Wednesday 26 October 2011

Membongkar Hujjah Firanda atas "IJMA' ULAMA BAHWA ALLAH DI LANGIT"

Ustadz Ahmad Syahid


Baik kita mulai dengan mengkaji sandaran-sandaran ustadz Firanda dalam klaim Ijmaknya :

1. Riwayat Pertama yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda untuk klaim adanya Ijmak tentang keberadaan Allah di langit :
Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)
Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu – dan para tabi’in masih banyak- kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsy-Nya, dan kita beriman dengan sifat-sifat-Nya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)


Tanggapan: Tidak ada keraguan jika al-Imam al-awza’i adalah Ulama besar panutan Ahlu Sunnah (asy`ariyah) yang wajib diikuti, hanya apakah riwayat ini bersifat Qoth’i (pasti) atau riwayat ini bersifat Dzani ( tidak pasti) yang sama sekali tidak diterima oleh Ulama Ahlu Sunnah? Karena riwayat yang bersifat Dzani tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah aqidah, mari kita kenali rawi-rawi dalam riwayat ini:
Dalam sanad riwayat ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin katsir al-mashishi (urut 4). al-Mashishi menurut Imam Ahmad hadistnya Mungkar atau meriwayatkan sesuatu yang mungkar hal ini disebutkan oleh ibnu Adi dalam al-Kamil, dan ibnu Adi mengatakan al-mashishi mempunyai riwayat-riwayat dari Ma’mar dan Al-aw-za’i khususnya Hadist-hadist A’dad yang tidak diikuti oleh seorang pun. Demikian juga disebutkan dalam kitab al-jarh wa at-ta’dil juz 8 hal 69, al-mashishi di dha’ifkan oleh Imam ahmad, disifati sangat lemah. Jika para Imam Ahli jarh wa-ta’dil sudah melakukan Jarh seperti ini maka riwayatnya sama sekali tidak bisa diterima apalagi dijadikan Hujjah dalam Aqidah.


Terlebih Dalam riwayat ini al-Mashishi meriwayatkannya dari Ibrohim bin al-haitsam (urut 3), berkata al-Uqoili dalam kitab ad-Du’afa juz 1 hal 274: dia (Ibrohim al-haitsam) meriwayatkan Hadist yang dianggap Dusta oleh ahli Hadist dan ahlul Hadist menyerangnya dengan periwayatan Hadist yang dianggap dusta itu. Dengan demikian dua orang rawi dalam atsar ini jatuh, al-Mashishi tertuduh meriwayatkan yang Mungkar dan al-Haitsam tertuduh dusta, sehingga hukum atsar ini Maudhu’. Otomatis hal ini menggugurkan Sandaran pertama Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya ini. Ya, gugur!

2. Riwayat kedua yang dijadikan sandaran oleh Ustadz firanda
Kedua : Qutaibah bin Sa’iid (150-240 H)
Beliau berkata :
هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كماقال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى


“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103).

Tanggapan: Qutaibah bin Said syeikh Khurosan tidak diragukan ke-imamannya, hanya saja riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Naqosy seorang Pemalsu hadist. Llihat Lisanul Mizan juz 5 hal 149, an-Naqosy juga disebutkan dalam al-Kasyf al-Hatsist tentang rawi-rawi yang tertuduh dengan pemalsuan dengan nomer 643, meninggal tahun 351 hijriyah. Sementara Abu Ahmad al-Hakim meninggal tahun 398 hijriyah terpaut waktu 39 tahun, sehingga tidaklah benar jika dia meriwayatkan dari Abul abbas as-siraj, karena as-siraj lahir pada tahun 218 h meninggal tahun 313 sebagaimana disebutkan dalam Tarikh baghdad juz 1 hal 248. Artinya ketika as-siraj meninggal al-hakim baru berusia 7 tahun bagaimana bisa shahih riwayatnya? Jelas ucapan ini adalah Dusta yang dibuat an-naqosy, terlebih an-naqosy terkenal sebagai pemalsu !
Saya jadi heran kenapa Ustadz Firanda sebagai salah satu tokoh Salafi (wahabi) Indonesia kok ber-Hujah dengan yang dusta alias Palsu? Dengan demikian Status Hujjah ini: gugur!

3. Qoul ketiga yang dijadikan sandaran dan Hujjah oleh Ustadz Firanda
Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran” (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)


Tanggapan: Ibnu Qutaibah seorang Mujassim, lihatlah perkataannya dan perhatikan : “Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran”. Perkataan ini sama sekali tidak menunjukkan adanya Ijma’ sebagaimana yang di dakwakan Ustadz firanda. Terlebih Ulama Asy’ariyah hanya menerima Qur`an dan hadist yang bersifat qoth’i sebagai Hujjah dalam Aqidah. Kalaupun ada Ijma’ ia harus bersandar kepada Qur’an dan hadist, bukan bersandar kepada perkataan seluruh Ummat. Ibnu Qutaibah mencoba berdalil dengan omongan semua orang baik Hindu, Atheis, Konghucu dan sebagainya dan ini Bathil. Dengan demikian Status hujjah menjadi Gugur!
Saya jadi semakin heran terhadap ustadz Firanda sampai-sampai igauan Bathil Ibnu Qutaibah pun dijadikan sandaran dalam Aqidah! Apakah Ibnu Qutaibah menganggap seorang Atheis pun ber-Aqidah-kan “Allah di langit” sehingga berani mengatakan SELURUH UMMAT dst…?” Apakah Ustadz Firanda pun mengigau seperti ini? Ya akhi jangan main-main lho ini Aqidah pondasi dasar keyakinan.


4. Qoul ke empat yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda
Keempat : Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)

Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi
“Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25)


Tanggapan :
1). Abu said Ustman bin said ad-darimi as-sajzi bermadzhab hanbali, dia seorang mujassim musyabih dari golongan Hasywiyah wafat tahun 282 Hijriyah. Konon wafat tahun 280 hijriyah, Tasybih yang jelas terlihat dari Ucapannya : ”bahwa orang yang berada di puncak gunung lebih dekat kepada Allah ketimbang orang yang berdiri di bawah gunung.” Lihat al- Maqolat il Allamah al-Kautsari hal 282.
Saya Ahmad Syahid katakan: Sungguh ucapan ini bertentangan dengan Hadist shahih di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rosulallah SAW bersabda: ” seorang Hamba Lebih dekat kepada Tuhannya ketika ia dalam keadaan Sujud”, dan bahkan bertentangan dengan Al- Qur’an: ”Sujudlah dan mendekatlah. ” (qs. Al-alaq. 19). Dalam ayat ini posisi sujud digandengkan dan diidentikkan dengan kedekatan dengan Allah, ayat ini jelas bertentangan dengan perkataan dan keyakinan Abu said ad-darimi diatas.
2). Status Hujjah gugur karena dua hal:
1. Abu said ad-Darimi menyandarkan aqidahnya ini kepada ucapan ummat islam (entah ummat islam yang mana) dan ucapan Ummat Kafir ( yang tantu aqidahnya berbeda dengan muslimin ). Harusnya Abu Said Ustman ad-Darimi menyandarkan Aqidahnya kepada Qur’an dan Hadist yang shahih atau minmal kepada pernyataan Ulama Muslimin (ahlu Sunnah ), bukan kepada Ucapan orang Kafir.
2. Aqidah abu said ustman ad-darimi bertentangan dengan Qur’an dan Hadist sebagaimana saya sebutkan diatas.
3. Abu Said Ustman ad-Darimi bukanlah Imam Ahlu sunnah yang terkenal itu, sebab Imam ahlu sunnah adalah : Al-imam Al-hafidz Abu Muhammad abdullah bin Abdurohman bin Fadl bin Bahrom ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqondi, beliaulah penulis kitab Sunan ad-darimi wafat tahun 255 hijriyah. Hati-hatilah jangan sampai tercapur aduk antara ad-darimi Imam ahlu sunnah dengan ad-darimi ahlu Bid`ah. Dengan demikian Status hujjah gugur, karena omongan ini keluar dari Ahlul Bid`ah Ustman ad-Darimi yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist diatas.


5. Qoul ke 5 yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda dalam klaim Ijma` nya

Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشهفي سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”

“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami – dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai – bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185)

Tanggapan: Qoul ini diriwayatkan oleh ibn Bathoh al-U’kbari nama lengkapnya : Abu Abdullah Ubaidillah ibn Muhammad ibn Bathoh al- U’kbari, seorang Mujassim bermadzhab Hanbali sekaligus seorang pemalsu hadist (wadho’). Dilahirkan tahun 304 dan wafat pada tahun 387 hijriyah. Konon dialah pencetus Aqidah Pembagian Tauhid. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Astqolani mengatakan dalam kitabnya Lisanul Mizan juz 4 hal 113: “Aku memikirkan Ibnu Bathoh atas sebuah perkara yang sangat besar hingga kulitku merinding darinya. Kemudian aku tetapkan bahwa dia adalah seorang pemalsu hadist (wadho’) , dan dia mempunyai kebiasaan mencungkil nama-nama para imam ahli hadist. Kemudian dia letakkan Namanya ditempat nama Imam yang dicungkilnya. Begitu juga al-Khotib al-Baghdadi menyebutkan sebuah Hadist di mana sanad hadist tersebut terdapat Ibnu Bathoh, kemudian al-khotib al-baghdadi mengatakan Hadist ini palsu dengan jalur sanad ini, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Bathoh. Ibnu Bathoh meriwayatkan atsar ini dari Ahmad ibn as-Saji. Al-Albani dalam Mukhtasor al-uluw hal. 223 mengakui bahwa Ahmad ini tidak dikenal alias majhul, status Hujjah GUGUR. Ustadz Firanda kok seneng yang palsu-palsu ya?


6. Qoul ke enam yang dijadikan Hujjah oleh Ustadz Firanda untuk klaim Ijma’ keberadaan Allah dilangit
Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254

“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”

Tanggapan : Ibnu Khuzaimah Mujassim terkenal dan sangat sadis.Beliaulah yang berfatwa Kafirnya orang yang tidak mengakui Bahwa Allah berada di atas langit maka orang tersebut harus dibunuh jika tidak mau tobat dan mayatnya dibuang ke tempat sampah. Namun al-hamdulillah akhirnya beliau tobat dari Aqidah tajsim ini seperti yang dinyatakan oleh Imam al-baihaqi dalam asma wa as-sifat hal. 269. Begitu juga dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul bari juz 13 hal 492.
Jadi rupanya Ustadz firanda belum tahu atau pura-pura tidak tahu jika penulis kitab ” at-Tauhid ” (ibnu khuzaimah) telah tobat dari aqidah yang tertulis dalam kitabnya itu. Sehingga gugur-lah sandaran ke-enam atas klaim Ijmaknya Ustadz Firanda ini, sebab penulisnya pun sudah Tobat.


7. Qoul ke tujuh yang dijadikan Hujjah atas klaim Ijma’ Ulama bahwa Allah di Langit
Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :
“باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”

Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).

Tanggapan: Lagi-lagi ustadz firanda ber-hujjah dengan seorang Wadho’ alias pemalsu, status Hujjah gugur lagi. Lihat tanggapan saya atas poin ke 5.


8. Qoul ke 8 yang dijadikan Ustadz firanda sebagai sandaran atas Klaim Ijma’-nya
Kedelapan: Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul
” أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315)
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).

Tanggapan: Tahukah Ustadz firanda jika Adz-Dzahabi juga mengatakan dalam Siar ‘Alam an-Nubala juz 17 hal 567, Adz-Azahabi berkata: ”Saya melihatnya ( at-Tholamanki , pent) menulis kitab yang diberi judul As-Sunnah dua jilid. Secara umum kitab itu baik hanya saja dalam beberapa bab dalam kitab tersebut ada hal yang selamanya tidak akan sejalan (denganku-pent), seperti bab janb (lambung / sisi Allah ) dalam bab itu dia menyitir firman Allah : ”Sungguh rugi atas apa yang aku lalaikan di sisi Allah, hal ini merupakan bentuk keterglinciran seorang Alim. Orang ini Mujassim omongannya tidak perlu dianggap. Sandaran ustadz firanda yang ke 8 pun gugur. Karena Imam Adz-Dzahabi pun tidak sejalan dengannya.


9. Qoul ke sembilan yang dijadikan sandaran klaim Ijma` ustadz firanda

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)

Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para
ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317)
Tanggapan: Yang shahih dari Ucapan Imam As-shobuni hanya : “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an) …. kata-kata setelah ini (para pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana? Silahkan rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni, pernyataan al-imam as-Shobuni ini sama sekali tidak mendukung klaim Ijma’ tentang keberadaan Allah di langitsebagaimana yang di Klaim oleh Ustadz firanda. Inilah yang disebut dengan tafwidh yang juga ditolak oleh Salafi Wahabi. Status Hujjah salah alamat!


10. Qoul ke 10 yang dijadikan Hujjah untuk mendukung klaim Ijma’ sang ustadz
Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H)
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) :
Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”
Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321


Tanggapan: Kenapa Ustadz firanda tidak sekalian menyertakan perkataan Adz-Dzahabi dalam al-uluw ketika berbicara tentang As-sajzi? Berkata adz-dzahabi: bahwa lafadz ”Dzat” bukanlah pernyataan yang masyhur dan terjaga dari para Imam yang disebutkan oleh as-sijzi. Lafadz ”Dzat” itu dari kantongnya As-sijzi bukan dari para Imam. As-Sijzi juga terkenal dengan Tahrif (merubah) hadist sebagai contoh As-Sijzi merubah Hadist ar-rohmah al-musalsal bil awliyah dari jalur Abi Qobus al-Majhul dengan Lafadz ”yarhamkum man fi as-sama” padahal lafadz hadist dari Abu Qobus al-Majhul dalam musnad Ahmad juz 2 hal. 160 ”yarhamkum Ahlu as-sama”. Begitu juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu hajar dalam Mu’jam al-Syaikhokh Maryam (makhtut) masih berupa manuskrip bahwa Aba Daud juga meriwayatkan dengan Lafadz ”Yarhamkum Ahlu as-sama”. Apakah menurut ustadz Firanda riwayat seorang Muharif ( tukang merubah) bisa diterima? Apakah riwayat (berita) yang telah dirubah isinya dapat dijadikan Hujjah? Mengingat riwayat–riwayat palsu pun dijadikan sandaran oleh Ustadz firanda seperti riwayat-riwayat yang telah lalu, tidak aneh jika riwayat yang telah dirubah pun dijadikan sandaran oleh ustadz firanda.
Status Hujjah Gugur bagi orang yang berakal waras.


11. Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod,
“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261)


Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306)


Tanggapan: Kitab al-I’tiqod karya Abu Nu`aim Al-ashfahani tidak ada wujudnya, ini merupakan kitab Majhul yang hanya diketahui oleh Imam Adz-dzahabi. Terlebih adz-Dzahabi sendiri telah meninggalkan faham yang dianutnya dalam kitabnya al-Uluw ini. Saya minta Ustadz Firanda untuk menunjukkan wujud asli kitab i’tiqod yang dinisbatkan kepada abu Nu’aim, atau kitab Majhul pun menurut Ustadz Firanda bisa dijadikan referensi? Status Hujjah gugur karena kitab al-I’tiqod Abu Nu’aim adalah kitab Majhul, terlebih dalam tulisan ini Ustadz Firanda banyak menyandarkan Hujjahnya pada para Pembohong dan Pemalsu seperti yang telah lewat diatas.


12. Qoul ke 12 yang dijadikan sandaran ustadz Firanda Untuk menguatkan Klaim Ijma’-nya
Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)
Berkata Ibnu Abi Hatim :
“Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:
Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang…
Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198)
Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,

“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201.

Tanggapan: Riwayat ini tidak sah dinisbatkan kepada Abu Zur’ah begitu juga jika dinisbatkan kepada Abu hatim. Riwayat ini diriwayatkan dari tiga jalur sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahzbi dalam Al-Uluw. Dua jalur pertama terdapat dua Rawi yang majhul, keduanya yaitu : Ali ibn Ibrohim meriwayatkan dari Ibn Jami’ , rawi majhul yang satunya Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada bioghrafi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta’dil yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul. Sebagaimana riwayatnya terdapat dalam sarh Sunnah Al-Lalikai juz 1 hal 176 , jalur ketiga atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Murdik jarak kematiannya dengan Abu Hatim 60 tahun sebagaimana disebutkan dalam Tarikh Baghdad juz 12 hal 30.


Seperti diketahui secara luas oleh ahli bahwa Abu Zur’ah dan Abu Hatim tidak dikenal berbicara dalam masalah seperti ini sebagaimana keduanya juga dikenal tidak mempunyai karya tulis dalam Bab Aqidah persis seperti teman keduanya yaitu Imam Ahmad Ibn Hambal yang juga mengatakan: “Tidak ada yang melewati jembatan Baghdad orang yang lebih Hafidz dari Abu Zur’ah, beliau adalah termasuk salah satu Wali Abdal yang dengannya Bumi terjaga.”


Saya Ahmad Syahid katakan: Andai pernyataan sepert itu Muncul dari golongan Asy’ariyah atau Sufiyah Pasti kaum wahabiyyin akan menuduh Kafir, Musyrik, dan Ahli Bid’ah!
Status Hujjah gugur , karena rawi-rawinya Majhul.


Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)
Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),
“Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)
Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :
“Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…”” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)
Beliau juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)

Tanggapan: Inilah pentingnya menggabungkan antar riwayat sebagaimana saya sebutkan dalam awal Mukadimah, sehingga memberikan pemahaman yang utuh sesuai dangan maksud penulis, sebab Ibnu Abdil Bar dalam dalam At-Tamhid juga mengatakan :

Pertama: ”Bahwa Khobarul wahid (hadist ahad ) tidak memberikan keyakinan pasti (ilm) hanya mewajibkan untuk diamalkan ( hanya berlaku dalam furu’, pent).” Tentu hal ini bertentangan dengan kaum wahabiyyin, yang menjadikan khobarul wahid (hadist ahad) sebagai Hujjah dalam Aqidah , bahkan dalam tulisan ini Ustadz Firanda membawakan atsar – atsar Mungkar tidak sah bahkan Maudu’ untuk landasan Aqidah, sebagaimana yang telah lewat diatas.


Kedua: Ibnu Abdil Bar juga mengingkari pernyataan Nu’aim bin Hammad yang menyatakan bahwa ”Allah turun dengan Dzatnya sementara dia diatas kursinya ”, berkata Ibnu Abdil Bar : ” ucapan ini bukanlah sesuatu (yang dapat dipegang- pent.) di kalangan ahli, karena ini merupakan kaifiyah (membagaimanakan-pent) sementara Ahli Ilmu Lari dari pernyataan seperti ini karena pernyataan seperti itu tidak bisa difahami kecuali terhadap sesuatu yang terlingkupi penglihatan ( bersifat fisik-pent).

Ketiga: Ibnu Abdil Bar juga mengatakan : telah bersepakat Ulama shahabat dan tabi’in yang dari mereka dibawakan takwil dst…, menunjukkan jika takwil itu boleh dan dibenarkan karena datang dari para sahabat dan tabi`in, lalu kenapa Wahabiyyin dalam masalah istiwa pun melarang takwil? Lebih dari itu Wahabiyyin menganggap sesat orang yang melakukan Takwil?


Ke empat: Ibnu Abdil Bar mengatakan: telah berkata Ahli Atsar (tentang Hadist Nuzul –pent) bahwa yang turun adalah Perintah dan rahmatnya, kemudian beliau menyebutkan riwayat hingga Imam Malik rodiuallahu anhu dan berkata: bisa jadi (pentakwilan ini -pent) seperti perkataan imam malik rohimahullah yang bermakna ”Turunnya Rohmat dan Qodhonya (ketetapan-pent) dengan pengampunan dan penerimaan, At-Tamhid 7/ 144 .


Ke lima: Dari pernyataan-pernyataan yang digabungkan ini , jelas-lah Aqidah sang Imam bahwa Beliau adalah seorang Mufawwidh, yang salah difahami oleh sang Ustadz Firanda sehingga dijadikan landasan dan Hujjah akan Klaim Ijmaknya. Lihatlah sang Imam mengingkari istiwa dengan ”Dzatnya” dan sang Imam pun membolehkan Takwil. Lalu mengikuti siapakah kawan-kawan wahabiyiin ini? Mereka dan juga Ustadz Firanda menolak Tafwidh dan takwil, padahal keduanya ( Tafwidh dan Takwil) adalah Manhaj atau metodologi yang dianut Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah) sepanjang masa, sehingga status Hujjah Ustadz Firanda Gugur karena Imam Ibnu Abdil Bar adalah seorang Mufawwidh.

ustadz Firanda mengatakan: “Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf.”


Jawab: Para pembaca yang budiman ternyata setelah dilakukan pengecekan secara seksama semua riwayat yang ustadz Firanda jadikan sandaran adalah tidak sah , Mungkar bahkan maudu’ sebagaimana tadi kita kupas satu per satu. Bukankah ustadz Firanda dan All wahabiyyin menolak Hadist-hadist dha’if meskipun hanya untuk Fadailul a’mal? Tetapi kenapa justru pada masalahushul/Pokok (Aqidah) sebagai Pondasi Iman seorang Muslim, justru Ustadz Firanda menyuguhkan dan bahkan menggunakan perkataan Ulama yang riwayatnya tidak sah , Mungkar bahkan maudhu’? Diletakkan di mana semboyan: ”hanya menggunakan hadist-hadist shahih-nya?” Ijmak yang Ustadz Firanda klaim itu hanya berdiri di atas ketidak-absahan, kemungkaran dan kepalsuan!


Demikian kajian atas Klaim ijma tentang ”keberadaan Allah Di langit” telah gugur seiring dengan gugurnya para Rawi yang meriwayatkannya. Dan sebenarnya masih banyak qoul –qoul lainnya yang dinisbatkan kepada para Ulama Ahlu Sunnah ( Asy’ariyah ) yang jika diteliti sanadnya akan menghasilkan hal yang sama dengan atsar-atsar yang ditampilkan Ustadz Firanda, statusnya akan sama (gugur) karena riwayat-riwayat itu 95 % adalah Tidak Sah , Mungkar , dan maudhu’. Adapun Ijmak yang benar di kalangan Ahlu Sunnah Wal-jama’ah adalah keyakinan Bahwa ”Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah ”. Ijmak ini dinukil Oleh Al-imam Al-Hafidz An-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 5 hal. 24 cet. Darul Fikr, juga Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-atsqolani Al-Imam Al- Hafidz az-zabidi. Ijmak ini pun dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak halaman 167.
Wallohu a’lam….

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Pujian Untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ?

Orang-orang wahabi salafi mengaku bahwa banyak para ulama dunia yang memuji dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, benarkah hal itu ? siapa saja kah para ulama yang telah memuji Muhammad bin Abdul Wahhab ?

Ternyata ulama-ulama yang mereka klaim sebagai Ulama dunia tidak ada lain hanya berputar dari kalangan keluarga dan murid-murd Muhammad bin Abdul Wahhab saja. Bahkan mereka berani berdusta atas nama ulama Ahlus sunnah waljama’ah di antaranya imam Ash-Shon’aani padahal beliau mencela Muhammad bin Abdul wahhab juga.

Demi mendapat dukungan dari umat dan menutup-nutupi sejarah kelam Muhammad bin Abdul wahhab serta kesesatan dakwahnya, maka para pentaqlid butanya membuat sebuah judul “ Para ulama dunia memuji dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab “, mereka mnyebutkan nama-nama para ulama yang memuji Muhammad bin Abdul Wahhab.

Nah siapakah sebenarnya para ulama tersebut yang mereka klaim Ulama dunia yang telah memuji-muji dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab ? Tidak lain pembela-pembela Muhammad bin Abdul Wahhab, hanya berputar dari kalangan anak-anaknya, cucunya, murdi dan kerabatnya saja. Simak penjelasan berikut ini..!

Wahhabi Salafi berkata “ Di antara para ulama yang membela dan memuji dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah :


1. Ahmad bin Mani’ .

Bantahan : Siapakah Ahmad bin Mani’ ? tidak ada lain nama lengkapnya adalah Ahmad bin Mani’ bin Ibrahim bin mani’. Dia adalah salah satu murid Muhammad bin Abdul wahhab wafat tahun 1186 H. Lihat profilnya dalam kitab Ulama Najd juz 1 halaman 504.

2. Muhammad bin Ghoihab dan Muhammad bin ‘Idan yang telah mengarang sebuah risalah / buku kecil yang ditujukan kpd syaikh Abdullah Al-Muis (aswaja) menasehati agar kembali kpd ajaran Tauhid Muhamamd bin Abdul Wahhab.

Bantahan : Muhammad bin Ghoihab adalah murid Muhammad bin Abdul Wahhab demikian juga Muhammad bin ‘idan.
Dan kita tanyakan kepada mereka “ Apa judul risalah tersebut dan di mana keberadaan risalah tersebut ?”

3. Hamd bin Mu’ammar dan Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, kedua ulama tersebut telah mengarang sebuah kitab “ At-Taudhiih ‘an Tauhidil khollaq fii jawabi ahlil Iraq “.

Bantahan : Hamd bin Mu’ammar adalah murid Muhammad bin Adbul wahhab. Dan Abdullah adalah putra Muhammad bin Abdul wahhab.

4. Al-Allamah syaikh Husain bin ghonnam Al-Ihsaai pengarang kitab tarikh Najd. Seorg ahli ilmu Nahwu dan arudh.

Bantahan : Dia telah menjdi murid Muhammad bin Abdul wahhab, dan tidaklah mengarang kitab tarikh Najd terkecuali menambah wawasan akan kedzaliman dan sejarah kelam Muhammad bin Abdul wahhab.

Di antara isinya adalah di halaman 97, disebutkan bahwa Syaikh Husain menukil dari sbagian risalah gurunya Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai berikut : “
Muhammad bin Abdul wahhab bercerita “ Sesungguhnya Utsman bin Mu’ammar adalah seorang hakim negeri Uyainah dia adalah musyrik dan kafir. Setelah orang-orang mengetahui kekufurannya, maka mereka berencana membunuhnya. Setelah selesai sholat jum’at. Dan kami membunuhnya di tempat sholatnya di dalam masjid bulan Rajab tahun 1163 H “.

Lihatlah Muhammad bin Abdul wahhab dengan bangga menceritakan pembunuhannya terhadap Utsman bin Mu’ammar yang divonis kafir di dalam masjdi rumah Allah Swt ??? dan dengan percaya diri, muridnya tsb menceritakan kembali dalam kitab Tarikh Najdnya.

5. Al-Allamah Hamd bin Nashir bin Utsman bin Mu’ammar, dia telah mengarang banyak bantahan di angtaranya : Kitab “ An-Nubdzah Asy-Syarifah An-Nafisah fi r Radd ‘alal quburiyyin “, At-Tuhfah Al-Madaniyyah fil Aqidah As-Salafiyyah “..

Bantahan : Hamd ini adalah murid Muhammad bin Abdul wahhab dan kakeknya yaitu Utsman bin Mu’ammar telah dibunuh oleh gurunya tsb yaitu setelah selesai sholat jum’at dan masih berada dalam tempat sholatnya di masjid.

6. Abdullah bin Muhamad bin Abdul Wahhab.

Bantahan ; Dia adalah putra Muhamamd bin Abdul Wahhab, namanya sering diulang-ulang penyebutannya dalam jajaran ulama yang memuji Muhammad bin Abdul Wahhab. Dan dia telah menghalalkan darah dan harta dgn jalan mencuri atau merampok kpd org yg tdk mengikuti paham ayahnya.

7. Syaikh Abdul Aziz bin Hamd.

Bantahan : Dia adalah cucu Muhammad bin Abdul wahhab.

8. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman abu Bathin.

Bantahan ; Dia adalah salah satu murid Abdullah putra Muhammad bin Abdul wahhab.

9. Al-Allamah syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus syaikh.

Bantahan ; dia adalah salah satu cicit muhamamd bin Abdul wahhab.

10. Syaikh Abdurahman bin Muhammad bin Mani’. Dia telah mengarang qosidah di dalam memuji Muhammad bin Abdul Wahhab.

Banthan : dia adalah salah satu murid dari cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abdurrahman bin Hasan.

11. Al-Allamah syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan.

Bantahan : Dia putra dari cucu Muhamamd bin Abdul wahhab.

12. syaikh Abdul Aziz bin Hasan Al-Fadhli
.

Bantahan ; Dia adalah salah satu murdi cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abdurrahman bin hasan.

13. Syaikh Sholeh bin Muhammad Asy-Syatsri, yang telah mengarang kitab abntahan kpd syaikh Ahmad Dahlan dengan judul “ Ta’yidul Malikil Mannan fi Naqdhi dholalati Dahlan “.

Bantahan : dia adalah dia belajar kepada Abdurrahman bin hasan cucu dr Muhammad bin Abdul wahhab.

14. Al-Allamah syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin hasan.
Bantahan : Dia adalah putra dari Abdurrahman bin Hasan cucu dari Muhammad bin Abdul wahhab.

15. Al-Allamah syaikh Hamd bin Ali bin Muhamad bin Atiq.
Bantahan : Termasuk murid khusus yang selalu mengikuti majlis Abdurrahman bin hasan.

16. Al-Allamah syaikh Husain bin Hasan bin Husain bin Ali bin Husain bin Muhammad bin Abdul wahhab.


Bantahan : Telah jelas dr keturunan Muhammad bin Abdul wahhab.

17. Al-Allamah syaikh Abdurrahman bin Abdul Lathif Aalus syaikh.

Bantahan : juga keturunan Muhammad bin Abdul wahhab.

18. Al-Allamah syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa.

Bantahan : Murid dari salah satu murid cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abu Bathin.

19. Al-Allamah syaikh Nashir bin su’ud asy-syuwaimi.

Bantahan : murdi dari cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abdullah bin Abdul Lathif.

20. Wahbah Az-Zuaili Ad-Dimasyqi.

Bantahan : Beliau bukan pembela Muhammad bin Abdul wahhab. Justru beliau adalah seorg asy’ari dan mencintai ilmu tasawwuf. Bahkan beliau memuji kitab Burdah karya imam Bushiri.

21. Doktor Muhammad Ahmad Darniiqoh, telah mengarang kitab “ Syaikh Muhamamd bin Abdul wahhab Raaid ad-dakwah as-salafiyyah “.

Bantahan : Jika mereka mengklaim doctor Muhammad Ahmad adalah pembela Muhammad bin Abdul wahhab, maka seharusnya mereka juga mau menerima karya beliau yang berjudul “ A-th-Thoriqah An-Naqsyabandiyyah wa ‘alaamuha ‘. Buku mnjelaskan ajaran tariqat naqsyabandiyyah dan beliau pun memuji tariqat ini.

22. Imam Ash-shon’aani al-Yamani.

Bantahan : Beliau memang awalnya sempat memuji dakwah Muhammad bin Abdul wahhab, shingga belaiu membuat syair pujian berikut :
سلام على نجد ومن حل في نجد : وإن كان تسليمي على البعد لا يجدي
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya.

Lama tak mendapat jawaban, hingga bebrapa orng dan ulama Najd mendatangi beliau dan menceritakan hakekat ajaran Muhammad bin Abdul wahhab, maka beliau meruju’ / mencabut kembali pujiannya itu. Padahal qosidah beliau telah menyebar ke sluruh negri.

Akhirnya beliau mencabut pujianya itu dan membuat pujian tentang ruju’nya beliau dr pujian kpd Muhammad bin Abdul wahhab. Dan membuat syarahnya di dalam kitabnya “ Irsyadu Dzail albab ila haqiqati aqwal Ibn Abdil Wahhab “.
Qosdidah ruju’ beliau sangat terkenal di kalangan santri Yaman, di antra bait ruju’ beliau adalah :

رجعت عن القول الذي قلت في النجدي :::::: فقد صح لي فيه خلاف الذي عندي
ظننت به خيرا وقلت عسى عسى ::::::::: نجد ناصحا يهدي الأنام ويستهدي
فقد خاب فيه الظن لا خاب نصحنا ::::::::: وما كل ظن للحقائق لي مهدي
وقد جاءنا من أرضه الشيخ مربد :::::::::: فحقق من أحواله كل ما يبدي
وقد جاء من تأليفه برسائل :::::::::::::: يكفر أهل الأرض فيها على عمد
ولفق في تكفيرهم كل حجة :::::::::::::: تراها كبيت العنكبوت لمن يهدي
تجارى على إجرا دما كل مسلم ::::::::::::: مصل مزك لا يحول عن العهد
وقد جاءنا عن ربنا في ( براءة ) ::::::::::::: براءتهم عن كل كفر وعن جحد
وإخواننا سماهم الله فاستمع :::::::::::::: لقول الإله الواحد الصمد الفرد
وقد قال خير المرسلين نهيت عن ::::::::::::: فما باله لا ينتهي الرجل النجدي
وقال لهم : لا ما أقاموا الصلاة في ::::::::::::: أناس أتوا كل القبائح عن قصد
أبن لي ، أبن لي لم سفكت دماءهم ؟ :::::::: ولم ذا نهبت المال قصدا على عمد ؟
وقد عصموا هذا وهذا بقول لا :::::::::::::: إله سوى الله المهيمن ذي المجد

“ Aku menarik kembali pujianku terhadap Muhammad bin Abdul wahhab An-Najdi
Sungguh telah benar kekeliruan pujiannku terhdapnya.
Aku menyangka baik padanya, dan aku berdoa semoga, semoga Najd kita memberi petunjuk pada manusia.
Tapi persangkaanku salah, bukan nasehatku yg salah. Telah datang kepadaku dari Najd syaikh Marbad.
Dan mnjelskan hakekat ajaran muhammad An-Najdi.
Di dalm kitab-kitabnya ia telah banyak mengkafirkan penduduk bumi dengan sengaja.
Dan seterusnya…

Catatan :

Lihatlah, bagaimana wahhabiyyah mengelabui umat Islam dalam tipu dayanya menulis nama-nama para ulama islam sedunia yang memuji dan mendukung ajaran Muhammad bin Abdul wahhab, padahal setelah dikroscek ternyata ulama-ulama tsb adalah hanya dari kalangan keluarga, putra, cucu dan murid Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri.

Manakah para ulama Islam sezamannya yang memuji Muhammad bin Abdul Wahhab ???

Tidak adakah ulama selain dari kalangan keluarga dan murid Muhammad bin Abdul wahhab yang membela ajarannya???

Sedangkan para ulama besar dari semua kalangan madzhab telah membantah dan mencela ajaran Muhammad bin Abdul wahhab, ratusan ulama yang hidup semasa dengan Muhamamd bin Abdul wahhab bahkan dari saudaranya sendiri yaitu syaikh Sulaiman bin Abdul wahhab yang lebih memahami karakter suadaranya itu dan lebih alim telah mencela dan membuat bantahan kepada saudaranya tersebut Muhammad bin Abdul wahhab. Belum lagi ribuan ulama setelahnya yang mencela dan tidak mendukung ajaran Muhamamd bin Abdul Wahhab.

sumber

1.000.000 ORANG MENOLAK WAHABI DI INDONESIA
POST BAY id FB
Ibnu Abdillah Al-Katibiy



Read more: http://aswaja.webnode.com/news/membongkar-kedustaan-pengakuan-salafy-wahhabi-atas-pujian-para-ulama-kepada-muhammad-bin-abdul-wahhab/

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Monday 24 October 2011

Menjawab Kedangkalan, Tuduhan dan Pembohongan Public Abu Ubaidah As-Sidawi Terhadap Ucapan Para Ulama Madzhab

by Ibnu Abdillah Al-Katibiy on Friday, October 14, 2011 at 1:36am

Telah beredar di internet khususnya dalam situs-situs para penentang madzhab sebuah tulisan yang bersifat sangat profokasi dan merusak persatuan umat Muslim, tulisan yang berisikan tentang bahaya fanatic madzhab yang disasarkan kepada jumhur muslimin yang bermadzhab, sungguh penulisnya yaitu Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi menulisnya berdasarkan :



1. Kebodohan akan persoalan ijtihad dan madzhab

2. Telah melakukan kebohongan public

3. Pembodohan besar-besaran terhadap pembacanya

4. Memvonis kaum muslimin yang mayoritas ini dengan ta’ashshub pada madzhabnya masing-masing



Abu Ubaidah telah menunjukkan kedangkalan cara berpikirnya di dalam memahami persoalan ijtihadiyyah dan mazdhabiyyah, dan kalau mau jujur semua tulisannya justru berdasarkan taqlid buta kepada para ulama yang juga kontra terhadap madzhab jumhurul muslimin.



Di sini al-Faqir akan membongkar pembohongan public Abu Ubaidah di dalam menukil sebuah pujian para ulama atas para imamnya.



# Di awal tulisan Abu Ubaidah membawakan sebuah syi’ir pujian sebagai berikut :

Abu Ubaidah :



فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ



La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir

Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah.



Jawaban saya :



Pertama : Abu Ubaidah salah di dalam menyebutkan sumber dari potongan bait tsb yang sebenarnya adalah bersumber dari Abdullah bin Mubarak, beriku kelengkapan baitnya :



لقد زان البلاد ومن عليها إمام المسلمين أبو حنيفه بأحكام وآثار وفقه كآيات الزبور على صحيفه فما في المشرقين له نظير ولا في المغربين ولا بكوفه يبيت مشمرا سهر الليالي وصام نهاره لله خيفه فمن كأبي حنيفة في علاه إمام للخليفة والخليقه رأيت العائبين له سفاها خلاف الحق مع حجج ضعيفه وكيف يحل أن يؤذى فقيه له في الأرض آثار شريفه وقد قال ابن إدريس مقالا صحيح النقل في حكم لطيفه بأن الناس في فقه عيال على فقه الإمام أبي حنيفه فلعنة ربنا أعداد رمل على من رد قول أبي حنيفه

(Raddul Mukhtar ‘ala Ad-Durri Al-Mukhtar juz : 1 hal : 61)



Kedua : Rupanya Abu Ubaidah tidak mengetahui maksud dari potongan bait Ibnu Al-Mubarak tsb, atau memang ia sengaja membohongi public dengan menutupi maksud yang sebenarnya.

Inilah syarh / penjelsan dari makna bait tsb :



( قوله : على من رد قول أبي حنيفة ) أي على من رد ما قاله من الأحكام الشرعية محتقرا لها ، فإن ذلك موجب للطرد والإبعاد ، لا بمجرد الطعن في الاستدلال ; لأن الأئمة لم تزل يرد بعضهم قول بعض ، ولا بمجرد الطعن في الإمام نفسه ، لأن غايته الحرمة فلا يوجب اللعن ، لكن ليس فيه لعن شخص معين فهو كلعن الكاذبين ونحوهم من العصاة فافهم



“ Ucapan ; La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir. Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah. Maksudnya adalah “ Terhadap orang yang yang menolak dengan merendahkan ucapan Abu Hanifah dari hukum-hukum syare’atnya, karena hal itu memang mengahruskan penngusiran dan penolakan (terhadap yg menolaknya hukum syare’at), bukan semata-mata mencela dari sisi pengambilan dalilnya. Karena sesungguhnya para imam madzhab memang saling berbeda dengan yang lainnya, dan bukan karena semata-mata mencela diri pribadi imam tsb, karena hal itu adalah haram. Dalam bait tsb bukanlah melaknat pada orang tertentu melainkan seperti melaknta orang2 pendusta, para pelaku maskyiat, maka pahamilah hal ini “.

(Raddul mukhtar juz 1 hal : 63)



# Kemudian Abu Ubaidah menukil kalam seorang ulama besar dari kalangan madhzab Hanbali yaitu Abul Hasan Al-Karkhi dengan bertujuan meremehkannya dan memvonisnya telah melakukan fanatic buta pada madzhabnya, berikut petikannya :



Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf Bainal Muslimin hal. 95).



Jawaban saya :



Lagi-lagi Abu Ubaidah hanya meangambil ucapan tersebut dengan memtong-motongnya. Dan ia pun tak paham maksud dari ucapan tersebut.

Berikut lengkapnya :



لأصل أن كل آية تخالف قول أصحابنا فإنها تحمل على النسخ أو على الترجيح والأولى أن تحمل على التأويل من جهة التوفيق





“ Pokok berikutnya adalah “ Setiap ayat yang menyelisihi pendapat para ulama kami, maka diarahkan pada naskh atau diarahkan kepada yang lebih tarjih (kuat), namun yang lebih utama diarahkan pada ta’wil dari sisi taufiq “. (Usul Al-Karkhi : 84)



Inilah maksud dari ucapan tersebut :



والفهم الموضوعي المتجرد لهذا الأصل: يشير بكل بساطة إلى مدى حرص فقهاء الأحناف – كغيرهم من الفقهاء – في عدم تجاوزهم لنصوص الكتاب والسنة وإن بدا شيء من ذلك ظاهرا فذلك لوقوفهم على علة في ذلك النص من نسخ أو تأويل أو ترجيح دعاهم إلى صرف النظر عنه.



“ Pemahaman yang objektif terhadap pokok tersebut adalah : Mengisyaratkan sejauh optimisme para ulama fiqih Hanafi (sbgaimana juga ulama fiqih madzhab lainnya) untuk tidak melampaui nash-nash al-Quran dan sunnah. Dan jika Nampak perkara yang mnyelisihi terhadap al-Quran atau sunnah, maka hal itu disebabkan mereka (para ulama) masih meneliti atau memahami sebuah illat /alasannya di dalam nash tsb yang berupa naskh, takwil atau tarjih yang mendorong mereka untuk tidak

Mengabaikan hal ini “. (Al-Fikru Al-Ushuli : 122-124)



Artinya : “ Terkadang ucapan para ulama kita berselisih dengan nash al-Quran dengan ijma’ (konsesus) para sahabat Nabi Saw, atau ditarjih dengan hadits. Maka yang dimaksud ucapan di atas adalah takhshis yaitu mentakhshis ayat dengan hadits dan hal itu sudah hal biasa dalam ilmu tafsir. Maka jelaslah bahwa ucapan syaikh Abul Hasan bukanlah ta’ashshub (fanatik) terhadap madzhabnya “.



Seorang ulama ahli fiqih yang mendalam seperti beliau tidak mungkin mengatakan harus lebih mendahulukan pendapat ulama ketimbang al-Quran dan sunnah, sungguh ini tidak mungkin dalam benak beliau.



Hal ini pun telah dijelaskan maksudnya oleh syaikh Al-Bazdawi :



وقوله : الأصل أن كل خبر يجيء بخلاف قول أصحابنا فإنه يحمل على النسخ أو دليل آخر أو ترجيح فيه بما يحتج به أصحابنا من وجوه الترجيح أو يحمل على التوفيق، وإنما يفعل ذلك على حسب قيام الدليل، فإن قامت دلالة النسخ يحمل عليه وإن قامت الدلالة على غيره صرنا إليه.



“ Ucpannya : Prinsip dasar bahwa setiap hadits yang berseberangan dengan pendapat ulama kita, maka dimungkinkan pada naskh, atau dalil lain atau ditarjih dengan beberapa wujuh tarjih, atau dimungkinkan berdasarkan taufiq. Sesungguhnya melakukan hal itu hanyalah sesuai akan tegagknya dalil. Jika tegak dalil adanya naskh, maka diarahkan ke naskh, dan jika tegak dalil atas selainnya, maka juga di arahkan kesana “.



Dan ini sesuai dengan penafssiran Ibnu Taimiyyah :



"وليعلم أنه ليس أحد من الأئمة المقبولين عند الأمة قبولا عاما يتعمد مخالفة رسول الله صلى الله عليه وسلم في شيء من سنته، دقيق ولا جليل، فإنهم متفقون اتفاقا يقينيا على وجوب اتباع الرسول وعلى أن كل أحد من الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن إذا وجد لواحد منهم قول قد جاء حديث صحيح بخلافه فلا بد له من عذر في تركه .

وجميع الأعذار ثلاثة أصناف :

أحدها : عدم اعتقاده أن النبي صلى الله عليه وسلم قاله .

والثاني : عدم اعتقاده إرادة تلك المسألة بذلك القول .

والثالث : اعتقاده أن ذلك الحكم منسوخ

رفع الملام عن الأئمة الأعلام (1 / 9، 10.



“ Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada satupun dari para imam madzhab yang diterima oleh umat secara menyeluruh itu menyalahai Rasulullah Saw di dalam satu sunnahnya saja baik yang lembut maupun yang jelas. Karena sesungguhnya mereka bersepakat dengan yakin atas wajibnya mengikuti Nabi Saw, dan setiap ucapan manusia ditolak kecuali Rasulullah Saw. Akan tetapi jika menemukan salah satu pendapat mereka yang berselisih dengan hadits shohih, maka harus ada alasan di dalam meninggalkannya.



Seluruh alasan ada tiga macam :



Pertama : Tidak meyakini bahwa Nabi Saw mengatakannya

Kedua : Tidak meyakini menginginkan masalah tersebut dengan ucapan tersebut

Ketiga : Meyakini bahwa hukum tersebut dimansukh (dihapus) “.

(Raf’ul malam ‘an aimmatil a’lam juz : 1 hal : 9-10)





# Kemudian Abu Ubaidah menampilkan sebagian ucapan yang masyhur dikalangan Malikiyyah :



لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا

“ Seandainy bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur “.



Jawaban saya :



Sungguh jika Abu Ubaidah menuduh pengikut madzhab imam Malik sebagai pengikut yang fanatic dan berlebihan atas dasar ucapan tsb, maka dia telah menuduh dan memvonis mereka atas tuduhan yang bersumber dari kedangkalan cara berfikirnya tersebut.



Ucapan tersebut adalah sebuah wujud rasa syukur para pengikutnya atas anugerah Allah Swt yang diberikan melalui seorang ulama besar bernama imam Malik, yang telah banyak berjasa dalam syare’at Islam ini, Kaum muslimin diseluruh penjuru dunia sungguh telah merasakan jasa beliau dalam hal keagamaan. sehingga agama menjadi kuat sebabnya. Bukan sebuah ucapan fanatic atau berlebihan. Maka patutlah imam Malik mendapat pujian semacam itu.



Ucapan-ucapan senada banyak termaktub di kitab-kitab para ulama, di anataranya pujian imam Syafi’I kepada imam Abu Hanifah berikut :



قال ابن حجر : وقال الشافعي رضي الله تعالى عنه : من أراد أن يتبحر في الفقه فهو عيال على أبي حنيفة

“ Ibnu Hajar berkata : Berkata imam Malik Radhiallahu ‘anhu “ Barangsiapa ingin mendalami dalam ilmu fiqih, maka dia butuh (merujuk) pada Abu Hanifah “ (Raddu al-Mukhtar : 63)



Dasn juga pujian imam Ahmad bin Hanbal kepada imam Syafi’I berikut :



قال الإمام أحمد بن حنبل : ما مس أحد محبرة ولا قلما إلا وللشافعي في عنقه منة

“ Imam Ahmad bin Hanbal berkata “ Tidaklah seseorang menyentuh tinta dan pena kecuali imam terdapat jasa imam Syafi’i di dalamnya “.



Beranikah Abu Ubaidah mengatakan imam Sayfi’I dan imam Ahmad telah fanatic buta pada sesorang ?? atau berlebihan di dalam pujian ??





# Selanjutnya Abu Ubadiah berkata “ Dalam madzhab Syafi’iyyah, imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan tidak mencari pengganti lainnya”. (LihatMughitsul Al-Khalq hal. 15-16)



Jawaban saya :



Kedangkalan cara berpikir Abu Ubaidah semakin nyata saat menampilkan kalam Imam Ibnu Juwaini sebagai hujjah untuk memvonis ulama syafi’iyyah telah berfanatik buta pada gurunya.

Inilah kalam Ibnu Juwaini lengkapnya :



وقال إمام الحرمين الجويني الشافعي نحن ندعي أن يجب على كافة العاقلين وعامة المسلمين شرقا وغربا بعدا وقربا انتحال مذهب الشافعي ويجب على العوام الطغام والجهال الأنذال أيضا انتحال مذهبه بحيث لا يبغون عنه حولا ولا يريدون به بدلا



Ucapan beliau menjelaskan akan pentingnya bertaqlid bagi orang awam kepada seorang ulama yang ahli dalam berijtihad, bahkan menjadi suatu kewajiban untuk bertaqlid. Dan tidak mengikuti pendapat orang lain yang tidak ahli dalam berijtihad. Hal ini sudah mnjadi fakta sejarah dari generasi salaf hingga masa para imam madzhab, bahwa taqlid atau madzhab adalah sebuah keniscayaan yang tdk bisa diabaikan.

Dalam persoalan ini saya akan membahasnya secara tersendiri, karena akan butuh penjelsan panjang dan luas dalam persoalan madzhabiyyah.



# Berikutnya Abu Ubaidah menampilkan kalam sebagian pengikut madzhab Hanbali :

Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifahrahimahullah:



“Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-Qur’an.…”.

(Lihat Ad-Durrul Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223 oleh Syaikh Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’ (1/158-167) oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).



Jawaban saya :



Sunnguh Abu Ubaidah sebenarnya justru telah taqlid buta dengan mencomot ucapan tersebut begitu saja dan langsung memvonis tanpa mau memahami makna yang sebenarnya.



والحاصل إن أبا حنيفة من أعظم معجزات المصطفى بعد القرآن



Ucapan imam Muhammad bin ‘Alauddin ini, memang benar adanya. Berdasarkan hadits Nabi Saw yang shohih berikut ini :

عن ابي هريرة رض الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو كان العلم بالثريا لتنواله اناس من ابناء فارس



Rasulullah Saw bersabda “ Andaikan ilmu agama itu bergantung di bintang tujuh, niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari putra Parsi “.

(HR. Ahmad dan dishohikan oleh Ibnu Hibban : 7309)



Menurut para ulama seperti al-Hafidz as-Suyuthi dan lain-lain, hadits tersebut paling tepat sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap imam Abu Hanifah. Karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari keturunan Parsi, hanya imam Abu Hanifah yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat dari dulu hingga kini.

Maka pantas beliau disebut bagian dari mu’jiat Nabi Saw, karena sebelum kelahirannya Nabi Saw telah mengkabarkannya kepada kita dan kabar gaib ini merupakan mu’jizat Nabi Saw.



Bahkan kalau kita mau melihat bagaimana para pengagum Ibnu Taimiyyah Al-Harrani memuji Ibnu Taimiyyah, maka sungguh terlihat mengada-ngada dan bahkan berlebihan :



ما ذا يقول الواصفون له # وصفاته جلت عن الحصر

هو حجة لله قاهرة # هو بيننا اعجوبة الدهر

هو اية في الخلق ظاهرة # انوارها اربت على الفجر



“ Dapatkah mereka melukiskan sifat-sifat Ibu Taimiyyah #

Sedangkan sifat-sifatnya yang terpuji telah melampaui batas.

Dia adalah hujjah Allah yang kokoh #

Dan keajiban masa diantara kami.

Dia adalah ayat yang terang bagi makhluk, cahayanya mengalahkan sinar matahari “.

(kitab Ar-Radul wafer, Ibnu Nashir hal : 96)



Di dalam Hadist Nabi Saw tak disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah ayat Allah yang diwahyukan untuk manusia.

Maka beranikah Abu Ubaidah memvonis para pengagum Ibnu Taimiyyah ini sebagai pengikut yang fanatic buta dan berlebihan kepada Ibnu Taimiyyah ???



CATATAN :



Kalau Abu Ubaidah mau jujur, sebenrnya dia sendiri telah melakukan fanatic buta terhadap orang yang belum jelas keilmuannya, semua tulisannya hanyalah copas dari sebuah situs berikut ini; http://www.islamadvice.com/ilm/ilm20.htm yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indoensia dan sedikit ia tambahkan bukan murni hasil dari ijtihad atau penelitiannya.



(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

14. 10.2011

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Pembohongan Publik Abu Ubaidah Assidawi dan Terjebaknya Dia Dalam Bid'ah Dholalah (Seputar haul)

by Ibnu Abdillah Al-Katibiy on Thursday, October 20, 2011 at 5:50pm

Sebenarnya pembahasan seputar khol, tahlilan atau selametan bagi saya sudah basi, ibarat nasi sudah sampai setahun. Tapi karena beberapa permintaan ikhwan agar saya menanggapi episode kebongongan public yang dilakukan oleh Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi berkenaan persoalan perayaan khol dan selametan, maka saya sedikit akan memberikan penjelasan pada dalil-dalil yang dibuat bantahan Abu Ubaidah untuk menyalahkan perayaan khol atau selametan.

Abu Ubaidah mengutarakan beberapa dalil untuk menyalahkan khoul, mauled atau selametan yang berputar pada persoalan perkara baru.



Pertama ; Ia menampilkan surat al-Maidah ayat ke 5 yang berbunyi :

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ



“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)



Dengan ayat tersebut, Abu Ubaidah berasumsi bahwa perayaan khaul, selametan atau tahlilan yang dilakukan mayoritas umat muslim merupakan penambahan dalam syare’at Islam.



Jawaban saya :



Menggunakan dalil ayat tersebut sebagai larangan perayaan khaul atau bid’ah-bi’dah hasanah lainnya, adalah sebuah kedangkalan cara berpikir atau usaha ingin menutupi kebenaran dari kaum muslimin yang awam.

Ayat di atas bukan sedang membicarakan sempurnya atau paripurnanya hukum-hukum syare’at secara muthlaq, terbukti setelah ayat itu, masih ada ayat lainnya lagi yang turun tentang hukum seperti ayat tentang hukum riba.



- Jika ayat itu menjelaskan sempurnanya hukum syare’at Islam secara muthlaq, berarti syare’at sebelum ayat ini turun yaitu masa-masa Nabi Saw adalah kurang dan tidak sempurna, barulah sempurna setelah ayat ini turun ?? Justru merekalah yang berasumsi demikian telah menuduh Rasul Saw menjalankan perintah dan syare’at Islam tidak sempurna.



- Jika hukum Islam telah paripurna, kenapa juga ada Lajnah Buhutsid diniyyah, atau komisi fatwa ulama Saudi seperti Ibnu Baz, utsaimin dan fauzan ??



- Kenapa juga jika telah sempurna, Nabi Saw tidak mengatakan adanya pembagian bid’ah lughawi dan istilahi, bid’ah haqiqi dan majazi, bid’ah agama dan dunia ??



- Jika telah sempurna, kenapa juga Nabi Saw tidak menegaskan adanya tauhid Rububiyyah dan ilahiyyah secara tersurat dan gamblang ??



Maka sungguh para ulama kita khususnya ulama ahli tafsir telah mengetahui makna ayat tersebut dan menjelaskan maksudnya pada kita. Berikut penjelasannya :

Imam Qoffal telah menjelaskan maksud ayat tersebut dalam kitab Tafsir Al-Kabir karya Imam Fakruddin Ar-Razi :



أن الدين ما كان ناقصا البتة ، بل كان أبدا كاملا ، يعني كانت الشرائع النازلة من عند الله في كل وقت كافية في ذلك الوقت ، إلا أنه تعالى كان عالما في أول وقت المبعث بأن ما هو كامل في هذا اليوم ليس بكامل في الغد ولا صلاح فيه ، فلا جرم كان ينسخ بعد الثبوت وكان يزيد بعد العدم ، وأما في آخر زمان المبعث فأنزل الله شريعة كاملة وحكم ببقائها إلى يوم القيامة ، فالشرع أبدا كان كاملا ، إلا أن الأول كمال إلى زمان مخصوص ، والثاني كمال إلى يوم القيامة فلأجل هذا المعنى قال : اليوم أكملت لكم دينكم





“ Agama ini sungguh tidaklah kurang, bahkan selamanya dalam keadaan Sempurna, artinya Syaria’t yg di turunkan oleh Allah di setiap waktu telah mencukupi kebutuhan pada waktu itu juga, hanya saja Allah yg Maha Tahu tentu tahu juga pada saat pertama kali Syari’at itu di turunkan pasti bersesusaian dengan kebutuhan pada saat itu yg tidak akan selaras dengan kebutuhan hari esok, maka tidak salah jika ada suatu penetapan hukum yg kemudian di hapus setelah di tetapkan atau di tambah setelah tidak tercantum. Adapun Pada Akhir Zaman ini Allah telah menurunkan Syari’at yg sempurna dan akan selalu eksis sampai hari Kiyamat. Syari’at yg pertama itu sempurna menurut ukuran zamannya, dan yang kedua menyempurnakan untuk segala zaman, maka sehubungan dengan hal ini ayat “Telah aku sempurnakan bagimu Agamamu” ini di turunkan “.



Masih kelanjutan syarh ayat tsb dalam kitab Tafisr Al-Kabir ini :





قال نفاة القياس : دلت الآية على أن القياس باطل ، وذلك لأن الآية دلت على أنه تعالى قد نص على الحكم في جميع الوقائع ، إذ لو بقي بعضها غير مبين الحكم لم يكن الدين كاملا ، وإذا حصل النص في جميع الوقائع فالقياس إن كان على وفق ذلك النص كان عبثا ، وإن كان على خلافه كان باطلا





“ Timbul asumsi dari kaum penolak Qiyas : “ Ayat tersebut menunjukkan bahwa hukum qiyas adalah bathil, karena ayat itu menjelaskan bahwa Allah Swt telah menetapkan hukum dalam segala kejadian. Seandainya dalam agama masih ada satu hukum saja yang tertinggal penjelasannya, maka itu menunjukkan kekurangan agama itu sendiri. Jika telah ditetapkan semua hukum dalam segala kejadian, maka jika qiyas (yang dihasilkan) itu sesuai dengan ketetapan hukum yang ada, maka qiyas tak ada artinya sama sekali . Dan jika qiyas itu bertolak belakang dengan ketetpan hukum, maka qiyas itu bathil adanya “.



Maka kemusykilan ini telah dijawab :



أجاب مثبتو القياس بأن المراد بإكمال الدين أنه تعالى بين حكم جميع الوقائع بعضها بالنص وبعضها بأن بين طريق معرفة الحكم فيها على سبيل القياس ، فإنه تعالى لما جعل الوقائع قسمين أحدهما التي نص على أحكامها ، والقسم الثاني أنواع يمكن استنباط الحكم فيها بواسطة قياسها على القسم الأول ، ثم إنه تعالى لما أمر بالقياس وتعبد المكلفين به كان ذلك في الحقيقة بيانا لكل الأحكام ، وإذا كان كذلك كان ذلك إكمالا للدين.





“ Para ulama yang menetapkan huku qiyas menjawab “ Yang dimaksud dengan telah sempurna agama, adalah bahwa Allah Swt telah menjelaskan hukum pada semua kejadian, sebagiannya dengan nash (ketetapan hukum yang sudah tersurat) dan sebagiannya lagi dengan jalan mengetahui hukum di dalamnya dengan metode qiyas. Maka Allah telah menjelaskan sebuah hukum pada suatu kejadian dengan dua cara; yang pertama dengan cara menetapkan nashnya langsung yaitu ketetapan hukum pastinya, dan yang kedua dengan cara metode yang memungkinkan bisa menarik kesimpulan dari nash tersebut. Maka ketika Allah memerintahkan dengan adanya qiyas dan mukallaf beribadah atas dasar qiyas, maka pada hakikatnya itu adalah sebuah penjelasan bagi setiap hukum, dengan demikian hal itu merupakan kesempurnaan agama. “



Maka dengan penjelasan ini runtuhlah asumsi Abu Ubaidah dan para salafi yang mengatakan tak perlu lagi bid’ah hasanah termasuk perayaan khaul dalam agama ini berdasarkan ayat tsb.



Kedua ; Abu Ubaidah menampilkan ucapan imam Malik untuk melarang bid’ah hasanah termasuk Khaul berikut :

مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ # خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا



“Barang siapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam mengkhianati risalah, karena Alloh Ta’ala berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.’ Karena itu, apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.”



Jawaban Saya :



Sungguh memang benar ucapan imam Malik tersebut. Yang dimaksud bid’ah dalam ucapan beliau itu adalah bid’ah dholalah /sesat, atau meminjam istilah mereka adalah bid’ah syar'iyyah bukan bid’ah lughawiyyah.



Seperti contoh ; melakukan sholat dengan bahasa Indonesia beralasan untuk memudahkan pemahaman makna bacaan-bacaan sholat, maka hal baru ini adalah bid’ah sesat walaupun menganggapnya baik. Atau mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melakukan sesembahan pada sebuah pohon atau menghanyutkan banyak makanan ke laut, atau berkeyakinan bahwa semua perbuatan hamba majbur (terbelenggu) dengan perbuatan Allah dan tak ada ikhtiyar, maka semua ini adalah bid’ah sesat walaupun mereka menggapnya baik, karena semuanya bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.



Dari sini sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan sebuah ta'rif bid'ah yang sebenarnya terlarang ada dalam ta'rif bid'ah syar'iyyah, karena mengada-ngada dalam syare'at jelas semua sepakat itu adalah erlarang dan sesat. Sedangkan bid'ah-bid'ah yang diperbolehkan masuk dalam ta'rif bid'ah lughawiyyah, beliau ingin menawarkan sebuah solusi dari titik permasalahan bid'ah, berikut petikan komentar beliau :

ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي



"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak ".



Ketiga ; Kemudian Abu Ubaidah melarang khoul dengan alasan : “Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat. Hal ini tidak mungkin karena Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam telah menyampaikan risalah Alloh dengan amanah dan sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arafah ketika haji wada’:



عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ : … وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي، فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ، وَأَدَّيْتَ، وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ



Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah hajinya Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam (setelah beliau berkhotbah di Arafah). Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihati.” Lalu Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, “Ya Alloh, saksikanlah, ya Alloh saksikanlah, sebanyak tiga kali



Jawaban saya :





Perhatikan argumentasi bodoh Abu Ubaidah tersebut ““Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat “.



Konsekuensi dari argumntasi itu akan menimbulkan pemahaman bahwa setiap apa yang tidak dijelaskan oleh Nabi Saw adalah bukan bagian dari agama alias suatu penambahan agama. Sungguh argumntasi Abu Ubaidah tersebut adalah suatu kesalahan fatal dan bertentangan dengan syare’at dan justru dia telah terjebak dalam bid’ah dholalah yang akan merusak sendi-sendi agama.



Simak penjelasannya berikut :



• Allah Swt berfirman :



وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا



‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)



Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:



وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ اَوْلَمْ يبَيّنْهُ فَانْتَهُوْا



“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan atau tidak dijelaskan oleh Rasulullah Saw, maka berhentilah (mengerjakannya).”



•Renungkan hadits Nabi Saw berikut :



ما احل الله في كتابه فهو حلال وماحرم فهو حرام وماسكت عنه فهو عافية فقبلوا من الله العافية فان الله لم يكن نسيا ثم تلا هذه الاية وماكان ربك نسيا



“ Apa yang dihalalkan Allah dalam kitabNya maka halal, apa yang diharamkan maka haram dan apa saja yang tidak dikomentarinya maka itu maaf (dispensasi). Maka terimalah dispensasi dariNya. Karena Allah Swt tidak pernah lupa, lalu beliau membaca ayat ini; Wama kaana rabbuka mansiyya “. (HR. Hakim, al-Bazzar dan ath-Thabrani)

Sanad hadits ini dinilai shahih oleh imam Hakim dan adz-Dzahabi dalam al-Mustadrak dan at-Takhshis.

Dalam hadits ini Rasulullah Saw member penegasan bahwa setiap hal yang tidak dikomentari maka merupakan dispensasi langsung dari Allah Swt. Sehingga dengan hadits ini dapat dimengerti bahwa banyak sekali amal sholeh dan kebaikan dilakukan di luar nash al-Quran secara jelas dan terperinci.



Bukan berarti Allah Swt lupa akan hal itu atau Nabi Saw berkhianat tidak menjelaskannya, karena beliau sendiri telah memberikan jawabannya dengan membaca ayat di atas tersebut :

وماكان ربك نسيا

“ Dan tidaklah Tuhanmu lupa “ (QS.Maryam : 64)



Setiap hal yang tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw tidak bisa dianggap bid’ah ataupun dihukumi haram hanya karena tidak pernah dilakukannya, tanpa ada dalil yang melarangnya. Bahkan bisa jadi hal-hal yang tidak dilakukan Nabi Saw menunjukkan bahwa hal tersebut disyare’atkan.



Demikian juga setiap hal yang tidak pernah dilakukan generasi salaf, tidak bisa dianggap bid’ah hanya karena tidak pernah dilakukan mereka. Terkadang Nabi Saw tidak melalukan karena beberapa hal diantaranya :

- lupa, sebagaimana kejadian beliau waktu lupa dalam sholat dan ditanya “ Apakah ada hukum baru dalam sholat ? “ Nabi Saw menjawab ;



انه لو حدث في الصلاة شيء لنبأتكم به ولكن انما انا بشر مثلكم انسى كما تنسون فاذا نسيت فذكروني



“ Sungguh andai ada hukum baru dalam sholat akan aku beritahu kalian, namun aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, aku bisa lupa seperti kalian, jika aku lupa maka ingatkanlah aku “ (HR. Bukhari dan Muslim)



- khawatir akan diwajibkan bagi umatnya



- Menjaga perasaan orang lain



- Atau karena telah tercakup dalam keumuman ayat al-Quran dan Hadits. Seperti telah menjadi hal maklum, beliau tidak melakukan semua kesunnahan, karena telah termuat dalam ayat al-Quran ;

وافعلوا الخير لعلكم تفلحون

“ Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan “ (QS. Hajj : 77)



Kesimpulannya adalah : setiap hal baru jika ada dasar agamanya yang mendukung, maka itu bukanlah bid’ah atau haram. Perhatikan ucapan imam Syafi’I berikut :



كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف لان تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت او لما هو افضل او لعله لم يبلغ جميعهم علم به



“ Setiap hal yang mempunyai landasan syara’ maka bukan bid’ah walauppun tidak dilakukan oleh golongan salaf. Mereka tidak melakukannya karena terkadang ada udzur saat itu, ada yang lebih utama atau pengetahuan tentang hal tersebut belum sampai pada mereka semua “.



Bahkan sangat banyak sekali hal-hal baru yang dilakukan para sahabat dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw seperti contoh :



- Pemindahan Maqam Ibrahim yang dilakukan Umar bin Khaththab Ra dari tempat asalnya yang menempel Ka’bah ke tempat yang kita kenal sekarang ini.



عن عائشة ان المقام كان في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم وزمان ابي بكر ملتصفا بالبيت ثم اخره عمر بن الخطاب رضى الله عنه



“ Dari Aisyah Ra, sesunguhnya maqam Ibrahim pada masa Rasulullah Saw dan Abu Bakar menempel Ka’bah, kemudian Umar bin Khaththab Ra memindahkannya ke belakang “. (HR. al-Baihaqi)



- Abu Hurairah Ra membuat tasbih 2000 biji yang digunakan wiridan di setiap malamnya.



- Tambahan talbiyah Abdullah bin Umar pada talbiyah Rasulullah Saw, dalam shahih Muslim disebutkan :



وكان عبد الله بن عمر رضى الله عنهما يزيد فيها لبيك لبيك وسعديك والخير بيديك لبيك والرغبة اليك ةوالعمل



“ Abdullah bin Umar menambahi talbiyah Rasul Saw dengan kalimat ; “ Labbaika labbaika, wa sa’daika, wal khairu bi yadaika, labbaika ilaika war raghbatu ilaika wal ‘amal “. (HR. Muslim)



Bersambung…



(Ibnu Abdillah AlKatibiy)

21. 11.2011

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Pertentangan Salafy Wahhaby Utamanya Bin Bazz Terhadap Ulama Salaf Bahkan Terhadap Al-Quran dan Al-Hadits

by Ibnu Abdillah Al-Katibiy on Sunday, October 23, 2011 at 11:55pm

(Tentang hadits : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

“Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid “ )



Benarkah hadits tersebut melarang dan mengharamkan sholat di sekitar kuburan dan membuat kuburan di dalam masjid sebagaimana dipahami oleh Ibnu Bazz dan para pentaqlid butanya ??



• Asbabu wurudil hadits :



فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد



Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulua ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut. Maka bersabdalah Rasulullah Saw “ Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “.



• Mufradat :



اتخذ : جعل (Menjadikan)

قبر :مدفن الميت (Tempat pendaman mayat)

مسجد : الموضع الذي يُسجَد و يُتَعَبَّد فيِه (Tempat untuk bersujud dan beribadah di dalamnya)



Maka makna hadits tersebut dari sisi mufradatnya adalah :



جعلوا مدفن الانبياء موضعا اللذين يسجدون و يتعبدون فيه



“ Mereka menjadikan tempat pendaman mayat para Nabi sebagai tempat mereka bersujud dan beribadah di dalamnya “.

Dari sisi ini saja sudah bias kita pahami bahwa maksud yang shahih adalah mereka masuk ke dalam kubur atau berada di atas kubur bertujuan untuk menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujud dan tempat beribadah. Dan inilah yang diperbuat orang Yahudi dan Nashoro.



Sedangkan umat Muslim, seorang pun sejak dulu hingga saat ini tak ada yang melakukan seperti itu. Apalagi mereka yang berziarah ke pada para wali sanga, tak ada satu pun yang menjadikan kuburan wali sanga yang mereka sujud di datas atau di dalamnya. Membawa hadits tersebut pada kaum muslimin saat ini yang berziarah dan dating ke masjid-masjid yang disebelahny terdapat kuburan orang-orang sholeh, merupakan vonis yang salah sasaran dan sesat menyesatkan serta membuat fitnah yang akan memecah persatuan umat muslim.



Sekarang mari kita simak, apa penpadat para ulama besar Ahlus sunnah terkait hadits di atas.



1. Pendapat imam Baidhowi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani :





ويقول الامام البيضاوى رحمه الله تعالى: فيما نقله عنه الحافظ ابن حجر العسقلانى وغيره من شراح السنن حيث قال البيضاوى: «لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء؛ تعظيماً لشأنهم، ويجعلونها قبلة، ويتوجهون فى الصلاة نحوها فاتخذوها أوثاناً، لعنهم الله، ومنع المسلمين عن مثل ذلك، ونهاهم عنه، أما من اتخذ مسجداً بجوار صالح أو صلى فى مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه، ووصول أثر من آثار عبادته إليه، لا التعظيم له، والتوجه فلا حرج عليه، ألا ترى أن مدفن إسماعيل فى المسجد الحرام ثم الحطيم؟ ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلى بصلاته، والنهى عن الصلاة فى المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة» انتهى. فتح البارى، شرح الزرقانى، فيض القدير



“ Imam Baidhawi berkata yang juga dinukil pendapat beliau oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya dari para penyarah kitab sunan-sunan : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan dan menjadikannya patung sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya. Adapun orang yang MENJADIKAN MASJID DI SISI ORANG SHALIH atau SHOLAT DI PERKUBURANNYA DENGAN TUJUAN MENGHADIRKAN RUHNYA dan MENDAPATKAN BEKAS DARI IBADAHNYA, BUKAN KARENA PENGAGUNGAN DAN ARAH QIBLAT, MAKA TIDAKLAH MENGAPA. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya. Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “ (Fathul Bari, Syarh Zarqani dan Faidhul Qadir)



Dari pendapat imam Baidhawi yang juga dinukil oleh imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan para imam yang menyarahkan kitab-kitab sunan, bias kita pahami bawha hadits tersebut mengandung :



- Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat sujud / peribadatan

- Larangan menjadikan kuburan sebagai arah qiblat dari arah qiblat yang disyare’atkan



Dan kedua hal ini, Alhamdulillah tidak pernah dilakukan umat Muslim yang suka berziarah.



2. Pendpat imam Ibnu Abdul Barr :





وقال الإمام الحافظ ابن عبد البر رحمه الله تعالى فى "التّمهيد" «فى هذا الحديث إباحة الدّعاء على أهل الكُفر، وتحريم السّجود على قبور الأنبياء، وفى معنى هذا أنّه لا يحل السّجود لغير الله جل وعلا، ويحتمل الحديث أنْ لا تُجعل قبور الأنبياء قِبلة يُصلّى إليها. ثم قال ابن عبد البر: وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة



“ Imam Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata di dalam kitab at-Tamhid “ Di dalam hadits tersebut terdapat :



- Pembolehan doa buruk pada orang kafir

- Pangharaman sujud terhadap kuburan para nabi

- Semakna juga terhadap pengharaman sujud terhadap selain Allah Swt

- Di arahkan juga terhadap pengharaman menjadikan kuburan para nabi sebagai arah qiblat sholat “.



Kemudian beliau juga berkata “ Sebagian kaum menyangka bahwa hadits tersebut mengandung pengertian yang memakruhkan sholat di pekuburan / pemakaman dan menghadap pekuburan, dan hadits itu bukanlah hujjah / dalil atas hal itu “.



3. Pendapat imam Al-Qadhi :





وقال القاضى فى فيض القدير على الجامع الصغير للامام المناوى «لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيماً لشأنها ويجعلونها قبلة، ويتوجهون فى الصلاة نحوها فاتخذوها أوثاناً لعنهم الله ومنع المسلمين عن مثل ذلك، ونهاهم عنه. أما من اتخذ مسجداً بجوار صالح أو صلى فى مقبرة وقصد به الاستظهار بروحه، أو وصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له، والتوجه نحوه فلا حرج عليه. ألا ترى أن مدفن إسماعيل فى المسجد الحرام عند الحطيم؟ ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلى لصلاته. والنهى عن الصلاة فى المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة». انتهى



“ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan dan menjadikannya patung sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya. Adapun orang yang MENJADIKAN MASJID DI SISI ORANG SHALIH atau SHOLAT DI PERKUBURANNYA DENGAN TUJUAN MENGHADIRKAN RUHNYA dan MENDAPATKAN BEKAS DARI IBADAHNYA, BUKAN KARENA PENGAGUNGAN DAN ARAH QIBLAT, MAKA TIDAKLAH MENGAPA. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya. Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “ (Faidhul Qadir)



4. Pendapat Imam Ath-Thusi :





روى الشيخ الطوسي بأسناده عن معمر بن خلاد، عن الرضا ـ عليه السَّلام ـ قال: لا بأس بالصلاة بين المقابر ما لم يتخذ القبر قبلة

“ Syaikh Ath-Thusi Rh meriwayatkan dengan sanadnya dari Mu’ammar bin khallad dari Ridha As berkata “ Tidaklah mengapa sholat di anatara pekuburan semenjak tidak menjadikan kuburan sebagai arah kiblat “ (Al-Wasail juz 1)



5. Pendapat imam Qurthubi :





قال القرطبي: روى الأئمة عن أبي مرصد الغنوي قال: سمعت رسول اللّه ـ صلَّى الله عليه وآله وسلم ـ يقول: لا تصلوا إلى القبور ولا تجلسوا إليها (لفظ مسلم) أي لا تتخذوها قبلة، فتصلوا عليها أو إليها كما فعل اليهود والنصارى



“ Imam Qurthubi berkata : “ Meriwayatkan para imam Hadits dari Abi Marshad al-ghanawi berkata; “ Aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda “ Janganlah kalian sholat kepada kuburan dan juga janganlah kalian duduk padanya (lafadz dalam hadits Muslim) “ Maksudnya adalah “ JANGANLAH KALIAN MENJADIKAN KUBURAN SEBAGAI ARAH QIBLAT, SEHINGGA KALIAN SHOLAT DI ATASNY A ATAU SHOLAT MENGHADAPNYA sebagaimana perbuatan orang Yahudi dan Nashoro “. (Tafsir Qurthubi juz 10 hal. 380)



Dan sekarang, marilah kita kembalikan pada al-Quran dan Hadits dari semua pendapat tersebut, manakah yang sesuai al-Quran dan Hadits ?



Ketika kita teliti dalam al-Quran justru tak ada satu pun ayat yang melarang sholat dipekuburan atau membangun kuburan di dalam masjid, bahkan sebaliknya kita akan temui kesesuain pendapat para ulama di atas dengan al-Quran dan bertentangnnya pendapat Ibnu Bazz serta para pentaqlid butanya dengan al-Quran.



Istidlal al-Quran :

1. Allah Swt berfirman :

{ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“ Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nashoro) sebagai tuhan selain Allah. Dan orang-orang Nashoro berkata “ dan juga Al-Masih putra maryam “. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa. Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia dari apa yang mereka persekutukan “. (At-Taubah : 31)



Inilah makna sujud yang mendapat kecaman dan laknat, atau menjadikan arah qiblat selain qiblat yang disyare’atkan sebagaimana mereka (ahlul kitab) lakukan, mereka mengarah saat sembahyang dengan menghadap kuburan orang alim dan rahib-rahib mereka.

Dan realita yang ada dari apa yang dilakukan umat muslim di dalam masjid-masjid mereka tidaklah seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan nashoro. Maka mengarahkan hadits dan ayat tsb pada umat muslim sangatlah salah dan sesat dan merupakan perbuatan kaum khowarij. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar :



ذهبوا إلى آيات نزلت في المشركين، فجعلوها في المسلمين



“ Mereka kaum khawarij menjadikan ayat-ayat yang turun pada orang msuyrik diarahkan pada umat muslim “.



2. Allah Swt berfirman :

وَاتَّخِذوا مِنْ مَقَامِ إبْرَاهِيمَ مُصَلّى

“ Dan jadikanlah maqam (tempat pijakan) Ibrahim sebagai tempat sholat “ (Al- Baqarah : 125)

Allah memrintahkan untuk menjadikan tempat pijakan Nabi Ibrahim sebagai tempat sholat, bukan berarti sholat terhadap pijakan nabi Ibrahim tersebut, namun sholat karena Allah dan menghadapt qiblat serta berada di maqam Ibrahim sebagai tabarrukan bukan ta’dziman atau sujudan lahu.



3. Allah Swt berfirman :

وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم مَسْجداً



“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di atas kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)



Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka.

Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing. Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang-orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt. Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :





يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى. ومعنى كلامه أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.



“ Imam Syaukani berkata “ Penyebutan menjadikan masjid dalam ayat tsb menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah orang-orang muslim. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa dan raja dari kaum muslimin..”. Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih utama adalah bahwa yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah kaum muslimin “.



وقال الإمام الرازى فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه، ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد». تفسير الرازى



Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata “ Kami akan menjadikan masjid di atasnya “ maknanya adalah “ Kami akan beribadah kepada Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas para pemuda ashabul kahfi dengan sebab masjid tersebut “.



Istidlal al-Hadits :





1. Nabi Saw bersabda :



أللّهمّ لا تجعل قبري وثناً، لعن اللّه قوماً اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد



“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku tempat sesembahan, semoga Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebgaia masjid “.



Ini adalah sebuah doa dari nabi Saw agar Allah tidak mnjadikan makam beliau sebagai tempat sesembahan atau masjid. Dan doa Nabio Saw tidak mungkin ditolak oleh Allah Swt. Karena terbukti hingga saat ini tidak ada satu pun kaum muslimin yang menyembah kuburan Nabi Saw.



2. روى مسلم في صحيحه عن النبي الأكرم أنّه قال حينما قالت أُم حبيبة وأُم سلمة بأنهما رأتا تصاوير في إحدى كنائس الحبشة: إنّ أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجداً، وصوروا فيه تلك الصورة أولئك شرار الخلق عند اللّه يوم القيامة



“ Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda ketika Ummu Habibah dan ummu Salamah berkata bahwa keduanya pernah melihat patung-patung di salah satu gereja Habasyah, “ Sesungguhnya mereka jika ada salah satu orang shalih yang wafat, maka mereka menjadikan kuburannya sebagai masjid dan membuat patungnya di dalamnya, merekalah seburuk-buruknya manusia di sisi Allah kelak di hari kiamat “.



Dalam hadits tersebut jelas bahwa yang divonis Rasul sebagai manusia terburuk adalah membuat patung yang ditegakkan di atas kuburan mereka dan mereka sembah / sujud patung tersebut. Inilah perbuatan orang nashoro saat itu. Sedangkan umat muslim sejak dulu hingga sekarang tak ada yang melakukan seperti apa yang mereka (Nashoro dan yahudi) lakukan.



KESIMPULAN :





Pemahaman ulama Salaf bahwa :





- Tidak mengapa sholat di dalam masjid yang terdapat makam nabi atau orang sholeh, bahkan itu disyare’atkan dan hal ini tidak masuk kecaman Nabi tentang menjadikan kuburan sebagai masjid, sungguh sangat jauh perbedaanya. Sebagaimana penjelsan di atas.



- Yang dilarang oleh nabi bahkan mendapat laknat adalah menjadikan kuburan nabi atau orang sholeh sebagai masjid yaitu bersujud padanya, adakalnya di atasnya atau di dalam kubur itu sendiri. Dan hal ini kita lihat sendiri umat muslim satu pun sejak dulu hingga sekrang tak ada yang melakukan sperti itu.



- Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang sholat di area pekuburan atau pemakaman :



Madzhab Hanafiyyah mengatakan : makruh sholat di pemakaman sebab dikhawatirkan ada najis yang keluar dari kuburan, KECUALI jika di pemakaman tersebut disediakan tempat sholat, maka hilanglah hokum makruh.



Madzhab Malikiyyah mengatakan : Boleh sholat dipemakaman secara muthlaq, baik pekuburan itu bersih atau terbongkar (manbusyah), pekuburan muslim atau non muslim.



Madzhab Syafi’iyyah memerinci sebagai berikut :



Tidak sah sholat dipekuburan yang nyata ada kerusakan / keterbongkaran kuburan di dalamnya, karena telah bercampur tanah dengan nanah jenazah di situ. Ini jika tidak membuat penghakang seperti sajadah, jika memakai sajadah maka hukumnya makruh.



Adapun jika yakin tidak adanya bercampurnyanya nanah pada tanah pekuburan, maka hokum sholat di dalamnya sah tanpa khilaf. Karena tempatnya suci namun tetap makruh.



Dan saya (Ibnu Abdillah Al-Katibiy) tidak pernah melihat seorang pun sholat di pekuburan atau pemakaman, hanya sering melihat orang-orang sholat di masjid yang berdampingan dengan pemakaman dan ini di luar pembahasan.



Madzhab Hanabilah mengatakan : Tidak sah sholat di pekuburan yang baru atau punyang lama, berulang-ulang pembongkarannya atau pun tidak. Namun tidak mengapa sholat di area yang ada satu atau dua kuburan, kamayang namnya pekuburan adalah terdapat tiga kuburan atau lebih.



Bahkan ada nash dari madzhab ini bahwa setiap apa yang masuk kategori maqbarah adalah tidak boleh melakukan sholat di dalamnya. Mereka juga menetapkan bahwa tidak mengapa sholat di dalam rumah yang terdapat kuburan di dalamnya walaupun lebih dari tiga kuburan, karena ini bukan dinamakan maqbarah.



Dan hal ini adalah masalah furu’ / cabang agama.



CATATAN :



• Jika Saalafi wahhabi termasuk Ibn Bazz dan para pentaqlid butanya mengatakan haram, syirik bahkan kufur pada kaum muslimin yang sholat di dalam masjid yang terdapat makam nabi atau orang sholeh, maka kami katakana pada mereka :



“ Kalau itu pemahaman kalian, maka beranikah kalian menghancurkan Masjid Nabawi ?? “



Jika kalian berkata “ Kami tidak berani karena di situ ada makam Nabi “



Kami jawab “ Jika kalian menghkususkan makam Nabi, maka di situ juga ada makam sahabat Nabi Saw, beranikah kalian menghancurkan atau memindahkan makam kedua sahabat Nabi Saw tersebut ??



Dan bahkan umat msulim sholat di sekitar makam-makam tersebut…!!”



• Salafi wahhabi utamanya Ibn Bazz mengaku sebagai pengikut salaf, sedangkan ulama salaf tidak seperti pemahaman mereka bahkan bertentangan dengan mereka, lalu siapakah salaf yang kalian ikuti ??



(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

24-11-2011

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Tuesday 18 October 2011

Istri sholehah itu ?

Isteri yang sholihah, dialah yang qanaah. Yang tahu hari tak selalu cerah tapi dia tak berubah.
Istri yang sholihah itu tidak harus kaya, kalau pun kaya Alhamdulillah. Dia juga tidak harus cantik, kalau pun cantik itu hadiah Isteri yang sholihah itu adalah yang qana’ah, senangnya berada di rumah. Keluar rumah hanya untuk belanja atau pergi bersama suaminya. Dia tahu bahan makanan telah mengalami kenaikan harga, dan tidak menyusahkan suaminya dengan segala tuntutannya.

Ada juga memang wanita yang bekerja di luar rumah, tapi yang sholihah, dia mau berhenti kerja kalau suaminya memerintahkannya, dan tetap bekerja kalau suaminya meridhoinya.
Kau mungkin bingung bagaimana mungkin mendapatkan wanita shalihah sementara sedari tadi aku terus berkata yang shalihah adalah yang qanaah, sedangkan qanaah itu tidak tampak di mata.

Yang jelas, nggak usah muluk-muluk cari yang cantik, karena yang cantik seperti bintang di langit Mungkin dia mudah ditemukan, bahkan di gelap malam, tetapi sadarilah dia tak mudah dijangkau tangan. Ketika itu pun kau mungkin melihatnya berkilauan tetapi sadarilah ketika siang dia menghilang.
Isteri yang sholihah itu seperti mutiara di dasar laut, tak selalu putih terkadang terbungkus lumut. Di dalam cangkangnya dia senang berada, menjaga diri dan tak mudah digoda.
Kau mungkin harus menyelam untuk menemukannya. Tapi kau akan tahu seberharga apa dia ketika kau mendapatkannya.

** “Tiada kekayaan yg diambil seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik dari istri sholihah.” [Hadits Riwayat Ibn Majah]

BACA SELENGKAPNYA>>>>
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...