Firanda merasa bangga seolah telah menggapai cita-cita besarnya selama ini karena merasa telah berhasil mematahkan argumentasi Habib Mundzir terkait persoalan seputar kuburan. Merasa paling alim, paling pandai atas semua ucapan para ulama syafi’iyyah. Padahal argumentasinya penuh penipuan dan kedangkalan cara berpikirnya terhadap Hadits-Hadits Nabi Saw dan ucapan para ulama Ahlus sunnah.
Sebentar lagi kita akan ketahui penipuan firanda dan kedangkalan pikirannya terhadap Hadits-hadits Nabi Saw dan ucapan para ulama yang dia sebutkan dalam artikelnya tersebut dalam situsnya : http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187
Firanda berkata :
Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.
Jawaban :
Terlihat jelas kedangkalan Firanda di dalam memahami ucapan imam Baidhawi tersebut. Imam Baidhawi sama sekali tidak menghalalkan menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat peribadatan, karena sudah jelas nash hadits yang melarangnya :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Beliau memang mengharamkan menjadikan kuburan sebagai masjid yang di atasnya dibuat tempat ibadah dan sholat di atasnya.
Yang diperbicangkan oleh imam Baidhawi adalah di luar ancaman hadits tersebut yaitu menjadikan masjid di samping kuburan orang yang shalih, perhatikan ucapan beliau berikut :
قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا
لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه
Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya.
Catatan :
Beliau berpendapat tidak membolehkan dan haram menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan, yang mereka agungkan dengan bersujud pada kuburan dan menjadikan kuburan itu sebagai arah qiblat.
Dan lihatlah kelanjutan ucapan beliau tersebut berikut ini :
أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته .
والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى
" Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya. Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “
Catatan :
Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.
Jelas sekali hal ini di luar dari ancaman hadits Nabi Saw di atas. Maka terbukti si firanda tidak pandai memahami ucapan imam Baidhawi ini. Dan telah berbohong pada umat atas ucapannya bahwa pendapat imam Baidhawi menyelisihi hadits.
Firanda juga berkata :
Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya orang-orang yang "hobi" memakmurkan kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab As-Syafii.
Jawaban :
Firanda memahami ucapan imam Baidhawi bertentangan dengan kesepakatan ulama besar madzhab syafi’I, sebab kebodohannya di dalam memahami ucapan imam Baidhwi tersebut dan para ulama lainnya.
Kita perhatikan berikut ini :
واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على كراهة بناء مسجد على القبر سواء كان الميت مشهورا بالصلاح أو غيره ، لعموم الأحاديث ، قال الشافعي والأصحاب : وتكره الصلاة إلى القبور ، سواء كان الميت صالحا أو غيره قال الحافظ أبو موسى : قال الإمام أبو الحسن الزعفراني رحمه الله : ولا يصلى إلى قبره ، ولا عنده تبركا به وإعظاما له للأحاديث ، والله أعلم
"Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) atas kemakruhan membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Asy-Syafii dan para Ash-haab berkata, " Dan dimakruhkan sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak". Al-Haafizh Abu Musa berkata, "Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za'farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A'lam".(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Catatan :
Jelas imam Syafi’I dan ulama syafi’iyyah hanya memakruhkan membangun masjid di atas kuburan baik kuburan orang sholeh atau bukan. Dan juga makruh sholat menghadap kuburan baik kuburan orang sholeh atau bukan. Namun lain persoalan jika sholat di samping kuburan orang sholeh, maka para ulama syafi’I sepakat dengan imam Baidhawi yaitu membolehkannya. Kecuali imam Abul Hasan az-Za’farooni.
Imam Baidhwai dan imam Syafi’I juga para ulama syafi’i sepakat bahwa MAKRUH (TANZIH) hukumnya sholat di pekuburan bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan masalah kenajisan tempatnya..
Simak kelanjutan ucapan imam Baidhawi berikut :
والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى
“ Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “
Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil (menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.
Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap pekuburan. Beliau berkata :
وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة
“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan.
Pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitsami (ulama syafi’iyyah) :
وقال ابن حجر : أشار الشارح إلى استشكال الصلاة عند قبر إسماعيل ، بأنها تكره في المقبرة ، وأجاب : بأن محلها في مقبرة منبوشة لنجاستها ، وكله غفلة عن قولهم : يستثنى مقابر الأنبياء ، فلا يكره الصلاة فيها مطلقا ; لأنهم أحياء في قبورهم
Ibnu Hajar berkata “ Pensyarah berisyarat pada kemusykilan sholat di sisi kuburan Nabi Ismail bahwa makruh sholat dipekuburan. Dan beliau menjawabnya “ Letak kemakruhannya adalah di pekuburan yang tergali karena kenajisannya. Semua itu kelalaian dari ucapan mereka “ Dikecualikan (sholat) di pekuburan para nabi, maka tidaklah dimakruhkan sholat di dalamnya secara muthlaq sebab para nabi itu hidup di dalam kuburan mereka “.
Dan disebutkan pula dalam kitab Mirqatil mafatih syarh Misykatul Mashabih berikut :
وفي شرح السنة : اختلف في الصلاة في المقبرة فكرهها جماعة ، وإن كانت التربة طاهرة والمكان طيبا ، واحتجوا بهذا الحديث والذي بعده ، وقيل : بجوازها فيها ، وتأويل الحديث أن الغالب من حال المقبرة اختلاط تربتها بصديد الموتى ولحومها ، والنهي لنجاسة المكان ، فإن كان المكان طاهرا فلا بأس ، وكذلك المزبلة والمجزرة وقارعة الطريق ، وفي القارعة معنى آخر ، وهو أن اختلاف المارة يشغله عن الصلاة ، قال ابن حجر : وقد صح أنه عليه الصلاة والسلام نهى عن الصلاة بالمقبرة ، واختلفوا في هذا النهي هل هو للتنزيه أو للتحريم ؟ ومذهبنا الأول ، ومذهب أحمد التحريم
“ Di dalam syarh sunnah “ para ulama berbeda pendapat tentang hokum sholat dipekuburan, maka sebagian kelompok ulama memakruhkannya, walaupun tanahnya suci dan tempatnya baik, mereka berhujjah dengan hadits tersebut dan hadits setelahnya. Ada juga pendapat (qila) Boleh (tidak makruh) sholat di pekuburan dan menakwilkan hadits bahwa umumnya kedaan pekuburan itu bercampurnya tanah dengan nanah dan daging si mayat sedangkan larangan itu karena kenajisan tempatnya, jika tempatnya suci maka tidklah mengapa (sholat di dalamnya). Demikian juga tempat pembuangan sampah, penjagalan dan tempat jalan manusia, dan khusus tempat jalan ada alasan lainnya yaitu lalu lalangnya orang yang lewat dapat mengganggu kekhusyu’an sholat. Ibnu Hajar berkata “ Sungguh telah shahih bahwasanya Nabi Saw melarang sholat di pekuburan, namun para ulama berbeda pendapat dalam sifat pelarangannya, apakah larangannya bersifat tanzih (makruh tanzih) atau tahrim (makruh tahrim) ? Madzhab kami (madzhab syafi’i) adalah memilih yang pertama (yaitu MAKRUH TANZIH) sedangkan madzhab imam Ahmad memilih makruh tahrim “.
Imam Ibnu hajar menegaskan pada kita bahwa madzhab syafi’I menghukumi makruh tanzih sholat di pekuburan dan cukuplah beliau mewakili pendapat para ulama syafi’iyyah dalam kemakruhan (tanzih) sholat dipekuburan.
Imam Al-Qoori juga berkata masih dalam kitab Mirqah tersebut :
وقيد " عليها " يفيد أن اتخاذ المساجد بجنبها لا بأس به ، ويدل عليه قوله عليه السلام : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد
“ Nabi menggunakan kalimat ‘alaiha (di atas) memberikan faedah bahwa menjadikan masjid di sampingnya tidaklah mengapa. Dan menunjukkan atas yang demikian itu sabdanya Nabi Saw : Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid “.
Pendapat imam Syarbini (ulama syafi’iyyah) :
و قال العلامة الشربيني : والمقبرة (أي تكره) بتثليث الباء (الطاهرة) لغير الأنبياء صلى الله عليهم وسلم بأن لم يتحقق نبشها أو تحقق وفرش عليها حائل. (والله أعلم) للخبر السابق مع خبر مسلم {لا تتخذوا القبور مساجد} أي أنهاكم عن ذلك وصح خبر {لا تجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها} وعلته محاذاته للنجاسة سواء ما تحته أو أمامه أو بجانبه نص عليه في الأم ومن ثم لم تفترق الكراهة بين المنبوشة بحائل وغيرها ولا بين المقبرة القديمة والجديدة بأن دفن فيها أول ميت بل لو دفن ميت بمسجد كان كذلك , وتنتفي الكراهة حيث لا محاذاة وإن كان فيها لبعد الموتى عنه عرفا أما مقبرة الأنبياء فلا تكره الصلاة فيها لأنهم أحياء في قبورهم يصلون فلا نجاسة.
اهـ
Al-Allamah Asy-Syarbini berkata “ Dan pekuburan yang suci maksudnya makruh sholat di dalamnya, selain pekuburan para nabi sekiranya bongkaran kuburannya tidak nyata atau terbongkar namun dibebrkan penghalang di atasnya. Wallahu a’lam karena ada hadits yang berlalu dan bersama hadits riwayat Muslim berikut “ Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid “ artinya aku melarang kalian tas yang demikian itu. Dan juga ada hadits shahih “ Janganlah duduk di atas kubura dan jangn pula sholat menghadapnya. Illat (sebab pelarangan) adalah karena SEJAJAR DENGAN NAJIS baik apa yang ada di bawahnya, depan atau sampingnya, hal ini telah di tetapkan dalam kitab al-Umm (karya imam Syafi’i). dari sanalah kemakruhan tidak berbeda bai antara kuburan yang terbongkar, dengan penghalang atau pun tidak, juga antara kuburan yang lama maupun kuburan yang baru sekiranya dikubura mayat pertama kali bahkan seandainya mayat dikubur di dalam masjid maka juga demikian hukumnya.
Dan menjadi hilang hukum kemakruhannya jika tidak sejajar dengan najis walaupun berada di dalam pekuburan, karena jauhnya dari orang-orang yang mati secara umum. Adapun pekuburan para nabi maka tidaklah makruh sholat di dalamnya karena mereka hidup di dalam kuburannya dan sholat, maka tidaklah menjadi najis “.
Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya berkata :
وممن كره الصلاة في المقبرة سواء كانت لمسلمين أو مشركين الثوري وأبو حنيفة والأوزاعي والشافعي وأصحابهم وعند الثوري لا يعيد وعند الشافعي أجزأه إذا صلى في المقبرة في موضع ليس فيه نجاسة للأحاديث المعلومة في ذلك ولحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال صلوا في بيوتكم ولاتتخذوها قبورا ولحديث أبي مرثد الغنوي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لا تصلوا إلى القبور ولاتجلسوا عليها وهذان حديثان ثابتان من جهة الإسناد ولاحجة فيهما لأنهما محتملان للتأويل ولايجب أن يمتنع من الصلاة في كل موضع طاهر إلا بدليل لا يحتمل )ج 10 ص 48-51(
“ Di antara ulama yang memakruhkan sholat di pekuburan baik kuburan muslimin atau musyrikin adalah imam Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, al-Awza’I, imam Syafi’I dan para ulama syafi’iyyahnya. Menurut imam Sufyan ats-Tsauri tidak perlu mengulangi lagi (sholatnya yang dilakukan di pekuburan). Menurut imam Syafi’i boleh sholat di pekuburan jika di tempat yang tidak ada najisnya Karena hadits-hadits yang telah diketahui dalam hal ini dank arena hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “ Sholatlah di rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Juga karena ada hadits riwayat Abi Martsad al-Ghonawi dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda “ Janglah kalian sholat menghadap kuburan dan jangan duduk di atasnya. Dua hadits ini stabit dari sisi isnadnya dan tidak bisa diuat hujjah kedua hadits tsb karena mengandung kemungkinan adanya takwil dan tidak wajib melarang sholat di setiap tempat yang suci kecuali dengan dalil yang tidak mengandung takwil “.
Sekarang kita simak pendapat imam Syafi’I sendiri dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman : 92 berikut ini :
والمقبرة الموضع الذي يقبر فيه العامة ؛ وذلك كما وصفت مختلطة التراب بالموتى ، وأما صحراء لم يقبر فيها قط ، قبر فيها قوم مات لهم ميت ، ثم لم يحرك القبر فلو صلى رجل إلى جانب ذلك القبر أو فوقه ، كرهته له ولم آمره يعيد ؛ لأن العلم يحيط بأن التراب طاهر ،
لم يختلط فيه شيء ، وكذلك لو قبر فيه ميتان أو موتى "
“ Dan pekuburan adalah tempat pengkuburan untuk umum. Demkian itu sebagaimana aku telah sifatkan yaitu bercampur dengan mayat-mayat. Adapun padang sahara, tidak ada satupun kuburan di dalamnya yang jika satu kaum kematian seseorang, kemudian tidak diaduk kuburan tersebut, maka seandainya ia sholat di samping kuburan tersebut atau di atasnya, maka aku menghukuminya makruh dan aku tidak memerintahkannya untuk mengulangi sholatnya, karena diketahui benar bahwa tanah itu suci tidak bercampur sedikitpun dengan sesuatu, demikian juga seandainya dikuburkan dua atau beberapa mayat di dalamnya “.
Catatan :
Cukup jelas nash imam Syafi’I tersebut memberikan faedah bahwa pekuburan yang tergali adalah najis dan tidak sah sholat di dalamnya. Adapun pekuburan yang tidak tergali, maka hukumnya suci dan sholat di dalamnya hukumnya sah. Demikian juga beliau imam Syafi’I mengembalikan illatnya (sebab pelarangan) pada dikhawatirkannya najis, jika najisnya hilang, maka hilanglah hokum kemakruhannya.
Firanda berkata :
Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik yang sholat di dekat kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak sedang mencari barokah dikuburan. Namun demikian ia tetap ditegur oleh Umar bin Al-Khottoob radhiallahu 'anhu.
Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir –yang telah menukil dan sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi ini- untuk mendatangkan dalil yang mengkhususkan dalil-dalil umum dan mutlak larangan sholat di kuburan…!!! Karena sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fikih jika datang dalil secara umum dan mutlak lantas tidak ada dalil yang mengkhususkannya atau mentaqyidnya maka dalil tersebut tetap pada keumuman dan kemutlakannya.
Jawabanya :
Justru atsar tersebut menjelaskan kebolehan sholat di samping kuburan, karena saat itu Anas bin Malik sholat menghadap kuburan, lalu ketika Umar bin Khoththob menegurnya, maka Anas bin Malik melangkahi kuburan tersebut dan tetap melanjutkan sholatnya tanpa mengulangi sholatnya lagi dan bahkan Umar bin Khoththob pun tidak memerintahkannya utk mengulangi sholatnya.
Oleh karena itu imam Ibnu Hajar mengomentari atsar tersebut setelah menukilnya sebagai berikut :
وَقَوْلُهُ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ اسْتَنْبَطَهُ مِنْ تَمَادِي أَنَسٍ عَلَى الصَّلَاةِ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ يَقْتَضِي فَسَادَهَا لَقَطَعَهَا وَاسْتَأْنَفَ
Dan perkataanya “Dan tidak menyuruhnya mengulangi (shalat)” merupakan istinbath dari meneruskannya Anas akan shalat. Andaikan yang demikian itu merusak shalatnya, tentu diputus shalatnya dan mengulanginya dari semula. [Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379]
Dan rupanya firanda tak paham kaidah ushul fiqih berikut ini :
النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ مِنَ الْعِبادَاتِ اَوِ اْلمُعًامًلاتِ
“ Pelarangan menunjukkan atas rusaknya perbuatan yang dilarang baik berupa perkara ibadah atau pun mu’amalah “.
Misalnya : Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas, maka jika sholat tetap dilakukan, maka sholatnya rusak.
Nah jika hadits sholat menghadap kuburan atau sholat di sisi kuburan sebuah larangan keharaman, maka sudah pasti kaidahnya sholat itu rusak dan batal. Tapi sahabat Anas bin Malik tidak mengulangi sholatnya, itu artinya sholat beliau sah dan tidak rusak.
Sumber : Ibnu Alkatiby
Artikel Terkait