Sunday, 30 May 2010
Mencintai Itu Keputusan
Saturday, 29 May 2010
Tiga Sungai Penghapus Dosa
“ Allah SWT telah membuat tiga sungai untuk membersihkan tubuh orang-orang berdosa. Jika ketiga sungai itu belum cukup maka Allah akan membersihkannya di sungai jahannam. Ketiga sungai itu adalah; pertama, sungai taubatan nasuha; yaitu melepaskan segala perbuatan dosa dan berjanji tidak akan mengulnginya lagi. Kedua, sungai hasanaat; yaitu kebaikan-kebaikan yang akan mengubur semua bentuk keburukan. Dan ketiga, sungai mushibah ‘adziimah; yaitu bencana atau ujian yang besar yang akan melebur setiap dosa. Apabila Allah menghendakikebaikan kepada seorang hamba-Nya Ia akan memasukannya kedalam salah satu sungai tersebut sehingga ia akan dating kepada-Nya di harikiamat dengan tubuh yang suci dan bersih dan tidak perlu dimandikan di sungai yang ke empat (sungai jahannam) (Ibnulqoyyim Aljauziyah)..
BACA SELENGKAPNYA>>>>Apa Sih Hubungan Niat dan Amal ???
Mungkin sudah nggak asing lagi bagi brothers n sisters (ada gitu sister?) tentang hadits yang menjelaskan tentang keutamaan dan pentingnya niat dalam setiap amal ( ya iya laah
Begitupun kita-kita ini sebagai pelajar yang budiman (cieee!!) kita jangan mau dan sudi amal soleh kita, belajar kita jadi sia-sia alias di tolak bin nggak diterima oleh Allah. Loh koq bisa amal soleh nggak diterima ? oooh tentu karena amalan yang dikerjakan seorang tidak semuanya diterima dan dibalas dengan pahala, adapula amalan yang ditolak dan bahkkan nanti di akhirat pahalanya entah kemana, ia tak mendapatkan pahalanya (duh rugi bangeeet!!) Siapa coba orang yang merugi kayak gitu???? Ya dialah orang yang mengerjakan amal sholeh karena ria (pamer n ingin dipuji). Bro….. ria adalah suatu yang berbahaya (very-very danger) bahkan Rasulullah menyatakan bahwa ria adalah syirkul ashgor dan termasuk dosa dan bisa menyebabkan si pelaku masuk neraka (wuiiih ngeri juga !!!) Rasulullah saw bersabda:
“ Banyak orang yang berpuasa dan ia tak mendapatkan apaapa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” Yakni jika dia mengerjakan amal bukan karena Allah maka ia tidak akan mendapatkan pahala puasanya.
Para Hukama (ahli hikmah) ngibaratin orang yang beramal sholeh/ketaatan karena ria dan sum’ah adalah seperti orang yang pergi ke pasar dan memenuhi kantongnya dengan kerikil, kemudian orang-orang memujinya” Busyeet banyak banget pulus loe…..! mantap..” manfaat apa yang ia peroleh?? Sungguh nggak ada manfaat yang ia peroleh kecuali pujian dan sanjungan dari orang-orang, dan ketika ia ingin membeli sesuatu, tentu ia tidak bisa mendapatkan barang yang ia inginkan, begitupun orang yang beramal karena ria (pamer n ingin dipuji) maka ia tak memperoleh manfaat kecuali pujian dan sanjungan dari manusia dan baginya tak ada pahala di akhirat. Allah swt berfirnan:
1. Malas-malasan ketika ia sendiri
2. Rajin ketika banyak orang di sekelilingnya
3. Ketika mendapatkan pujian amalannya menjadi meningkat
4. Ketika dicela amalanya menjadi menurun
Truzz bagaimana donk supaya amal sholeh kita diterima Allah SWT dan kita mendapatkan pahalanya ??. ada sebuah mau’udzoh (nasihat) yang bagus dari seorang ulama jadul (salaf) Syaqiq bin Ibrohim ia menuturkan: ada 3 perkara yang akan menjadi benteng amal (penjagaan dari ria dll)
1. Ketahuilah bahwa amal shileh yang kita lakukan itu adalah taufiq dari Allah, kalo bukan karena taufiqn-Nya, tentu kita tidak mampu untuk mengerjakan amal sholeh tersebut.
2. Hendaklah dalam mengejakan amal tersebut karena mengharapkan ridho Allah, jika amalan yang akan kita kerjakan diridhoi Allah maka kita kerjakan jika Allah tidak risho, maka kita tinggalkan.
3. Hendaklah dalam mengerjakan amal itu karena menuntut pahala dari Allah SWT,dalam artian amal itu ikhlas (murni) karena Allah SWT.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya sehingga kita senatiasa dapat beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas, amiin.
Nb: Taufiq adalah bantuan dari Allah kepada seorang hamba sehingga hamba tersebut mampu mengerjakan ketaatan kepada Allah.
Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah
Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pengukhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialahtakhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'isendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib(penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.
Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)
Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah.Al-Bayanul Qowim, hal.28)
Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman
Hukum Menggerak-gerakkan Jari dalam Shalat
Berikut ini diketengahkan ulasan lain tentang menggerakkan telunjuk pada saat tahiyat, seperti yang pernah dibahas sebelumnya. (redaksi)
Jika kita perhatikan, saat duduk tasyahhud dalam shalat memang tidak semua orang menggerakkan jari telunjuk dengan cara yang sama. Ini semata-mata karena perbedaan ulama dalam memahami hadits. Perbedaan ini terjadi sejak zaman tabi’in dan ulama mazhab. Perbedaan ini tidak menyebabkan tidak sahnya shalat dan tidak pula menyebabkan kesesatan, karena perbedaannya dalam hal furu’iyah yang masing-masing mempunyai dalil hadits Rasulullah SAW.
Adapun hadits yang dipahami berbeda-beda oleh ulama adalah hadits Rasulullah saw.:
عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم اِذَاَ قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلىَ رُكْبَتِهِ وَاليُمْنَى عَلىَ اليُمْنىَ, وَعَقَدَ ثَلاَثاً وَخَمْسِيْنَ وَأَشَارَ بِإِصْبِعِهِ السَّباَبَةِ --رواه مسلم
Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW jika duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan membentuk angka “lima puluh tiga”, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya” (HR Muslim).
Yang dimaksud dengan “membentuk angka
Adapun penyebab terjadinya perbedaan ulama tentang cara isyarah dengan jari telunjuk saat tasyahhud apakah digerakkan atau diam saja dan kapan waktunya adalah karena ada hadits yang sama denga di atas dengan tambahan teks (matan) dari riwayat lain, yaitu hadits yang diceritakan dari Sahabat Wail RA:
ثُمَّ رَفَعَ اصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهاَ يَدْعُوْ --رواه أحمد
”..... Kemudian beliau mengangkat jarinya sehingga aku melihatnya beliau menggerak-gerakkanya sambil membaca doa.” (HR: Ahmad).
Sedangkan hadits yang diriwayatk dari Ibn Zubair RA:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ يَشِيْرُ بِإِصْبِعِهِ إِذَاَ دَعَا لاَ يُحَرِّكُهَا --رواه أبو داود والنسائي
“Bahwa Nabi SAW memberi isyarat (menunjuk) dengan jarinya jika dia berdoa dan tidak menggerakkannya. (HR Abu Daud dan Al Nasai)
Dari Hadits tersebut Imam Mazhab fiqh sepakat bahwa meletakkan dua tangan di atas kedua lutut pada saat tasyahhud hukumnya adalah sunnah. Namun juga para imam mazhab berbeda pendapat dalam hal menggenggam jari-jari dan berisyarat dengan jari telunjuk (Alawi Abbas al Maliki, Ibanahtul Ahkam, Syarh
1. Menurut ulama mazhab Hanafi, mengangkat jari telunjuk dilakukan pada saat membaca lafadz “Laa Ilaaha”, kemudian meletakkannya kembali pada saat membaca lafadz “illallah” untuk menunjukan bahwa mengakat jari telunjuk itu menegaskan tidak ada Tuhan dan meletakkan jari telunjuk itu menetapkan ke-Esa-an Allah. Artinya, mengangkat jari artinya tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan meletakkan jari telunjuk untuk menetapkan ke-Esa-an Allah.
2. Menurut ulama mazhab Maliki, pada saat Tasyahhud tangan kanan semua jari digenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari di bawahnya lepas. kemudian menggerak-gerakkan secara seimbang jari telunjuk ke kanan dan ke kiri
3. Menurut ulama mazhab Syafi’i, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah. Kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk sekali saja saat kalimat “illallah” (الا الله) diucapkan:
4.Menurut mazhab Hambali, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah dengan ibu jari. kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk saat kalimat “Allah” ( الله) diucapkan ketika tasyahhud dan doa
5. Pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud.
Imam al-Baihaqi menyatakan:
وَقَالَ البَيْهَقِيْ: يَحْتملُ أَنْ يَكُوْنَ مُرَادُهُ بِالتَحْرِيْكِ الإِشَارَةُ حَتَّى لاَيُعَارِضَ حَدِيْثَ ابْنِ الزُبَيْر
Kemungkinan maksud hadits yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan saat tasyahhud adalah isyarat (menunjuk), bukan mengulang-ulang gerakkannya, agar tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair yang menyatakan tidak digerakkannya jari telunjuk tersebut. Hikmah memberi isyarah dengan satu jari telunjuk ialah untuk menunjukkan ke-Esa-an Allah dan karena jari telunjuk yang menyambung ke hati sehingga lebih mendatangkan kekhusyu’an.
H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Bedah Kitab Tanwirul Qulub
Thursday, 27 May 2010
SMA SALMAN Cirebon
Organizing Education with an integral and comprehensive curriculum designed specifically to educative and innovative students to form a noble, intelligent, and independent character,,,
Di sekolah inilah saya menempuh pendidikan sma, dengan full beasiswa, biaya sekolah, asrama, makan dan sebagainya ditanggung oleh sekolah dan saya tidak mengeluarkan biaya sedikitpun untuk itu sedikitpun, alhamdulillah.
semoga berkah dan mendapatkan ridho dari Allah SWT. kabar terakhir bahwa sekolah ini sekarang berubah nama jadi MA SALMAN karena sekolah kita menginduk ke MAN 1 Cirebon, awalnya ingin mendirikan SMA namun karena sulitnya administrasi dalam pembuatan izin ke depdiknas maka jalan terakhir adalah merubahnya menjadi MA.
Thursday, 20 May 2010
Bila Akhirat Menjauhi Kita
akhirat, kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjangnya rumah peenghabisan, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayaran kekurangan orang-orang yang berbuat curang.
Nun disana, kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi akhirat bukan sekedar tempat berkesudahan yang terpaksa. Atau tempat pembuangan segala isi alam semesta. Ya pada ketetapan Allah, takdir dan kuasa-Nya, tak ada yang biasa lari dari akhirat. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, akhirat juga tempat menggantungkan cita-scita, harapan dan puncak kebahagiaan abadi. Tetapi bagi orang yang bergelimanyg dosa, bergelumul dengan syetan dan hawa nafsu, akhirat adalah tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak kuasa terbawa arus. Melaju, disana sampah itu mengalir. Lalu terhenti seketika. Menebus segala kotorannya. Dengan cara yang sangat mengerikan. Ia mungkin dahulu mengatakan, seperti yang diabadikan Al-qur’an “ Dan tentu mereka akn mengatakan (pula): hidup adalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekalikali tidak akan dibangkitkan” (Q.S Al-An’aam : 29). Manusia sampah punya akhirnya sendiri di kampong akhirat
Akhirat jauh dan dekatnya sangat tergantung pada cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergatung bagaimana kita berjalan menuju ke
Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang pasti. Akhirat yang sering terlupakan, ia mestinya hadir di setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tegambarkan.
Ia dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata bilapun sering dirasa sebatas cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bias menyerang tiba-tiba, tetapi betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.
Akhirat seperti sahabat sejati ia akan terus melambai, bila kita masih jujur kepadanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang mukmin yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya.
Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan melelahkan, bertanya tentang kampong akhirat yang abadi adalah keniscayaan di tengah gemerlapnya hidup yang memacu peradaban materinya, bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian… Apa kabar akhirat???
Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita sendiri? Masihkh kita mengejar akhirat?
Disini segalanya tersa sangat adil. Bila kita menjauh, akhirat pun akan menjauh kita. Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita mendekat akhiratpun akan mendekat.
Kita mesti bersyukur, disisi yang lain, betapa dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, dilubuk hati yang paling dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala suasana jiwa, gambaran pikiran bahkan pilihan selera.
Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kta adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.
Kadar spiritualitas ruhani kita, adalah tambatan- tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesesi-obsesi kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakan di muka, tetang akhirat kita kokoh atu lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari kebaikan-kebaikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan Allah, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.
Ahkirat, sahabat sejati itu masih manyisakan kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini, disini. Saat kita masih seperti ini.
Jadi, cermin itu ada disini, bersma diri kita sendiri, bersama kadar iman kita, ditengah kadar pasang surutnya. Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.
Segala yang hidup punya pertanda. Begitupu akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda. Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat menjauh atau mendekat.
Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan gapain prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, mewnjauh atau mendekati.
Pada semua itu, mari kita bertanya, sejujurnya.
BACA SELENGKAPNYA>>>>
Monday, 17 May 2010
Makna Kata "Santri"
Mencintai Keluarga dan Sahabat Nabi
Dalam kitab: 'Alimu Awladakum Mahabbata Ahli Baitin Nabiy dijelaskan bahwa yang tergolong ahlul-bait adalah Sayyidatuna Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyinina Husain radhiyallahu 'anhum.
Begitu pula istri-istri Nabi merupakan keluarga Nabi berdasarkan keumuman ayat Al-Qur'an, serta manthuq (arti tersurat) hadits yang menerangkan tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi, istri dan keluarga beliau. Yakni firman Allah SWT “Nabi itu lebih utama bagi orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan Istri-istri Nabi adalah ibu mereka.” (QS. al-Ahzab: 6)
Sedangkan sahabat Nabi adalah orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup walaupun sebentar, dalam keadaan beriman dan mati dengan tetap membawa iman. (Al-Asalib al-Badi'ah, hal 457).
Dalam keyakinan kita Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW, sekaligus memberikan penghormatan khusus kepada mereka merupakan suatu keharusan. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut.
Pertama, mereka adalah generasi terbaik Islam, menjadi saksi mata dan pelaku perjuangan Islam. Bersama Rasulullah SAW menegakkan agama Allah SWT di muka bumi. Mengorbankan harta bahkan nyawa untuk kejayaan Islam. Allah SWT meridhai mereka serta menjanjikan kebahagiaan di surga yang kekal dan abadi Firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kemu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilanghkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS al-Ahzab: 33)
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
”Orang-orang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah : 100)
Kedua, Rasulullah SAW sangat mencintai keluarga dan sahabatnya. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah selalu memuji para keluarga dan sahabatnya, melarang umatnya untuk menghina mereka. Beliau bersabda
عن أبي سَعِيْد الخُذْرِي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أهْلُ بَيْتِيْ. رواه الترمذي
Dari Abi Said al-Khudri ia berkata, Rasululla SAW bersabda, ”Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah Al-Qur’an dan keluargaku.” (HR at-Tirmidzi)
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَا تَسُبُّوْا أصْحَابِي لَا تَسُبُّوْا أصْحَابِي فَوَ الّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أنَّ أحَدَكُمْ أنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أدْرَكَ مُدَّ أحَدِهِمْ وَلَا تَصِيْفَه.ُ رواه مسلم
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian mencaci sahabatku! Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu diantara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka.” (HR Muslim).
Dari sinilah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi adalah mengikuti teladan Rasulullah SAW yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mencintai Nabi SAW.
Ketiga, tuntunan dan teladan ini juga diberikan oleh keluarga dan sahabat Rasul sendiri. Di antara mereka terdapat rasa cinta yang mendalam, antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati. Hal ini dibuktikan dari ungkapan-ungkapan mereka:
1. Dari Aisyah RA, Abu Bakar berkata, “Sungguh kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai daripada kerabatku sendiri." (HR. al-Bukhari)
2. Dari Ibnu Umar RA dari Abi Bakar RA, beliau berkata, “Perhatikanlah Nabi Muhammad SAW pada ahlul-baitnya." (HR al-Bukhari).
3. Dari Wahab al-Suwa'i, ia berkata, “Sayyidina Ali pernah berkhutbah kepada kami. Beliau bertanya , 'Siapa orang yang paling mulia setelah Nabi Muhammad SAW?' Aku menjawab, 'Engkau wahai Amirul Mukminin.' Sayyidina Ali berkomentar, 'Tidak, hamba yang paling mulia setelah nabi-Nya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.'" (As-Syafi Juz II hal 428).
4. Ketika sahabat Umar dimandikan dan dikafani Sayyidina Ali masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar). " (Ma'ani al-Akhbar, hal 117)
5. Dari 33 putra Sayyidina Ali tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan dua dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini tentu soja dipilih dari nama orang-orang yang metjadi idolanya, dan tidak mungkin diambil dari nama musuhnya. (Al-Hujaj al-Qathiyyah, hal 195).
6. Bagi Ahlussunnah Sayyidina Ali adalah seorang imam yang mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali adalah seorang pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut Sebagai pemimpin pasukan, di antara sekian banyak peperanngan yang dilakukan pada zaman Rasul SAW, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak mungkin beliau bersikap penakut dan pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya.
lnilah beberapa alasan yang melandasi keharusan mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW. Sudah tentu kecintaan dan penghormatan yang diberikan adalah secara berimbang. Tetap berpedoman pada prinsip tawassuth, tawazun dan i'tidal, jauh dari fanatisme buta.
KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nuris, penulis kitab Al-Hujaj al-Qatiyyah fi Shihhatil Mu’taqidat wal ‘Amaliyyat an-Nahdliyyah, Ketua PCNU Jember
Tawassul dengan para Sahabat dan Shalihin
Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW bertawassul supaya Umar jangan lupa untuk menyertakan Rasulullah dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah.
عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى
“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil tawassul, namun kiranya cukup apa yang telah disebutkan di atas.
Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.
Sandaran lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِْبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ: الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ: فَيُسْقَوْنَ. رواه البخارى
“Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)
Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti disebutkan berikut ini:
لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ مَنَعْتَ
“Tiada ada yang mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ
“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”
Dalam kitab Al-Kabir wal Awsath Al-Imam Thabrani meriwayatkan sejarah Fathimah binti Asad Ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika wafat, Rasulullah SAW yang menggali kuburan dan membuang tanahnya dengan tangan beliau. Maka tatkala selesai, Rasulullah masuk ke kubur tadi dan berbaring sambil berdo’a :
اَللهُ الَّذِى يحُىِْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأُِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ
“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR Thabrani).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari shahabat Anas. Lalu, diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dari shahabat Jabir, dan diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr dari shahbat Ibnu Abbas.
Dengan demikian, bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Lalu, bertawassul bukan berarti meminta kepada yang dijadikan wasilah, tetapi memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya. Selanjutnya, bertawassul dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Bertawassul dengan Orang yang Sudah Mati
Kembali pada keyakinan kita, bahwa ketika seseorang mati maka yang rusak dan hancul adalah badannya atau jasadnya, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Sebab, mereka itu berada di alam barzah. Mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih Muslim juz II disebutkan;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: اِذَامَاتَ اْلاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مَنْ ثَلاَثٍ اِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَاِلحٍ يَدْعُوْلَهُ.
“Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.” (HR Muslim)
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa’i juz VI. Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo’akan orang yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang.
Adanya salam yang disampaikan Rasulullah SAW setiap melewati kubur, menunjukkan bahwa ahli kubur menjawab salam yang kita ucapkan. Dalam riwayat Imam Tirmidzi dalam Sunannya, juz III, Rasulullah SAW bersabda;
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَاأَهْلَ اْلقُبُوْرِ يَغْفِرُاللهُ لَنَا وَلَكُمْ وَأَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِاْلأَثَرِ
“Keselamatan atas engkau wahai ahli kubur, mudah-mudahan Allah mengampuni kami dan mengampuni kalian, kalian pendahulu kami dan kami mengikuti jejak kalian.” (HR Tirmidzi)
Tentu salam Rasulullah SAW dijawab oleh ahli kubur dan juga salam kita dijawab; "Mudah-mudahan keselamatan bagi engkau wahai orang yang masih hidup di dunia." Adapun do’a ahli kubur kepada kita diterima atau tidak, itu adalah urusan Allah.
Mendo’akan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo’akan kepada yang berdo’a agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo’a maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo’a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.
Bertawassul dengan ahli kubur artinya agar ahli kubur bersama-sama dengan pendo’a memohon kepada Allah. Seperti ketika berdiri di depan kuburan Rasulullah SAW mengucapkan salam. Di beberapa hadits, Rasulullah menjawab salam orang yang menyampaikan salam kepada beliau.
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ
Bisa diambil pengertian bahwa Rasulullah SAW di dalam kubur juga mendo’akan para pemberi salam atau yang bertawassul.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Mengapa Bertawassul?
Wasilah (=perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :
يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah/perantara)."
Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.
Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya:
لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ
Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.
Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.
Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.
Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?
Seorang pembaca NU Online menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di
Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan
Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU