Thursday, 20 May 2010

Bila Akhirat Menjauhi Kita

akhirat, kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjangnya rumah peenghabisan, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayaran kekurangan orang-orang yang berbuat curang.

Nun disana, kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi akhirat bukan sekedar tempat berkesudahan yang terpaksa. Atau tempat pembuangan segala isi alam semesta. Ya pada ketetapan Allah, takdir dan kuasa-Nya, tak ada yang biasa lari dari akhirat. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, akhirat juga tempat menggantungkan cita-scita, harapan dan puncak kebahagiaan abadi. Tetapi bagi orang yang bergelimanyg dosa, bergelumul dengan syetan dan hawa nafsu, akhirat adalah tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak kuasa terbawa arus. Melaju, disana sampah itu mengalir. Lalu terhenti seketika. Menebus segala kotorannya. Dengan cara yang sangat mengerikan. Ia mungkin dahulu mengatakan, seperti yang diabadikan Al-qur’an “ Dan tentu mereka akn mengatakan (pula): hidup adalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekalikali tidak akan dibangkitkan” (Q.S Al-An’aam : 29). Manusia sampah punya akhirnya sendiri di kampong akhirat sana. Akhiran sebagai sampah, atau bahkan lebih nista dari sampah. Suasananya sangat mengharukan. “ dan jika kamu(Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, kiranya kami dikebalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami serta menjadi orang-orang yang beriman, tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan.” (Al-an’aam: 27)

Akhirat jauh dan dekatnya sangat tergantung pada cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergatung bagaimana kita berjalan menuju ke sana.

Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang pasti. Akhirat yang sering terlupakan, ia mestinya hadir di setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tegambarkan.

Ia dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata bilapun sering dirasa sebatas cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bias menyerang tiba-tiba, tetapi betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.

Akhirat seperti sahabat sejati ia akan terus melambai, bila kita masih jujur kepadanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang mukmin yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya.

Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan melelahkan, bertanya tentang kampong akhirat yang abadi adalah keniscayaan di tengah gemerlapnya hidup yang memacu peradaban materinya, bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian… Apa kabar akhirat???

Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita sendiri? Masihkh kita mengejar akhirat?

Disini segalanya tersa sangat adil. Bila kita menjauh, akhirat pun akan menjauh kita. Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita mendekat akhiratpun akan mendekat.

Kita mesti bersyukur, disisi yang lain, betapa dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, dilubuk hati yang paling dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala suasana jiwa, gambaran pikiran bahkan pilihan selera.

Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kta adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.

Kadar spiritualitas ruhani kita, adalah tambatan- tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesesi-obsesi kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakan di muka, tetang akhirat kita kokoh atu lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari kebaikan-kebaikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan Allah, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.

Ahkirat, sahabat sejati itu masih manyisakan kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini, disini. Saat kita masih seperti ini.

Jadi, cermin itu ada disini, bersma diri kita sendiri, bersama kadar iman kita, ditengah kadar pasang surutnya. Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.

Segala yang hidup punya pertanda. Begitupu akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda. Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat menjauh atau mendekat.

Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan gapain prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, mewnjauh atau mendekati.

Pada semua itu, mari kita bertanya, sejujurnya.

Artikel Terkait

Comments
2 Comments

2 comments:

Beauty Flash said...

subhanallah..apakah ini benar2 asli hasil tulisan seorang siswa santri sekolah SMA Salman?? Tata bahasa tulisannya sangat tersusun dengan rapi dengan tata bahasa yg sangat baik. Seperti tulisan seseorang yg memang sudah sangat pandai menulis...

alangkah bahagianya bunda mu melihat mu ananda..
semoga engkau di mudahkan segala urusan mu dunia dan akhirat

Hamdan Khan said...

amiiiiiiiiin ya Robb

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...