Monday 14 June 2010

Ragam Macam hukum Menikah

Begitu banyak usulan untuk tema-tema kajian pernikahan, sangat beragam, dan menantang untuk segera dituliskan. Memang pernikahan adalah dunia yang dipenuhi dengan tema-tema pendahulan. Baik secara ilmu dasar filosofisnya, hingga masalah teknis-teknis yang diperlukan menjelang pernikahan, semuanya begitu banyak dan beragam.


kali ini kita akan membahas ragam macam hukum pernikahan. Agar lebih jelas bagi kita –khususnya ikhwan dan akhwat bujangan – apakah saat ini sudah tepat saatnya untuk menikah, ataukah barangkali masih sekedar keinginan-keinginan sesaat disaat hati merasa sepi. Agar kita bisa lebih arif bahwasanya tidak setiap keinginan itu harus dipaksakan, tidak setiap hasrat harus segera dipenuhi. Sem
ua ada aturannya. Semua ada batasan-batasannya.

Pertama : Hukum Menikah menjadi wajib,
Menikah bagi sebagian besar ulama menjadi wajib hukumnya, ketika seorang itu :
Telah mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah finansial pada keluarganya
Berada dalam lingkungan yang memungkinkan terjerumus dalam kezinaan
Latar belakang keimanan dan keshalihannya belum memadai
Puasa sudah tidak mampu lagi menahan gejolak dan kegelisahannya
Hal ini bersandarkan bahwa : menahan dan menjauhi dari kekejian adalah suatu hal yang wajib, dan jika yang wajib itu tidak terpenuhi selain dengan menikah, maka dengan sendirinya menikah itu menjadi ikut wajib hakimnya. Kaidah ini dikenal dengan nama : “ maa lam yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib “.

Kedua : Hukum Menikah menjadi Haram
Seseorang diharamkan baginya menikah, ketika bisa dipastikan (berdasarkan pengalaman dan dhahirnya) bahwa dalam pernikahan itu ia akan menzalimi istrinya. Salah satu contohnya yaitu :
jelas-jelas tidak mampu memberikan nafkah finansial pada istrinya.
Atau dalam kondisi tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada suami/istrinya nanti, semisal : tidak punya kemampuan dalam hubungan suami istri.

Hukum haram ini bisa menjadi berubah saat dipastikan ternyata kondisi-kondisi tersebut telah diperbaiki. Lalu pertanyaan yang menarik selanjutnya adalah : Bagaimana jika seseorang berada pada kondisi yang berbahaya mengarah pada zina, dan pada saat yang sama dia belum mempunyai kemampuan finansial yang cukup ? . Maka solusi ‘sementara’ untuk hal ini adalah menjaga diri dengan berpuasa. Karena jika bertemunya wajib dengan haram, maka yang haramlah yang harus dijauhi terlebih dahulu.

Allah SWT berfirman “ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. “ (QS An- Nuur ayat 33)

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : Wahai segenap pemuda, barang siapa diantara kamu telah mempunyai kemampuan (jimak) maka hendaklah segera menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (memberi nafkah) maka hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi perisai baginya “ (HR Jamaah)

Ketiga : Hukum Menikah menjadi Makruh
Yaitu ketika seseorang berada dalam kondisi yang dikhawatirkan (bukan dipastikan) akan menimbulkan bahaya dan kerugian jika menikah nantinya, misalnya karena beberapa faktor sebagai berikut :
karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya, atau mempunyai penghasilan tetapi sangat belum layak.
Atau bisa juga karena track record kejiwaannya yang belum stabil, seperti emosional dan ringan tangan
Atau ada kecenderungan tidak mempunyai keinginan terhadap istrinya, sehingga dikhawatirkan nanti akan menyia-nyiakan istrinya

Keempat : Hukum Pernikahan menjadi Sunnah
Terakhir, jika seseorang berada dalam kondisi ‘pertengahan’ maka hukum menikah kembali kepada asalnya yaitu sunnah mustahabbah atau dianjurkan. Yaitu jika seseorang dalam kondisi :
Mempunyai daya dukung finansial yang mencukupi secara standar
Tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan karena lingkungan yang baik serta kualitas keshalihan yang terjaga.

Dalil yang menunjukkan hukum asal sunnah sebuah pernikahan, diantaranya adalah yang diriwayakan anas bin malik ra. Yaitu ketika datang tiga sahabat menanyakan pada istri-istri nabi tentang ibadah beliau SAW, kemudian mereka bersemangat ingin menirunya hingga masing-masing mendeklarasikan program ibadah andalannya :
Ada yang mengatakan akan shalat malam terus menerus
Ada yang mengatakan akan puasa terus menerus
Ada yang mengatakan tidak akan menikah selamanya
Dan puncaknya, ketika Rasulullah SAW mendengar hal ini, beliau segera bereaksi keras dan memberikan statemen yang cukup jelas tentang hal tersebut. Beliau bersabda : Demi Allah .. sungguh aku ini yang paling takut kepada Allah di antara kamu sekalian, aku juga yang paling bertakwa pada-Nya, tetapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wahita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukanlah bagian dariku “ (HR Bukhori)

Nah, jika urusannya adalah sunnah, maka insya Allah lebih baik untuk disegerakan. Saya ingat sebuah kisah nyata yang dulu sering saya sampaikan pada ibu saya jauh-jauh hari sebelum akhirnya menikah. Kisahnya seorang pemuda mesir yang belajar di Amerika. Pada tahun pertama, ia minta ijin pada ibunya untuk menikah, tapi oleh ibunya dilarang. Begitu pula tahun kedua, dan ketiga ia mengulangi lagi permintaan untuk menikah, dan senantiasa juga ditolak. Hingga akhirnya di tahun keempat dan kelulusannya, ibunya datang dan mengatakan sekaranglah saatnya menikah. Maka sang anak menjawab dengan enteng : ibu, sekarang saya tidak memerlukan pernikahan, di Amerika ini saya bisa memenuhi kebutuhan biologis saya tanpa harus menikah. Bukankah dulu ibu melarang saya menikah, ketika saya benar-benar membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan biologis saya ?Wal iyyadz billah.

Ikhwan dan akhwat sekalian, marilah mengkaji ulang status dan kondisi kita hari ini. Apakah telah sampai pada kita kewajiban menikah ? sunnah, atau barangkali justru masih dalam status makruh ? Anda lebih tahu jawabannya. wallahu a’lam bisshowab

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Masalah Pernikahan Dini

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.


Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.

Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.

Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.

Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.

Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.

Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.

Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.

Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Urgensi Bahasa Arab


· Oleh : Abu Farha Qasim Atha

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al-Qur’an dengan standar bahasa Arab dan mengutus rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan Arab yang fasi. Amma ba’du.
Urgensi bahasa Arab meliputi banyak cabang disiplin ilmu yang tidak bisa dipisahkan dari bahasa arab, namun dalam makalah yang sederhana ini kami paparkan hal-hal penting yang terkait dengan kehidupan sehari-hari kaum muslimin yang akan dijelaskan dalam pembahasan nanti.
Tentunya tulisan ini hanya untuk membuka hati dan pikiran kita agar kita memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan bahasa Arab khususnya bagi para pemuda umat ini sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing. Perlu kesadaran pada diri setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan bahasa persatuan kaum muslimin.

URGENSI PENGETAHUAN BAHASA ARAB
Ada dua poin penting yang berkaitan dengan pentingnya mempelajari bahasa Arab, yaitu:

1. Sebagai sumber ilmu
2. Sebagai pemersatu ummat

A. Sumber Ilmu
Sepanjang sejarah, bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki cabang ilmu yang indah dan kekuatan sastra yang kokoh sehingga mudah dipahami.
Para ulama mengatakan bahwa seseorang sebelum dia membaca teks Arab dia sudah bisa paham baik dia berbahasa Arab aktif maupun pasif. Berbeda dengan bahasa lain dimana seseorang harus membacanya terlebih dahulu baru kemudian dia bisa paham.1
Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan terutama ilmu-ilmu keislaman, karena al-Qu’an, al-hadits, al-atsar serta penjelasan para ulama terdahulu menggunakan bahasa Arab. Kita tidak bisa memahaminya kecuali dengan bahasa Arab. Ini adalah bagian dari mukjizat al-Qur’an yaitu memiliki standar bahasa yang baku yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan karena terdapat beberapa hal sebagai berikut:

1. Sarana mencapai kemuliaan
Ilmu adalah kemuliaan dan tidak bisa diraih kecuali dengan bahasa. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberi kemuliaan pada bahasa Arab dengan dua yaitu:
a.Standar bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu-Nya agar umat manusia bisa memahaminya dengan mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” 2
b.Memilih dan mengutus rasul-Nya dari orang Arab untuk seluruh alam. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainka
n menjadi rahmat bagi semesta alam.” 3

Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan orang Arab “asli” yang sangat fasih berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan bahasa yang mulia sehingga menjaga diri seseorang dari kebodohan dan perselisihan. al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih, kecuali ketika mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung pada bahasa Aristoteles.” 4
Oleh karena itu, banyak orang-orang mulia dari kalangan ulama, pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai sumber rujukan dalam memahami al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Mereka diantaranya yaitu:

a.Al-Imam Syafi’i rahimahullah
Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan al-Ja’farani, dia berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dan lebih alim dari Imam syafi’i. Jika dibacakan syai’r di hadapannya pasti beliau mengetahuinya, beliau adalah ibarat lautan ilmu.” 5
Dalam riwayat yang lain, dari Rabi’ah bin Sulaiman, dia berkata, “Saya mendengar Ibn Hisyam rahimahullah pengarang buku Maghazi berkata, “Imam Syafi’i adalah hujjah dan bahasa.” 6
b.Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ibrahim al-Harbi rahimahullah berkata, “Saya melihat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah seakan-akan Allah mengumpulkan ilmu orang terdahulu dan terakhir untuknya.” 7
c.Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah
Abu Hayyan rahimahullah adalah guru para ahli Nahwu, ketika dia bertemu dengan Ibn Taimiyah rahimahullah, dia berkata, “Kedua mata saya belum pernah melihat orang seperti Ibn Taimiyah.” 8

Dengan demikian, para ulama mendapat kemuliaan baik disisi manusia maupun disisi Allah karena mereka menjadikan bahasa Arab sebagai sarana untuk memahami agama ini.

2. Sarana memahami agama
Bahasa arab merupakan sarana yang paling penting untuk memahami agama Islam. Hal ini karena al-Qur’an, al-hadits, al-atsar, tafsir, dan penjelasan para ulama sebagian besar menggunakan bahasa Arab. Untuk bisa memahaminya kita membutuhkan sarana yaitu bahasa Arab.
Oleh karena itu, sahabat yang mulia al-Faruq Umar bin khaththab radiallahu ‘anhu diriwayatkan telah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari radiallahu ‘anhu seraya berkata,
تعلموا العربية فإنها من دينكم……
“Belajarlah bahasa Arab karena sesungguhnya bahasa Arab itu bagian dari agama kalian.”
9
Dalam riwayat yang lain dari Umar bin Zaid berkata, “Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu menulis surat kepada abu Musa al-Asy’ari radiallahu’anhu, ‘pahamilah sunnah dan pahamilah bahasa arab.’ ” 10
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengarahkan penuntut ilmu hadits agar mempelajari bahasa dan Sastra arab. Beliau berkata, “Menurut pandangan saya, seorang penuntut ilmu yang mendalami ilmu hadits harus memperbanyak studi ilmu sastra dan bahasa Arab sehingga dia mampu menguasai fiqhul hadits dengan baik karena hadits adalah ucapan orang Arab (rasulullah) yang paling fasih.” 11
Keterangan di atas adalah wujud perhatian besar para ulama terhadap bahasa Arab yang merupakan sarana mereka dalam memahami agama Islam.

B. Pemersatu Ummat
Sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa orang Arab semata, akan tetapi merupakan bahasa kaum muslimin di seluruh dunia yang dengannya kaum muslimin menyatu dalam beberapa aspek ibadah dan dengan tujuan ini pula Allah menurunkan al-Qur’an menggunakan bahasa bahasa Arab.
Jika bahasa Arab hanya menjadi bahasa orang (bangsa) Arab saja maka tidak mungkin Allah menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal itu bertentangan dengan firman-firman-Nya, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai “sumber ilmu”.
Dalam Islam, ada beberapa ibadah yang tidak bisa dikerjakan kecuali dengan bahasa arab, diantaranya sebagai berikut:
1.Shalat
Shalat tidak sah kecuali dengan bahasa arab, mulai dari panggilan untuk shalat (adzan dan iqamah), dan saat melakukan shalat yang diawali dengan takbiratul ihram, bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir, dan salam, semua itu diucapkan dengan bahasa arab.
2. Dzikir-dzikir dan do’a-do’a
Dzikir dan do’a pada asalnya mengunakan bahasa Arab. Hal itu lebih utama, termasuk dalam dzikir adalah membaca al-Qur’an. Para ulama mengatakan diantara dzikir-dzkir yang paling utama adalah membaca al-Qur’an selain kalimat thayyibah (
لا إله إلا الله).
Seseorang dikatakan telah membaca al-Qur’an jika dia membaca teks
aslinya. Orang yang membaca terjemahannya tidaklah dikatakan membaca al-Qur’an, karena bisa jadi terjemahan itu keliru.
Walaupun dzikir dan do’a secara umum boleh menggunakan bahasa terjemahan (bahasa Ibu) bagi orang non-Arab, namun “tidak” di semua tempat dan waktu boleh berdzikir dan berdo’a menggunakan bahasa non-Arab.

C. Kesimpulan.
Urgensi bahasa Arab selain sebagai bahasa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sebagai bahasa komunitas kaum muslimin di seluruh dunia. Apabila kita menengok sejarah perkembangan Islam maka tidak terlepas dari bahasa arab. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa negara di Afrika yang sampai sekarang masih menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibu (bahasa sehari-hari). Wallahu a’lam

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Sunday 6 June 2010

Keunggulan Bahasa Arab

Manakala bahasa mulia telah ditelantarkan, bahasa yang mengantarkan pada pemahaman ilmu Qur'an dan sunnah yang shohih telah dicampakkan, apa yang akan terjadi??

Pertanyaan itu salah satunya dapat dijawab dengan ungkapan seorang ulama yang terkenal dengan kedalaman ilmunya, Imam Asy Syafi'i.

"Manusia menjadi buta agama, bodoh dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles."1


Kita tentu sering menemui banyak dari masyarakat kita yang notabene sebagian besar kaum muslimin, seolah mewajibkan putra-putri mereka untuk belajar bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Supaya bisa bersaing di dunia internasional, kata mereka. Memang tidak ada larangan untuk mempelajarinya, karena bahasa Inggris merupakan ilmu yang mubah untuk dipelajari, apalagi jika diniatkan untuk mempermudah dakwah. Tapi ketika niat telah ternoda, tertuju pada urusan duniawi yang fana semata, serta diiringi dengan pemberian porsi yang tidak adil, bahkan mencapai taraf mencibir terhadap Bahasa Arab, bahasa mulia yang justru sangat penting untuk dipelajari. Apakah ini dibenarkan??!

Jauh berbeda dengan masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan para khalifah sekalipun mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap bahasa Arab. Mereka begitu bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menguasai, mengajarkan, dan memberi fasilitas bagi putra-putri mereka memperdalam bahasa Arab. Bahkan diceritakan, para ulama salaf terdahulu memukul putra-putri mereka karena kesalahan berbahasa. Sungguh ironis, jika melihat kenyataan pada masa sekarang, tentu mereka akan sangat bersedih dan terpukul.

Mungkin banyak yang belum tahu atau belum menyadari bahwa bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Bagaimana mungkin seorang muslim lebih memilih untuk mencintai bahasa lain sedangkan ia memiliki bahasa yang lebih indah, yang lebih pantas untuk dicintai.

Keunggulan dan Keistimewaan Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang mulia dan istimewa. Bahasa Arab telah dipilih oleh Allah sebagai bahasa kitab-Nya, seperti yang difirmankan oleh Allah :
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).
Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah j), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril ), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.

” Allah juga memilih Bahasa Arab menjadi bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad j. Bahasa ini menjadi bahasa verbal Rasulullah j dan shahabat-shahabatnya. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita menggunakan bahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab rujukan yang ditulis oleh para ulama, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi jalan awal untuk memahaminya.
Selain itu, berbeda dengan bahasa lain, susunan kata dalam Bahasa Arab tidak banyak. Sebagian besar tersusun atas tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya. Disamping itu, kosakata dalam bahasa Arab pun sangat indah. Seseorang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas, padat, dan syarat dengan makna.

Namun bukan berarti belajar bahasa Arab itu mudah, hanya butuh waktu yang singkat untuk menguasainya, sama sekali tidak…, tetap dibutuhkan semangat, kesungguhan, dan keistiqomahan dalam mempelajarinya. Bahkan semangat dan kesungguhan itu harus lebih daripada mempelajari bahasa lainnya, karena ada pahala dan janji yang besar dibalik itu semua.

Perhatian Salaf dan Mujaddid Abad Ini Terhadap Bahasa Arab
Para salafushsholih dan para mujaddid abad ini yang tidak perlu diragukan lagi kegigihan, kesungguhan dan semangat mereka dalam berjuang menegakkan agama Islam, sangat memperhatikan Bahasa Arab. Dalam perjalanan hidup mereka banyak sekali perkataan dan perbuatan yang mencerminkan begitu besar perhatian mereka terhadap bahasa mulia ini.

Umar bin Khaththab pernah rnenulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: "Amma ba’du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab". Pada kesempatan lain, beliau mengatakan: "Semoga Allah merahmati orang yang meluruskan lisannya (dengan belajar bahasa Arab)’. Pada kesempatan lain lagi, beliau menyatakan: "Pelajarilah agama, dan ibadah yang baik, serta mendalami bahasa Arab". Beliau juga mengatakan: "Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan".4
Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi ciri khas dan hampir menjadi suatu keharusan generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak sesuai dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: "Alangkah buruk bidikan panah kalian". Mereka menjawab, "Nahnu qawmun muta’alimiina (kami adalah para pemula)"5, maka Umar berkata, ‘Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya bidikan kalian…"6 Sungguh, sangat keras teguran beliau kepada orang yang salah dalam berbahasa.

Para ulama pun tak kalah perhatiannya terhadap bahasa Arab. Mereka tidak pernah menganggap remeh bahasa ini, mereka mempelajarinya sebagaimana mempelajari ilmu syar'I yang lain, karena bahasa Arab merupakan sarana untuk mempelajari ilmu syari'at. Di antaranya adalah Imam Syafi’I, Ibnul Qayyim, dan Imam Syaukani.
Imam Syafi'i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab. Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau mempelajari dari kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa’, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil, Ibnul Fathi Al Ba’li. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi. Demikian halnya dengan Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu: Sayyid Isma’il bin Al Hasan, Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.

Tidak berbeda dengan mujaddid 'pembaharu' abad ini seperti Syaikh Al-'Alamah Abdul Azis bin Baaz, Al-'Alamah Al-Albani, dan Al 'Alamah Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka mencurahkan segala-galanya untuk Islam. Mereka menimba ilmu semenjak kecil, tidak pernah bosan dan berputus asa. Ilmu bahasa Arab pun tidak tertinggal untuk mereka pelajari.

Syaikh AlBani pernah berkata, "Sesungguhnya di antara nikmat yang besar dan tak terhingga dari Allah kepadaku ada dua hal; hijrahnya ayahku ke Syam dan dia mengajarkanku memperbaiki jam." Dia belajar dari ayahnya cara memperbaiki jam hingga dia mahir dan terkenal dalam bidang itu. Dia mencari nafkah dengan itu. Dia berkata, "pertama aku diberi kemudahan untuk belajar bahasa Arab yang sebelumnya ketika kami di Albania tidak pernah terlintas bahwa aku akan bisa berbahasa Arab, walau satu huruf pun. Tidak ada jalan untuk memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah j, kecuali dengan bahasa Arab."7 Beliau sangat bersyukur atas kemudahan untuk mempelajari bahasa Arab yang sebelumnya beliau pikir sangat kecil peluangnya. Bahkan beliau menempatkannya sebagai nikmat yang besar dan tak terhingga.
Subhanallaah, mereka adalah ulama-ulama yang terkenal kedalaman ilmunya begitu perhatian, semangat, gigih untuk mempelajari bahasa Arab. Pantaskah kita untuk meremehkan bahasa ini?

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Saturday 5 June 2010

Tips Menulis Cerpen

Menulis cerpen (cerita pendek) dapat menjadi permulaan karir yang baik sebagai penulis fiksi. Menulis cerita yang sangat panjang, seperti novel pastilah lebih membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Belum lagi mencari penerbit yang mau menerbitkannya. Cerita pendek dapat menjadi terobosan dalam karir menulis. Lebih banyak alternatif bagi penulis cerita pendek untuk dikenal, daripada novel. Majalah dan koran banyak yang menerima cerita pendek. Blog bisa juga menjadi alternatif dimuatnya cerita pendek di internet. Seringnya nama penulis muncul dalam cerita pendek yang dimuat di berbagai majalah dan koran, bisa menjadi pertimbangan positif bagi penerbit, bila penulis tersebut menyodorkan naskah cerita yang lebih panjang seperti novel ke penerbit.

Tulisan ini ditujukan pada penulis pemula yang ingin menulis cerita pendek dengan baik. Sesuai namanya, menulis cerita pendek memiliki keunikan tersendiri.

Tema
Sebaiknya Anda memiliki tema yang jelas saat menulis cerpen, tentang cerita seperti apa yang ingin Anda tulis. Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca. Dengan adanya tema, yang menjadi tulang punggung cerita, maka cerpen Anda akan meninggalkan kesan tersendiri pada pembaca. Penetapan tema dari awal juga berguna agar saat menulis, Anda tidak terlalu jauh melenceng dari cerita sudah ditetapkan.

Alur cerita
Fokuslah pada satu alur cerita sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan sebelumnya. Karakter tambahan, sejarah, latar belakang, dan detail lainnya sebaiknya memperkuat alur cerita ini. Percabangan alur cerita mutlak harus dihindari.

Karakter
Jangan menggunakan jumlah karakter yang terlalu banyak. Semakin banyak karakter bisa membuat cerita Anda menjadi terlalu panjang dan tidak fokus pada tema. Gunakan karakter secukupnya yang sesuai dengan alur cerita.

Sepenggal kisah hidup
Namanya saja cerita pendek, sehingga cerpen hanya menceritakan tentang sekelumit kisah dalam hidup karakter yang Anda buat. Jika karakter Anda memiliki kisah hidup yang sangat panjang, tulis hanya sebagai background yang menjadi penguat tema cerita tersebut. Tekankan hanya pada satu bagian dari hidupnya untuk ditulis.

Penggunaan kata
Bagaimanapun cerpen memiliki keterbatasan dalam jumlah kata yang bisa dipakai, apalagi cerita super pendek seperti flash fiction. Seringkali majalah atau koran tertentu benar-benar membatasi jumlah kata yang bisa dipakai. Jadi, Anda sebaiknya menggunakan pilihan kata yang efisien dan menghindari menggunakan kalimat deskriptif yang berpanjang-panjang.

Impresi
Secara tradisional, cerpen dimulai dengan pengenalan karakter, konflik, dan resolusi. Alternatif lain, adalah Anda dapat membuat impresi pada pembaca justru pada awal cerita, dengan langsung menghadirkan konflik. Karakter Anda sudah berada di dalam kekacauan besar. Hal ini akan membuat pembaca semakin penasaran, ada apa yang terjadi sebenarnya, bagaimana karakter tersebut akan mengatasi persoalannya. Pengenalan karakter, setting, dll dapat dilakukan secara perlahan-lahan di bagian cerita berikutnya.

Kejutan
Beri kejutan pada pembaca di akhir cerita. Hindari membuat akhir cerita yang mudah ditebak.

Konklusi
Jangan biarkan pembaca meraba-raba dalam gelap pada akhir cerita Anda. Pastikan konklusi di akhir cerita Anda memuaskan, tetapi juga tidak mudah ditebak. Pembaca perlu dibuat berkesan pada akhir cerita, tentang apa yang terjadi pada karakter tersebut. Akhir cerita yang mengesankan akan selalu diingat oleh pembaca, bahkan setelah lama mereka selesai membaca cerita tersebut.

oleh Didik Wijaya
Copyright Penerbit Escaeva

BACA SELENGKAPNYA>>>>
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...