cara, nikmatilah kebosanan itu, maka kita pun akan terbebas darinya."

Tamu :"Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan?"

Pak Tua:"Bertanyalah pada dirimu sendiri: mengapa kamu tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari?"

Tamu :"Karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda, Pak Tua."

Pak Tua :"Benar sekali, anakku, tambahkan sesuatu yang baru dalam rutinitasmu maka kebosanan pun akan hilang."

Tamu: "Bagaimana menambahkan hal baru dalam rutinitas?"

Pak Tua :"Ubahlah caramu melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelpon dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri atau dengan kaki kalau bisa. Dan
seterusnya." Lalu Tamu itu pun pergi.

Beberapa hari kemudian Tamu itu mengunjungi Pak Tua lagi.

Tamu :"Pak tua, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan, kenapa saya masih merasa bosan juga?"

Pak Tua :"Coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan."

Tamu :"Contohnya?"

Pak Tua :"Mainkan permainan yang paling kamu senangi di waktu kecil dulu."

Lalu Tamu itu pun pergi.

Beberapa minggu kemudian, Tamu itu datang lagi ke rumah Pak Tua.

Tamu :"Pak tua, saya melakukan apa yang Anda sarankan. Di setiap waktu senggang saya bermain sepuas-puasnya semua permainan anak-anak yang saya senangi dulu. Dan keajaiban pun terjadi. Sampai sekarang saya tidak pernah merasa bosan lagi, meskipun di saat saya melakukan hal-hal yang dulu pernah saya anggap membosankan. Kenapa bisa demikian, Pak Tua?"

Sambil tersenyum Pak Tua berkata:

"Karena segala sesuatu sebenarnya berasal dari pikiranmu sendiri, anakku. Kebosanan itu pun berasal dari pikiranmu yang berpikir tentang kebosanan.

Saya menyuruhmu bermain seperti anak kecil agar pikiranmu menjadi ceria.
Sekarang kamu tidak merasa bosan lagi karena pikiranmu tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiranmu tentang kebosanan.

Segala sesuatu berasal dari pikiran.
Berpikir bosan menyebabkan kau bosan.
Berpikir ceria menjadikan kamu ceria."



BACA SELENGKAPNYA>>>>
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...