Friday, 9 December 2011

Wahhabi Memusuhi Orang Yang Beraqidah Asy'ariyyah ?

Di forum-forum offline maupun online, para penganut Wahabisme itu adalah kaum yang sangat benci dengan muslimin yang mengikuti aqidah Asy’ariyah. Mereka mengatakan Asy’ariyah itu sesat, tahukah anda bahwa imam-imam ulama yang punya nama besar semacam Ibnu Hajar Atsqolani, Imam Nawawi, Imam Baihaqy adalah para penganut Aqidah Asy’ariyah yang notabene adalah kaum Ahlussunnah Wal Jamaah. Pertanyaannya, lalu kenapa Para Wahabiyyun itu sangat benci dengan kaum Asy’ariyyah dan menganggapnya sebagai musuh abadi? Lalu serta merta dengan itu kaum Wahabi membajak nama besar Ahlussunnah Wal Jamaah sebaga label baru Wahabi/Salafi? Untuk tahu jawabnya, mari kita simak pemaparan yang disertai pertanyaan-pertanyaan kritis dari seseorang yang menamakan dirinya dengan nama pena “Qultu Man Ana” berikut ini…..

=======================

Salafi menganggap Para Ulama yang Mengikuti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam Masalah Aqidah Adalah Musuh Abadi.

Bahkan seorang tokoh salafi bernama Zainal Abidin, menukil sejumlah pendapat ulama termasuk Ibn Hazm (walaupun nukilan seperti ini harus diteliti lebih lanjut, sayang kitab-kitab yang disebutkan belum kami miliki -pent) yang berisi kritik, celaan dan ‘vonis’ kafir kepada para Ulama Pengikut Imam Abul Hasan Asy-Asy’ari dalam masalah aqidah atau lebih dikenal dengan Asy’ariyah (Lihat majalah As-Sunnah hal. 38 edisi khususVIII1425 H2004 M).

Padahal hampir seluruh ulama yg namanya dtulis dengan “tinta emas”dalam sejarah Islam dan menjadi pelita umat sepanjang umur umat Islam dengan ilmu yang mereka miliki adalah mengikuti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam masalah aqidah.

Hal ini bisa kita lihat nama-nama besar seperti: Imam Abu Hasan Al-Bahilii,Imam Abu ishaq Al-Isfarainii, Al-Hafidz Abu Nu’aim AL-Asbahani, Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki. Imam Abu Muhammad Al-Juwaini, dan outranya Abu Ma’alii Imam haramain AL-Juwaini, Abu Manshur At-Tamimi Al-Baghdadi, Al- Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, AL-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz AL-Khatib AL-Baghdadi, Imam Abul Qosim AL-Qusyairi,dan putranya Abu Nashr,Imam Abu Ishaq Asy- Syairazi, Nasr Al-Maqdisi, Al-Farawi, Imam Abul Wafa’ ibn Uqil Al-Hambali, Qadhi Qudhat Ad-Damaghani Al-Hanafi, Abul Walid Al-baji Al-Malik, Imam Ass-Sayid Ahmad Ar-Rifa’I,Al-Hafidz Abul Qasim Ibn Asakir, Ibn Sam’ani, Al- hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Imam Fakhrudin Ar-Razi, Imam Iz Ibn Abdis Salam, Abu Umar, Imam Ibn Hajib Al-Maliki, Al-Hafidz Ibn Daqiqil ied, Imam llaudin Al-Baji, Qadhi Qudhat As- Subki, Al-Hafidz Alaai, AL-Hafidz Zainudin AL-Iraqi,dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani, Khatimatul LughawiyinAl-hafidz murtadha Az-Zubaidi Al-Hanafi, Imam Zakariya AL-Anshori, Imam Bahaudin Ar-Ruwas, Mufti makah Ahmad Zaini Dahlan, Musnadul Hindi Waliyullah Ad-Dahlawi, Mufti Mesir Imam Muhammad Ulaisyi Al-Maliki, SyaikhAl-Jami’ Al-Azhar Abdullah Az-Zarqawi, Imam Abdul Fatih Fathullah mufti Beirut,Imam Abdul basist Al-fakhuri Mufti Beirut, Imam Mustafa Naja Mufti Beirut, Imam Abu Muhammad Al-Malaibari Al-Hindi, Qadhi Abu bakar Al-baqilani, AL-Hafidz IbnFaruk, Imam Al-Ghozali, Imam Abul fatah Asy-Syahrantani, Imam Abu Bakar Asy-Syasyi Al-Qofal,Abu Ali Ad-Diqaqi An-Naisaburi, Al-Hakim An- Naisaburi Sohibul Mustadrak, Imam Ibn Alan As-Shadiqi Asy-Syafi’I, Imam Abu Abdullah Muhammad As-Sanusi dll. Semua pemilik nama-nama besar di atas adalah para pengikutImam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam aqidahnya, yang para ulama menyebut aqidah Asy’ariyah dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Kalau menurut kalian Wahabiyyun bahwa Al-Hafidz Ibnul Jauzi, Imam Ibn Hibban, Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali, Al-Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al- Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi,Al-Hafidz Alaai, Al Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasul ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka siapakah yang kalian maksud dengan Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?

Mungkin kalian akan mengatakan bahwa Albani, Utsaimin, Ibn Baz, Al-Jazairi, Al-Fauzan,Rabi Ibn Hadi dll dari kalangan ulama Neo Salafi adalah Ahli Hadis dan merekalah yg paling layak untuk menyandang gelar pewaris satu-satunya ahlus sunnah wal jama’ah !

Kami ingin bertanya apakah ada di antara ulama kalian seperti Albani, Utsaimin, Ibn Baz, Al-Jazairi, Al-fauzan, Rabi Ibn Hadi dll yang punya karya yang lebih baik dari kitab Fathul Bari-nya Ibn Hajar, atau kitab sunan-nya Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, atau karya-karya lain dari para Hufadz Hadis yang sebenarnya (bukan seperti yang sering diaku-aku oleh Salafi) seperti Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi dengan Syarh Shohih Muslim-nya, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi dll !?

Tidak, sekali-kali tidak, karya-karya kalian dipenuhi dengan nukilan dari para Ulama ini !!! Entah bagaimana kualitas buku atau kitab yang ditulis oleh ulama- ulama kalian, jika tidak mengutip dari ucapan dan pendapat mereka dari kitab-kitab dan karya tulis mereka (yaitu para hufadz Ahli hadis ini) yang tidak terhitung nilainya itu?! Tapi bagaimana bisa kalian mengambil pendapat mereka dan mengklaim mereka berada di pihakmu, sementara itu kalian tidak memasukkan mereka dalam daftar Ulama Ahus Sunnah, bahkan kalian mencap mereka sesat dan menyimpang aqidahnya lalu menyamakan mereka dengan firqoh-firqoh sesat lainnya seperti mu’tazilah, jabariyah dll !?

Lalu yang lebih mengherankan lagi kalian masih berani mengklaim mengikuti manhaj para Ahli Hadis, sedangkan pada saat yang bersamaan kalian memvonis aqidah mereka adalah salah dan sesat’ (menurut anggapan kalian), bahkan kalian mengingatkan umat dari penyimpangan aqidah yg terdapat dalam kitab-kitab mereka ! Adakah orang yang akan percaya dengan ucapan sekelompok orang yang mengaku-aku mengikuti manhaj para imam ahli hadis dan ahlus sunnah tapi aqidahnya sesat atau kalian berkata : Manhaj kami diatas manhaj Para Ahli Hadis seperti Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz ‘Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi , tapi aqidah kami berbeda -kami memegangi aqidah yang shohih sedang mereka (para ahli hadis tsb) aqidahnya menyimpang dan sesat !?

Ajib Kulu Ajib hadzal qaul min rajol Al-Ghulat Al-Mudzabdzib As-Salafi (sungguh sangat mengherankan ucapan yang aneh yang berasal dari Al- Ghulat Al-Mudzabdzib As-Salafi ini) !!!

Seandainya para Ulama seperti Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi dll masih hidup, pastilah mereka akan melarang kalian untuk menggunakan karya mereka untuk menjadi bahan bagi tulisan dan kitab kalian. Kenapa, karena jelas kalian telah menganggap mereka sesat bahkan kafir !? Lalu mana ada seorang Ulama yang bersedia karyanya dinukil oleh orang atau kelompok yang telah mencemarkan nama baiknya dengan vonis sesat dan kafir !? Tapi yang aneh bahwa pendapat-pendapat para ahli hadis yang beraqidahkan asy’ariah ini seperti : Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hafidz Al- Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi dll khususnya dalam masalah aqidah, senatiasa kalian nukil didalam berbagai kitab dan makalah yang kalian buat !?

Kalau mau konsisten dengan pendapat kalian bahwa mereka telah menyimpang dan memasukkan sesuatu yang sesat dalam aqidah Islam, maka jangan lagi gunakan kitab dan karya mereka apalagi menukil pendapat mereka dalam masalah aqidah untuk mendukung pendapat kalian dalam masalah aqidah pula. Sungguh aneh !? Tapi ternyata hal itu tidak terjadi bahkan dalam majalah edisi khusus yang mereka tulis dalam masalah hadis, pertama kali mereka menunjukkan apa yang mereka anggap sesat dan menyimpang dari aqidah kaum asy’ariyah lalu diberilah vonis sesat bahkan kafir. Tapi yang aneh setelah itu pendapat-pendapat dari para Ulama Hadis Asy’ariyah seperti Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Nawawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Iraqi, Ibn Shalah dll menjadi rujukan utama unutk memberi justifikasi dalam masalah aqidah versi mereka, bukankan ini sebuah keanehan yang menggelikan ?!

Lalu kalian berkata lagi: Ulama kan bukan hanya mereka! Tapi ingat bukankan Salafi telah mengadopsi pendapat sebagian Ulama’ yang menyatakan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah
Ulama ahli hadis seperti perkataan Imam Ahmad yang mengatakan Kalau bukan ahli hadis, aku tidak tahu lagi siapa mereka ? dll! Biasanya kalian akan berkelit dengan mengatakan : Ulama Ahli Hadis-kan tidak terbatas pada mereka !!? Lalu apakah Al- Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ahli hadis !?

Lalu siapa Ahli hadis yang kalian maksud ?! Lalu manhaj ahli hadis mana yang kalian ikuti !!? Kalau ternyata sebagian besar Para Hufadz Ahli Hadis berada dalam posisi yang berlawanan dengan posisi kalian !? Hendaknya ini menjadi bahan renungan bagi orang-orang mampu berpikir dengan jujur!

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Wednesday, 7 December 2011

Kesalahan Ahli Bid’ah dalam Memahami “Bid’ah” Sehingga Menjadi Fitnah Islam

Bid’ah Itu Tidak Otomatis Haram Atau Berdosa

Vonis Bid’ah ala Wahabi terhadap amalan-amalan Kaum Muslimin benar-benar terbukti menjadi Fitnah Islam. Bagaimana tidak menjadi fitnah Islam ketika ada orang baca surat Yasin dalam “Yasinan” divonis berdosa? Baca Tahlil dalam tahlilan berdosa, Dzikir Jamaah berdosa, baca kisah Maulid Nabi berdosa, tabligh akbar memperingati Isro’ Mi’roj berdosa, dan masih banyak lagi contohnya. Ini akibat kaum Wahabi salah dalam memahami kata “BID’AH”, makanya mereka salah juga ketika menerapkannya sehingga justru kata “Bid’ah” menjadi vonis hukum satu-satunya, yaitu hukum haram sehingga berdosa jika melakukan hal Bid’ah. Lebih jelasnya sehingga Bid’ah itu sama dengan hukum haram. Inilah kesalahan fatal dari pemahaman Bid’ah.

Kesalahan Wahabi dalam memahami kata “BID’AH”, adalah mereka memahami bid’ah sebagai suatu hukum, yaitu hukum haram. Padahal Bid’ah itu bukan hukum tetapi justri bid’ah adalah obyek hukum. Sebab Bid’ah adalah “hal baru” yang mana “hal baru” ini tidak semuanya haram. Tetapi “hal baru” bisa menjadi Haram, menjadi Wajib, makruh, mubah, dan Mandubah. Demikian pemahaman tentang bid’ah oleh para Salafus Sholihin seperti Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Alatsqolani, Imam Nawawi dll.

Untuk lebih mendalami pemahaman bab Bi’d'ah ini silahkan baca dan simak uraian yang benar-benar bagus ini. Semoga bermanfaat….



MEMAHAMI KALIMAT: “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”

Oleh: Ibnu Mas’ud

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).

Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap PERKARA YANG BARU, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Syaikh Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”

Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kullu (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”

Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AH adalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yang HALAL dan yang HARAM, juga ada bid’ah Dunia dan Bid’ah Agama, bukankah kullu di situ dikatakannya sebagai general (umum)? Beginilah LUCU-nya dan KONTRADIKTTIF-nya, bagaimana banyak orang tidak mampu melihat ironisme difinisi Al-Utsaimin ini?

Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Bayan Al-Syafi fii Mafahim Al-Khilafiyah (Pembahasan Tuntas Masalah Khilafiyah) menjelaskan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima bagian yaitu:

1. Bid’ah Wajib; seperti mengumpulkan lembaran Al-Qur’an menjadi mushhaf, menyanggah orang yang menyelewegkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu.

2. Bid’ah Mandub; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan melalui pengeras suara, mengerjakan kebajikan yang pada masa pertumbuhan islam belum pernah dikerjakan orang.

3. Bid’ah Makruh; seperti menghias masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang tidak pada tempatnya, dan mendekorasi kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak pada semestinya.

4. Bid’ah Mubah; seperti menggunakan berbagai peralatan makan dan minum, memakan makanan dan minuman yang mengesankan kemewahan dan berlebih-lebihan.

5. Bid’ah Haram; semua perbuatan yang menyalahi sunnah dan tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukuk syari’at dan tidak mengandung kemashlahatan yang dibenarkan oleh syara’.

Soal sunnah dan bid’ah biasanya menjadi pangkal perbedaan dan perselisian pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pengertian yang benar mengenai makna dan maksud dua perkataan itu.

Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Rasulullah saw sebagai Shahibusy Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Keduanya tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah dapat ditentukan pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah, padahal Sunnah itulah yang menjadi pokok persoalan.



Orang-orang yang anti bid’ah biasanya mereka mengklaim sebagai pengikut sunnah, padahal mereka belum mengetahui batas pengertian sunnah. Ironisnya mereka sendiri sebagai pelaku bid’ah namun tidak menyadarinya, dikarenakan mereka juga tidak mengetahui batas pengertian bid’ah itu sendiri. Karena itulah mereka terperosok pada pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i mentakhrij dari Anas bin Malik serta Imam Bukhari mentakhrij dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah beliau bersabda: “Mudahkanlah mereka dan jangan mempersulitnya, gembirakanlah mereka dan jangan membuatnya bersedih”. Dalam haditz tersebut memberikan pengertian akan fleksibelitas ajaran islam. Hal itu berhubungan langsung dengan perbedaan dan perselisihan pendapat, mengenahi sunnah dan bid’ah.

Imam Muslim juga mentakhrij dari Jabir r.a dan Imam Bukhari mentakhrij dari Ibnu Mas’ud r.a dalam khutbah Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya tutur kata (hadits) yang terbaik adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad s.a.w. Sedangkan persoalan yang terburuk adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Makna hadits tersebut diperkuat oleh hadits Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majjah dan lainnya, Rasulullah bersabda, “…..Orang yang hidup sepeninggalku akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Hati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” Juga sabda beliau, “Barangsiapa yang di dalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak ada maka ia tertolak.” Dan sebagainya.

1. Pengertian Sunnah

Makna sunnah menurut dua istilah itu bukan yang dimaksud dalam pembicaraan mengenai makna Hadits Rasulullah saw. Sebab yang dimaksud “sunah” dalam hal itu adalah “Sunnah Rasul”, yakni jalan yang beliau tempuh, baik dalam bentuk amal perbuatan maupun perintah. Maka sesuatu yang baru diadakan (yang belum ada sebelumnya) harus dihadapkan, dipertimbangkan dan dinilai berdasarkan sunnah Rasulullah s.a.w. Jika yang baru diadakan itu baik, sesuai dan tidak bertentangan dengan jalan yang ditunjukkan beliau, ia dapat diterima. Namun jika sebaliknya, ia harus ditolak.

Syaikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidha’us Shirotil Mustaqim” mengatakan sebagai berikut, “Sunah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan Jahiliyah. Jadi kata “sunnah” dalam hal itu berarti “adat kebiasaan”, yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang yang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang lainnya.” Karena itu kita dapat memahami sunnah Rasulullah dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau, tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli ijtihad (Para shahabat, tabi’in dan para ulama’) dengan tetap berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tidak sepantasnya disebut sesuatu yang diada-adakan yang sesat (bid’ah dhalalah). Karena sunnah Rasulullah mancakup empat macam, yakni Sunnah Qauliyah (ucapan), Fi’liyah (kerjaan/tindakan), Taqriyah (pengakuan) dan Hammiyah (cita-cita/keinginan). Dan keempatnya sampai saat ini diikuti oleh umatnya.

2. Pengertian Bid’ah

Dalam kitab Al-Qawa’idul Kubra Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam memilah-milah “bid’ah” menurut kandungan dan cakupannya, apakah mengandung mashlahah (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), ataukah kosong dari keduanya. Atas dasar itu ia membagi sifat bid’ah menjadi lima sesuai dengan lima kaidah hukum syara’, yaitu Wajib, Mandub, Haram Makruh dan Mubah. Banyak ulama yang menilai pendapat ini sangat cermat dan tepat seperti pendapat Muhammad bin Ismail Al-Kahlani (Ash-Shon’ani) membagi bid’ah ada lima bagian dalam kitab Subulus Salam syarah kitab Bulughul Maram, Imam Nawawi dan lainnya. Mereka menyatakan bahwa penerapannya tentu menurut keperluan dalam menghadapi berbagai kejadian, peristiwa dan keadaan baru yang ditmbulkan oleh perkembangan masyarakat. Mereka mengingkari pemikiran dan pandangan yang obyektif seperti itu, dan tetap bersitegang mempertahankan pengertian keliru dan kurang bijak tentang “Kullu Bid’atin Dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat).

Jika anggapan bahwa setiap yang diada-adakan dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah itu sesat, ada baiknya memperhatikan sejarah al-Qur’an dan al-Hadits yang dibukukan dan bisa dirasakan manfa’atnya sampai saat ini adalah hasil dari yang diada-adakan (bid’ah), karena Rasulullah tidak pernah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk membukukan al-Qur’an atau menjadikannya mushhaf, juga melarangnya untuk tidak menulis apa yang pernah diucapkan dan dilakukannya (sunnah-sunnah Rasulullah).

Imam Bukhari, Muslim dan lainnya mentakhrij dari Rifa’ah bin Rafi’ berkaitan seseorang yang menyusul ucapan Rasul “Sami’allohu liman hamidah” waktu I’tidal dengan ucapan “Robbana lakal-hamdu katsiron mubarokan fiihi.” Selesai shalat Rasul tidak memarahi orang tersebut bahkan bersabda, “Aku melihat lebih dari tigapuluh Malaikat berpacu ingin mencatat do’a kamu itu lebih dulu.” Begitu juga ketika ada seorang jama’ah yang menambahkan do’a iftitah Rasul dengan kalimat “Allahu akbar kabiran wal-hamdu lillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashilan” beliau bersabda, “Aku melihat pintu-pintu langit terbuka bagi kalimat itu.” (HR. Nasa’i dari Ibnu Umar)

Ketika Rosululloh mendapat hadiah daging kelinci beliau menyuruh para shahabatnya untuk memakannya, juga kepada Umar bin Khaththab, namun Umar berkata bahwa ia sedang puasa, lalu Rasul bertanya, “puasa apakah itu?” Umar menjawab, “ puasa pada tanggal 13, 14 dan 15” Maka Rasul Bersabda, “Benar engkau umar, lakukanlah puasa pada hari yang putih bersih (yaum al-bidh) yaitu tanggal 13, 14 dan 15.” (HR. Baihaqi dari Umar bin Khaththab)

Contoh-contoh riwayat diatas adalah HAL BARU dalam agama (BID’AH) oleh para sahabat yang DILEGALKAN oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dimana sebelumnya tidak dicontohkan oleh beliau. Wallohu A’lam bish-Showab.

Semoga bermanfa’at untuk menambah wawasan dan kebersatuan umat islam. Aamiin….

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Sunday, 4 December 2011

PENIPUAN FIRANDA TERHADAP UMAT DAN KEDANGKALANNYA DI DALAM MEMAHAMI NASH HADITS DAN UCAPAN PARA ULAMA. BAG I



Firanda merasa bangga seolah telah menggapai cita-cita besarnya selama ini karena merasa telah berhasil mematahkan argumentasi Habib Mundzir terkait persoalan seputar kuburan. Merasa paling alim, paling pandai atas semua ucapan para ulama syafi’iyyah. Padahal argumentasinya penuh penipuan dan kedangkalan cara berpikirnya terhadap Hadits-Hadits Nabi Saw dan ucapan para ulama Ahlus sunnah.

Sebentar lagi kita akan ketahui penipuan firanda dan kedangkalan pikirannya terhadap Hadits-hadits Nabi Saw dan ucapan para ulama yang dia sebutkan dalam artikelnya tersebut dalam situsnya : http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187

Firanda berkata :

Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.

Jawaban :

Terlihat jelas kedangkalan Firanda di dalam memahami ucapan imam Baidhawi tersebut. Imam Baidhawi sama sekali tidak menghalalkan menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat peribadatan, karena sudah jelas nash hadits yang melarangnya :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.



Beliau memang mengharamkan menjadikan kuburan sebagai masjid yang di atasnya dibuat tempat ibadah dan sholat di atasnya.

Yang diperbicangkan oleh imam Baidhawi adalah di luar ancaman hadits tersebut yaitu menjadikan masjid di samping kuburan orang yang shalih, perhatikan ucapan beliau berikut :

قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا

لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه

Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya.

Catatan :

Beliau berpendapat tidak membolehkan dan haram menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan, yang mereka agungkan dengan bersujud pada kuburan dan menjadikan kuburan itu sebagai arah qiblat.

Dan lihatlah kelanjutan ucapan beliau tersebut berikut ini :

أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته .

والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

" Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya. Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “

Catatan :

Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.

Jelas sekali hal ini di luar dari ancaman hadits Nabi Saw di atas. Maka terbukti si firanda tidak pandai memahami ucapan imam Baidhawi ini. Dan telah berbohong pada umat atas ucapannya bahwa pendapat imam Baidhawi menyelisihi hadits.



Firanda juga berkata :

Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya orang-orang yang "hobi" memakmurkan kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab As-Syafii.

Jawaban :

Firanda memahami ucapan imam Baidhawi bertentangan dengan kesepakatan ulama besar madzhab syafi’I, sebab kebodohannya di dalam memahami ucapan imam Baidhwi tersebut dan para ulama lainnya.

Kita perhatikan berikut ini :

واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على كراهة بناء مسجد على القبر سواء كان الميت مشهورا بالصلاح أو غيره ، لعموم الأحاديث ، قال الشافعي والأصحاب : وتكره الصلاة إلى القبور ، سواء كان الميت صالحا أو غيره قال الحافظ أبو موسى : قال الإمام أبو الحسن الزعفراني رحمه الله : ولا يصلى إلى قبره ، ولا عنده تبركا به وإعظاما له للأحاديث ، والله أعلم

"Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) atas kemakruhan membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Asy-Syafii dan para Ash-haab berkata, " Dan dimakruhkan sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak". Al-Haafizh Abu Musa berkata, "Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za'farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A'lam".(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 5/289)

Catatan :



Jelas imam Syafi’I dan ulama syafi’iyyah hanya memakruhkan membangun masjid di atas kuburan baik kuburan orang sholeh atau bukan. Dan juga makruh sholat menghadap kuburan baik kuburan orang sholeh atau bukan. Namun lain persoalan jika sholat di samping kuburan orang sholeh, maka para ulama syafi’I sepakat dengan imam Baidhawi yaitu membolehkannya. Kecuali imam Abul Hasan az-Za’farooni.

Imam Baidhwai dan imam Syafi’I juga para ulama syafi’i sepakat bahwa MAKRUH (TANZIH) hukumnya sholat di pekuburan bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan masalah kenajisan tempatnya..

Simak kelanjutan ucapan imam Baidhawi berikut :

والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

“ Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “

Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil (menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.

Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap pekuburan. Beliau berkata :

وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة

“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.

Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan.

Pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitsami (ulama syafi’iyyah) :

وقال ابن حجر : أشار الشارح إلى استشكال الصلاة عند قبر إسماعيل ، بأنها تكره في المقبرة ، وأجاب : بأن محلها في مقبرة منبوشة لنجاستها ، وكله غفلة عن قولهم : يستثنى مقابر الأنبياء ، فلا يكره الصلاة فيها مطلقا ; لأنهم أحياء في قبورهم

Ibnu Hajar berkata “ Pensyarah berisyarat pada kemusykilan sholat di sisi kuburan Nabi Ismail bahwa makruh sholat dipekuburan. Dan beliau menjawabnya “ Letak kemakruhannya adalah di pekuburan yang tergali karena kenajisannya. Semua itu kelalaian dari ucapan mereka “ Dikecualikan (sholat) di pekuburan para nabi, maka tidaklah dimakruhkan sholat di dalamnya secara muthlaq sebab para nabi itu hidup di dalam kuburan mereka “.

Dan disebutkan pula dalam kitab Mirqatil mafatih syarh Misykatul Mashabih berikut :

وفي شرح السنة : اختلف في الصلاة في المقبرة فكرهها جماعة ، وإن كانت التربة طاهرة والمكان طيبا ، واحتجوا بهذا الحديث والذي بعده ، وقيل : بجوازها فيها ، وتأويل الحديث أن الغالب من حال المقبرة اختلاط تربتها بصديد الموتى ولحومها ، والنهي لنجاسة المكان ، فإن كان المكان طاهرا فلا بأس ، وكذلك المزبلة والمجزرة وقارعة الطريق ، وفي القارعة معنى آخر ، وهو أن اختلاف المارة يشغله عن الصلاة ، قال ابن حجر : وقد صح أنه عليه الصلاة والسلام نهى عن الصلاة بالمقبرة ، واختلفوا في هذا النهي هل هو للتنزيه أو للتحريم ؟ ومذهبنا الأول ، ومذهب أحمد التحريم

“ Di dalam syarh sunnah “ para ulama berbeda pendapat tentang hokum sholat dipekuburan, maka sebagian kelompok ulama memakruhkannya, walaupun tanahnya suci dan tempatnya baik, mereka berhujjah dengan hadits tersebut dan hadits setelahnya. Ada juga pendapat (qila) Boleh (tidak makruh) sholat di pekuburan dan menakwilkan hadits bahwa umumnya kedaan pekuburan itu bercampurnya tanah dengan nanah dan daging si mayat sedangkan larangan itu karena kenajisan tempatnya, jika tempatnya suci maka tidklah mengapa (sholat di dalamnya). Demikian juga tempat pembuangan sampah, penjagalan dan tempat jalan manusia, dan khusus tempat jalan ada alasan lainnya yaitu lalu lalangnya orang yang lewat dapat mengganggu kekhusyu’an sholat. Ibnu Hajar berkata “ Sungguh telah shahih bahwasanya Nabi Saw melarang sholat di pekuburan, namun para ulama berbeda pendapat dalam sifat pelarangannya, apakah larangannya bersifat tanzih (makruh tanzih) atau tahrim (makruh tahrim) ? Madzhab kami (madzhab syafi’i) adalah memilih yang pertama (yaitu MAKRUH TANZIH) sedangkan madzhab imam Ahmad memilih makruh tahrim “.

Imam Ibnu hajar menegaskan pada kita bahwa madzhab syafi’I menghukumi makruh tanzih sholat di pekuburan dan cukuplah beliau mewakili pendapat para ulama syafi’iyyah dalam kemakruhan (tanzih) sholat dipekuburan.

Imam Al-Qoori juga berkata masih dalam kitab Mirqah tersebut :

وقيد " عليها " يفيد أن اتخاذ المساجد بجنبها لا بأس به ، ويدل عليه قوله عليه السلام : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد

“ Nabi menggunakan kalimat ‘alaiha (di atas) memberikan faedah bahwa menjadikan masjid di sampingnya tidaklah mengapa. Dan menunjukkan atas yang demikian itu sabdanya Nabi Saw : Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid “.

Pendapat imam Syarbini (ulama syafi’iyyah) :

و قال العلامة الشربيني : والمقبرة (أي تكره) بتثليث الباء (الطاهرة) لغير الأنبياء صلى الله عليهم وسلم بأن لم يتحقق نبشها أو تحقق وفرش عليها حائل. (والله أعلم) للخبر السابق مع خبر مسلم {لا تتخذوا القبور مساجد} أي أنهاكم عن ذلك وصح خبر {لا تجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها} وعلته محاذاته للنجاسة سواء ما تحته أو أمامه أو بجانبه نص عليه في الأم ومن ثم لم تفترق الكراهة بين المنبوشة بحائل وغيرها ولا بين المقبرة القديمة والجديدة بأن دفن فيها أول ميت بل لو دفن ميت بمسجد كان كذلك , وتنتفي الكراهة حيث لا محاذاة وإن كان فيها لبعد الموتى عنه عرفا أما مقبرة الأنبياء فلا تكره الصلاة فيها لأنهم أحياء في قبورهم يصلون فلا نجاسة.

اهـ

Al-Allamah Asy-Syarbini berkata “ Dan pekuburan yang suci maksudnya makruh sholat di dalamnya, selain pekuburan para nabi sekiranya bongkaran kuburannya tidak nyata atau terbongkar namun dibebrkan penghalang di atasnya. Wallahu a’lam karena ada hadits yang berlalu dan bersama hadits riwayat Muslim berikut “ Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid “ artinya aku melarang kalian tas yang demikian itu. Dan juga ada hadits shahih “ Janganlah duduk di atas kubura dan jangn pula sholat menghadapnya. Illat (sebab pelarangan) adalah karena SEJAJAR DENGAN NAJIS baik apa yang ada di bawahnya, depan atau sampingnya, hal ini telah di tetapkan dalam kitab al-Umm (karya imam Syafi’i). dari sanalah kemakruhan tidak berbeda bai antara kuburan yang terbongkar, dengan penghalang atau pun tidak, juga antara kuburan yang lama maupun kuburan yang baru sekiranya dikubura mayat pertama kali bahkan seandainya mayat dikubur di dalam masjid maka juga demikian hukumnya.

Dan menjadi hilang hukum kemakruhannya jika tidak sejajar dengan najis walaupun berada di dalam pekuburan, karena jauhnya dari orang-orang yang mati secara umum. Adapun pekuburan para nabi maka tidaklah makruh sholat di dalamnya karena mereka hidup di dalam kuburannya dan sholat, maka tidaklah menjadi najis “.

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya berkata :

وممن كره الصلاة في المقبرة سواء كانت لمسلمين أو مشركين الثوري وأبو حنيفة والأوزاعي والشافعي وأصحابهم وعند الثوري لا يعيد وعند الشافعي أجزأه إذا صلى في المقبرة في موضع ليس فيه نجاسة للأحاديث المعلومة في ذلك ولحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال صلوا في بيوتكم ولاتتخذوها قبورا ولحديث أبي مرثد الغنوي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لا تصلوا إلى القبور ولاتجلسوا عليها وهذان حديثان ثابتان من جهة الإسناد ولاحجة فيهما لأنهما محتملان للتأويل ولايجب أن يمتنع من الصلاة في كل موضع طاهر إلا بدليل لا يحتمل )ج 10 ص 48-51(

“ Di antara ulama yang memakruhkan sholat di pekuburan baik kuburan muslimin atau musyrikin adalah imam Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, al-Awza’I, imam Syafi’I dan para ulama syafi’iyyahnya. Menurut imam Sufyan ats-Tsauri tidak perlu mengulangi lagi (sholatnya yang dilakukan di pekuburan). Menurut imam Syafi’i boleh sholat di pekuburan jika di tempat yang tidak ada najisnya Karena hadits-hadits yang telah diketahui dalam hal ini dank arena hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “ Sholatlah di rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Juga karena ada hadits riwayat Abi Martsad al-Ghonawi dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda “ Janglah kalian sholat menghadap kuburan dan jangan duduk di atasnya. Dua hadits ini stabit dari sisi isnadnya dan tidak bisa diuat hujjah kedua hadits tsb karena mengandung kemungkinan adanya takwil dan tidak wajib melarang sholat di setiap tempat yang suci kecuali dengan dalil yang tidak mengandung takwil “.

Sekarang kita simak pendapat imam Syafi’I sendiri dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman : 92 berikut ini :

والمقبرة الموضع الذي يقبر فيه العامة ؛ وذلك كما وصفت مختلطة التراب بالموتى ، وأما صحراء لم يقبر فيها قط ، قبر فيها قوم مات لهم ميت ، ثم لم يحرك القبر فلو صلى رجل إلى جانب ذلك القبر أو فوقه ، كرهته له ولم آمره يعيد ؛ لأن العلم يحيط بأن التراب طاهر ،

لم يختلط فيه شيء ، وكذلك لو قبر فيه ميتان أو موتى "

“ Dan pekuburan adalah tempat pengkuburan untuk umum. Demkian itu sebagaimana aku telah sifatkan yaitu bercampur dengan mayat-mayat. Adapun padang sahara, tidak ada satupun kuburan di dalamnya yang jika satu kaum kematian seseorang, kemudian tidak diaduk kuburan tersebut, maka seandainya ia sholat di samping kuburan tersebut atau di atasnya, maka aku menghukuminya makruh dan aku tidak memerintahkannya untuk mengulangi sholatnya, karena diketahui benar bahwa tanah itu suci tidak bercampur sedikitpun dengan sesuatu, demikian juga seandainya dikuburkan dua atau beberapa mayat di dalamnya “.

Catatan :

Cukup jelas nash imam Syafi’I tersebut memberikan faedah bahwa pekuburan yang tergali adalah najis dan tidak sah sholat di dalamnya. Adapun pekuburan yang tidak tergali, maka hukumnya suci dan sholat di dalamnya hukumnya sah. Demikian juga beliau imam Syafi’I mengembalikan illatnya (sebab pelarangan) pada dikhawatirkannya najis, jika najisnya hilang, maka hilanglah hokum kemakruhannya.



Firanda berkata :

Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik yang sholat di dekat kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak sedang mencari barokah dikuburan. Namun demikian ia tetap ditegur oleh Umar bin Al-Khottoob radhiallahu 'anhu.

Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir –yang telah menukil dan sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi ini- untuk mendatangkan dalil yang mengkhususkan dalil-dalil umum dan mutlak larangan sholat di kuburan…!!! Karena sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fikih jika datang dalil secara umum dan mutlak lantas tidak ada dalil yang mengkhususkannya atau mentaqyidnya maka dalil tersebut tetap pada keumuman dan kemutlakannya.

Jawabanya :

Justru atsar tersebut menjelaskan kebolehan sholat di samping kuburan, karena saat itu Anas bin Malik sholat menghadap kuburan, lalu ketika Umar bin Khoththob menegurnya, maka Anas bin Malik melangkahi kuburan tersebut dan tetap melanjutkan sholatnya tanpa mengulangi sholatnya lagi dan bahkan Umar bin Khoththob pun tidak memerintahkannya utk mengulangi sholatnya.

Oleh karena itu imam Ibnu Hajar mengomentari atsar tersebut setelah menukilnya sebagai berikut :

وَقَوْلُهُ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ اسْتَنْبَطَهُ مِنْ تَمَادِي أَنَسٍ عَلَى الصَّلَاةِ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ يَقْتَضِي فَسَادَهَا لَقَطَعَهَا وَاسْتَأْنَفَ

Dan perkataanya “Dan tidak menyuruhnya mengulangi (shalat)” merupakan istinbath dari meneruskannya Anas akan shalat. Andaikan yang demikian itu merusak shalatnya, tentu diputus shalatnya dan mengulanginya dari semula. [Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379]

Dan rupanya firanda tak paham kaidah ushul fiqih berikut ini :

النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ مِنَ الْعِبادَاتِ اَوِ اْلمُعًامًلاتِ

“ Pelarangan menunjukkan atas rusaknya perbuatan yang dilarang baik berupa perkara ibadah atau pun mu’amalah “.

Misalnya : Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas, maka jika sholat tetap dilakukan, maka sholatnya rusak.

Nah jika hadits sholat menghadap kuburan atau sholat di sisi kuburan sebuah larangan keharaman, maka sudah pasti kaidahnya sholat itu rusak dan batal. Tapi sahabat Anas bin Malik tidak mengulangi sholatnya, itu artinya sholat beliau sah dan tidak rusak.



Sumber : Ibnu Alkatiby

BACA SELENGKAPNYA>>>>
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...