Cinta dan motivasi jelas memiliki hubungan yang erat.Cinta adalah motivasi yang paling kuat. Cinta adalah penggerak hati, pikiran, dan tindakan. Seseorang akan merasa tergerak hatinya saat sesuatu yang dicintainya disebutkan. Cinta menggerakan pecinta untuk mencari yang dicintainya.
Objek cinta itu begitu banyak. Mereka adalah ujian bagi kita semua. Cinta terhadap lawan jenis, cinta terhadap keluarga, cinta terhadap harta benda, cinta terhadap tanah air, dan cinta terhadap hal-hal lainnya.
Namun tahukah bagi Anda, bahwa cinta itu adalah tawanan?
Cinta Itu Adalah Tawanan
Apa yang dimaksud bahwa cinta itu adalah tawanan? Siapa yang ditawan? Cinta menawan hati. Sebab hati akan tunduk demi mengejar apa yang dicintainya. Banyak sekali orang yang rela melakukan apa pun demi yang dicintainya. “Gunung kan kudaki, lautan akan kusebrangi.” begitu kata syair yang menggambarkan bagaimana hati tertawan oleh cintanya kepada kepada seorang gadis pujaan. Lihatlah… banyak orang yang melakukan segala cara untuk mendapatkan harta dan jabatan. Yang haram dihalalkan, apa pun dilakukan demua cintanya kepada harta dan jabatan.
Cinta selalu menggerakkan hati pada apa yang dia inginkan. Keinginan diri inilah yang disebut dengan hawa nafsu. Sehingga dengan cinta ia menjadikan hatinya sebagai tawanan hawa nafsu, mengikuti apa yang dikatakan hawa nafsu dan menjadikan hawa nafsu dengan pimpinannya dalam hidup. Sehingga masuklah dia ke dalam fintah syahwat, yang menghalangi hatinya dari petunjuk dan rahmat.
Kemerdekaan Itu Datang Dari Tauhid
Tauhid membebaskan hati ini dari tawanan hawa nafsu. Bebas dari tawanan cinta harta, jabatan, popularitas, anak, lawan jenis, dan objek cinta yang berasal dari hawa nafsu. Bukan berarti, kita tidak lagi mencintai mereka. Namun, dengan kehadiran tauhid, maka hawa nafsu sudah bisa ditundukan, sehingga cinta kita tidak lagi hanya digerakan oleh hawa nafsu, tetapi digerakan oleh cinta kita kepada Allah sebagai konsekuensi tauhid.
“Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Anda akan terbebas dari kesedihan yang tidak perlu. Seseorang yang melakukan hal-hal yang dilarang agama demi cintanya, artinya belum ada tauhid pada dirinya, setidaknya masih sedikit. Orang yang hatinya sudah dipenuhi dengan cinta kepada Allah, tidak mungkin menduakan cintanya dengan sesuatu yang rendah. Tidak mungkin meninggalkan Allah (yang dicintainya) demi cinta
kepada selainnya.
Kita boleh mencintai lawan jenis, namun kita tidak akan pernah melakukan yang dilarang seperti mendekati zina bahkan melakukan zina, bunuh diri, durhaka kepada orang tua, dan perbuatan munkar lainnya. Sebab perbuatan-perbuatan tersebut dimurkai oleh cinta sejati kita, yaitu Allah SWT. Begitu juga, cinta kita kepada keluarga, harta, jabatan, dan objek cinta lainnya tidak akan menggerakan kita untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT sebagai cinta sejati kita.
Tuesday, 14 September 2010
Hubungan Cinta dan Motivasi
Saling UP GRADE dengan CINTA
Masalah bukan pada modal awal, tapi bagiamna pengelolaannya sehingga modal dapat terus berkembang dan meningkat. Dalam urusan pengelolaan modal awal rumah tangga tak ubahnya perniagaan. Jika tidak di upgrade, modal sekufu bias habis di tengah jalan.
Saling mengenal
Saling mengenal dengan baik aspek intelektualitas, kecenderungan, tabiat, kebiasaan, potensi dan juga kelemahan pasangan. Pengenalan ini bukan sekedear untuk dapat memperlakukannya sesuai dengan kondisinya, tapi agar masing-masing memiliki pandangan ke depan untuk meningkatkan potensi atau menutup kelemahan anda.
Temukan strong point
Saling menemukan strong point atau titik komparatif yang dapt menjadi sumber energi untuk menghasilkan kecenderungan atau kedekatan(litaskunu ilaiha). Kita bias belajar dari rumahtangga Rasulullah saw dan Khodijah r.a. pada diri Muhammad saw, Khodijah menemukan sikap jujur dan amanah. Sebaliknya, pada diri Khodijah Muhammad saw melihat sikao kedermawanan yang mencolok. Strong point mampu mengeliminir perbedaan usia, fisik, status ekonomi dan lingkungan social diantara keduanya. Begitu kuatnya, sehingga Rasulullah tidak pernah berfikir menikah lagi setelah Khadijah wafat, padahal menjadi kelaziman dalam budaya arab. Bahkan , setelah khadijah wafat Rasulullahmasih sering menyebut namanya dan meneruskan kebiasaan Khadijah memberi hadiah atau memberi makanan pada orang yang dia cintai.
Menerima Realitas
Salig menerima dan memahamikondisi relitas pasangan sebagai modal luar buiasa untuk bisa memaklumi dan memaafkan kesalahan. Ini akan membuat kita tidak membandingkan kondisi realita pasangan dengan potret ideal yang ada pada kepala. Untuk itu, kecerdasan, kelapangan hati, dan kejujuran adalah sikap mutlak yang dibutuhkan. Dalam praktik, umumnya kaum perempuan memiliki kemampua penerimaan yang lebih tinggi daripada kaum laki-laki.
Ciptakan kebutuhan bersama
Saling menciptakan kebutuhanbersama untuk meningkatkan kesekufuan agar suasana kesenderungan pada pasangan tetap terbangun. Dengan begitu, proses upgrade tidak dirancukan dengan sikap saling menyalahkan atau saling menuntut. Misalnya suami hanya menuntut istri agar begini dan begitu, padahal ia sendiri masih banyak kekuranan.
Komitmen & Kesepakatan
Komitm,en untuk tidak mandeg da kesepakan untuk saling menupgrade membuat suamiistri siap menanggung konsekuensi yang timbul dari kesepakatan tersebut.
Upgrade sesuai potensi
Tidak mungkin potensi pasangan A, kita paksa berubah menjadi B. paling mungkin adalah bagaimana A menjadi A’. jangan sampai proses up grade justru menimbulkan perasaan tertekan atau terpaksa.
Terbuka dalam belajar
Kembangkan sikap terbuka dalam belajar sepanjang tidak bertentanan dengan syari’ah. “belajar bisa dimana saja,tidak harus kursus atau ikut lembaga pengembangan diri. Yang penting motipasi, bisa dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, internet, buku misalnya sebagai fasilitas belajar.
Kuatkan kesabaran
Saling mengutkan kesabaran dalam menjalani proses up grade, terutama saat kita menjumpai sejumlah hambatan keterbatasan, semisal waktu, tenaga, atau keuangan. “jikakamu tidak menyukainya maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”(Q.S 4:19). Bukankah jika kita bersabar., Allah pasti memberikan ganjaran setimpal di surga kelak.
Perbaiki komunikasi
Saling memperbaiki komuniksai dan interaksi. Jika semakin sekufu semakin baik komunikasi dan interaksi. Maka memperbaiki keduanya adalah cara tept menuju kedekatan kesekufuan. Sebab tanpa kita sadari kesalahan komuniksasi dapat melahirkan perasaan negative, semisal tertekan, kecewa, putus asa, pada salah satu atau kedua pihak. Perasaan negative ini jika dibiarkan akan menjadikan potensi kebaikan pasangan kita mandul atau kerdil.
Bingkai dengan bahasa cinta
Atas dasar apa kita meng up grade pasangan? Pastikan cinta yang mendasarinya, bukan yang lain. Kita ingin lebih sholeh, lebih cerdas, dan lebih berkembang dalam bingkai ‘karena aku mencintaimu’. Naïf sekali jika seorang suami meminta istrinya ikut kursus bahasa inggris misalnya, karena ia btidak mau dipermalukan didepan kolega-koleganya.
Menjaga Agar Cinta Tak Padam
Cinta dalam kehidupan pernikahan adalah sumber energi. Ia mampu membawa pemiliknya pada puncak kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Lalai dalam merawat dan menjaganya dapat malapetaka dalam rumahtangga, terlalu bombastis? Bagaimana jika waktu, kesibukan dan jarak jadi kendala? Bagaimana islam menempatkan cinta?
Cinta dalam kehidupan pernikahan dapat mengantarkan seorang pada puncak keimanan, puncak kebaikan dan puncak kebahagiaanj jika dilandasi pada kehakikian.
Cinta hakiki akan mendorong seorang melakukan kebaikan pada pasangannya dan melihat pasangannya lebih baik dari waktu kewaktu.
So… ia akan berusaha sebaik mungkin memfasilitasi pasangannya agar tumvbuh dan berkembang. Baik dengan memberikan kenyamanan psiologis, kenyamanan fisik, dan fasilitas lain yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik.
Keluarga Sakinah
Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menentramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.
Pembaca yang budiman, sesungguhnya sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun di atas rasa cinta dan kasih sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.
Hakekat Kehidupan Rumah Tangga yang Sakinah
Pembaca yang budiman, telah disebutkan tadi bahwasanya setiap pribadi, terkhusus mereka yang telah berumah tangga, pasti dan sangat berkeinginan untuk merasakan kehidupan yang sakinah, sehingga kita menyaksikan berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana semuanya itu dibangun diatas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan kehidupan yang sakinah tadi. Maka nampak di pandangan kita sebagian orang ada yang berusaha mencari dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah. Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya, karena memang di benak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Di sana ada juga yang berpandangan bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan itu semua. Akan tetapi, pembaca yang budiman, perlu kita ketahui dan pahami terlebih dahulu apa sebenarnya hakekat kehidupan yang sakinah dalam sebuah kehidupan rumah tangga.
Sesungguhnya hakekat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah subhanahu wata’ala Pencipta alam semesta ini. Yakni sebuah kehidupan yang diridhai Allah, yang mana para pelakunya/orang yang menjalani kehidupan tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhaan Allah dan rasul-Nya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
Maka kesimpulannya, bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi/penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridha Allah subhanahu wata’ala. Karena memang hakekat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al Fath: 4)
Bimbingan Rasulullah dalam Kehidupan Berumah Tangga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni dengan perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan. Diantaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Nasehatilah isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya (yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri (para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shahih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits tersebut, kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing para suami untuk senantiasa mendidik dan menasehati isteri-isteri mereka dengan cara yang baik, lembut dan terus-menerus atau berkesinambungan dalam menasehatinya. Hal ini ditunjukkan dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
yakni “jika kalian para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka mereka tetap dalam keadaan bengkok,” artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru. Karena memang wanita itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai sifat kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan bagi seorang isteri untuk memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang baik pula, karena nasehat sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi siapa saja yang mampu hendaklah dilakukan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu nasehat.” (HR. Muslim no. 55)
Maka sebuah rumah tangga akan tetap kokoh dan akan meraih suatu kehidupan yang sakinah, insya Allah, dengan adanya sikap saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan.
Di Antara Tips/Cara Meraih Kehidupan yang Sakinah
1. Berdzikir
Ketahuilah, dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah, (maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.” (Ar Ra’d: 28)
Baik dzikir dengan makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir tertentu yang telah disyariatkan, misal:
أَسْتَغْفِرُالله ,
dan lain-lain, maupun dzikir dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu wata’ala, seperti shalat, shaum (puasa), shadaqah, dan lain-lain.
2. Menuntut ilmu agama
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka as sakinah (ketenangan).” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shahih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi mereka yang mempelajari Al Qur`an (ilmu agama), baik dengan mempelajari cara membaca maupun dengan membaca sekaligus mengaji makna serta tafsirnya, yaitu bahwasanya Allah akan menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada mereka.
Pembaca yang budiman, demikianlah di antara beberapa hal yang bisa dijadikan tips untuk meraih dan membina rumah tangga yang sakinah. Wallahu a’lam. Semoga kajian ringkas ini dapat kita terapkan dalam hidup berkeluarga sehingga Allah menjadikan keluarga kita keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Amiin, Ya Rabbal alamiin.
Sumber:
http://www.assalafy.org/artikel.php?kate
URGENSI PENGETAHUAN BAHASA ARAB
Ada dua poin penting yang berkaitan dengan pentingnya mempelajari bahasa Arab, yaitu:
1. Sebagai sumber ilmu
2. Sebagai pemersatu ummat
A. Sumber Ilmu
Sepanjang sejarah, bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki cabang ilmu yang indah dan kekuatan sastra yang kokoh sehingga mudah dipahami.
Para ulama mengatakan bahwa seseorang sebelum dia membaca teks Arab dia sudah bisa
paham baik dia berbahasa Arab aktif maupun pasif. Berbeda dengan bahasa lain dimana seseorang harus membacanya terlebih dahulu baru kemudian dia bisa paham.1
Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan terutama ilmu-ilmu keislaman, karena al-Qu’an, al-hadits, al-atsar serta penjelasan para ulama terdahulu menggunakan bahasa Arab. Kita tidak bisa memahaminya kecuali dengan bahasa Arab. Ini adalah bagian dari mukjizat al-Qur’an yaitu memiliki standar bahasa yang baku yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan karena terdapat beberapa hal sebagai berikut:
1. Sarana mencapai kemuliaan
Ilmu adalah kemuliaan dan tidak bisa diraih kecuali dengan bahasa. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberi kemuliaan pada bahasa Arab dengan dua yaitu:
a.Standar bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu-Nya agar umat manusia bisa memahaminya dengan mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” 2
b.Memilih dan mengutus rasul-Nya dari orang Arab untuk seluruh alam. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” 3
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan orang Arab “asli” yang sangat fasih berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan bahasa yang mulia sehingga menjaga diri seseorang dari kebodohan dan perselisihan. al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih, kecuali ketika mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung pada bahasa Aristoteles.” 4
Oleh karena itu, banyak orang-orang mulia dari kalangan ulama, pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai sumber rujukan dalam memahami al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Mereka diantaranya yaitu:
a.Al-Imam Syafi’i rahimahullah
Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan al-Ja’farani, dia berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dan lebih alim dari Imam syafi’i. Jika dibacakan syai’r di hadapannya pasti beliau mengetahuinya, beliau adalah ibarat lautan ilmu.” 5
Dalam riwayat yang lain, dari Rabi’ah bin Sulaiman, dia berkata, “Saya mendengar Ibn Hisyam rahimahullah pengarang buku Maghazi berkata, “Imam Syafi’i adalah hujjah dan bahasa.” 6
b.Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ibrahim al-Harbi rahimahullah berkata, “Saya melihat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah seakan-akan Allah mengumpulkan ilmu orang terdahulu dan terakhir untuknya.” 7
c.Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah
Abu Hayyan rahimahullah adalah guru para ahli Nahwu, ketika dia bertemu dengan Ibn Taimiyah rahimahullah, dia berkata, “Kedua mata saya belum pernah melihat orang seperti Ibn Taimiyah.” 8
Dengan demikian, para ulama mendapat kemuliaan baik disisi manusia maupun disisi Allah karena mereka menjadikan bahasa Arab sebagai sarana untuk memahami agama ini.
2. Sarana memahami agama
Bahasa arab merupakan sarana yang paling penting untuk memahami agama Islam. Hal ini karena al-Qur’an, al-hadits, al-atsar, tafsir, dan penjelasan para ulama sebagian besar menggunakan bahasa Arab. Untuk bisa memahaminya kita membutuhkan sarana yaitu bahasa Arab.
Oleh karena itu, sahabat yang mulia al-Faruq Umar bin khaththab radiallahu ‘anhu diriwayatkan telah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari radiallahu ‘anhu seraya berkata,
تعلموا العربية فإنها من دينكم……
“Belajarlah bahasa Arab karena sesungguhnya bahasa Arab itu bagian dari agama kalian.” 9
Dalam riwayat yang lain dari Umar bin Zaid berkata, “Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu menulis surat kepada abu Musa al-Asy’ari radiallahu’anhu, ‘pahamilah sunnah dan pahamilah bahasa arab.’ ” 10
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengarahkan penuntut ilmu hadits agar mempelajari bahasa dan Sastra arab. Beliau berkata, “Menurut pandangan saya, seorang penuntut ilmu yang mendalami ilmu hadits harus memperbanyak studi ilmu sastra dan bahasa Arab sehingga dia mampu menguasai fiqhul hadits dengan baik karena hadits adalah ucapan orang Arab (rasulullah) yang paling fasih.” 11
Keterangan di atas adalah wujud perhatian besar para ulama terhadap bahasa Arab yang merupakan sarana mereka dalam memahami agama Islam.
B. Pemersatu Ummat
Sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa orang Arab semata, akan tetapi merupakan bahasa kaum muslimin di seluruh dunia yang dengannya kaum muslimin menyatu dalam beberapa aspek ibadah dan dengan tujuan ini pula Allah menurunkan al-Qur’an menggunakan bahasa bahasa Arab.
Jika bahasa Arab hanya menjadi bahasa orang (bangsa) Arab saja maka tidak mungkin Allah menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal itu bertentangan dengan firman-firman-Nya, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai “sumber ilmu”.
Dalam Islam, ada beberapa ibadah yang tidak bisa dikerjakan kecuali dengan bahasa arab, diantaranya sebagai berikut:
1.Shalat
Shalat tidak sah kecuali dengan bahasa arab, mulai dari panggilan untuk shalat (adzan dan iqamah), dan saat melakukan shalat yang diawali dengan takbiratul ihram, bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir, dan salam, semua itu diucapkan dengan bahasa arab.
2. Dzikir-dzikir dan do’a-do’a
Dzikir dan do’a pada asalnya mengunakan bahasa Arab. Hal itu lebih utama, termasuk dalam dzikir adalah membaca al-Qur’an. Para ulama mengatakan diantara dzikir-dzkir yang paling utama adalah membaca al-Qur’an selain kalimat thayyibah (لا إله إلا الله).
Seseorang dikatakan telah membaca al-Qur’an jika dia membaca teks aslinya. Orang yang membaca terjemahannya tidaklah dikatakan membaca al-Qur’an, karena bisa jadi terjemahan itu keliru.
Walaupun dzikir dan do’a secara umum boleh menggunakan bahasa terjemahan (bahasa Ibu) bagi orang non-Arab, namun “tidak” di semua tempat dan waktu boleh berdzikir dan berdo’a menggunakan bahasa non-Arab.
C. Kesimpulan.
Urgensi bahasa Arab selain sebagai bahasa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sebagai bahasa komunitas kaum muslimin di seluruh dunia. Apabila kita menengok sejarah perkembangan Islam maka tidak terlepas dari bahasa arab. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa negara di Afrika yang sampai sekarang masih menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibu (bahasa sehari-hari). Wallahu a’lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Monday, 13 September 2010
Bahasa Arab Sumbang 40 % Bahasa Dunia
Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Departemen Agama, Prof Dr Machasin, di Medan, Selasa [13/10] , mengatakan, Bahasa Arab mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan muslim di berbagai belahan dunia.
“Bahasa Arab mempengaruhi bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Sawaili. Artinya di bawah pengaruh Islam, kosakata Bahasa Arab banyak dipakai dalam berbagai bahasa di dunia,” katanya pada seminar internasional Bahasa Arab Dalam Perpektif Sosial Budaya.
Ia mengatakan, dewasa ini Bahasa Arab merupakan bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara yang merupakan 22 negara yang menjadi anggota liga negara-negara Arab.
Bahasa Arab juga merupakan bahasa agama lebih dari satu miliar umat muslim di seluruh dunia, yang diucapkan dalam ibadah sehari-hari.
Bahasa ini juga merupakan bahasa hukum Islam yang mendominasi kehidupan semua muslim dan digunakan sebagai bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di ribuan sekolah diluar dunia Arab. “Dari Senegal sampai Filipina, Bahasa Arab dipakai sebagai bahasa pengajaran dan kesusastraan, pemikiran di bidang sejarah, etika hukum dan fiqih serta kajian kitab,” katanya.
Didukung dengan beberapa doktrin ajaran dalam Islam, Bahasa Arab terus mempengaruhi masyarakat muslim diberbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa Al Quran harus ditulis dan dibaca dalam bahasa aslinya yakni Bahasa Arab.
Hal ini berbeda dengan kitab suci lain yang justru harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks aslinya. Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual ibadah yang hanya dianggap sah jika dilakukan dalam Bahasa Arab.
Doktrin-doktrin seperti ini telah memacu motivasi masyarakat muslim untuk mempelajari dan menguasai Bahasa Arab sejak dini agar kelak menjadi muslim yang baik.
Pengaruhi Cara Berfikir Masyarakat Muslim
Bahasa Arab mempengaruhi cara berfikir dan bersikap masyarakat muslim di seluruh dunia karena bahasa sangat erat kaitannya dengan kegiatan berpikir masyarakat pengguna bahasa itu.
“Bahasa Arab dewasa ini sangat mempengaruhi cara berpikir dan cara bersikap masyarakat muslim di seluruh dunia. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat muslim untuk memahami segala sesuatu yang serba Islami dan Arabi,” kata Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Departemen Agama, Prof Dr Machasin, di Medan, Selasa.
Ia mengatakan, dalam konteks Indonesia, Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa asing tertua yang dikenal bangsa Indonesia sejak masuknya Islam kenusantara. Bahasa Arab dikenal dan dipelajari oleh bangsa Indonesia karena terkait dengan fungsi Bahasa Arab yakni sebagai bahasa agama.
Sebagai bahasa agama, Bahasa Arab telah memainkan peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia yang religius. Berdasarkan realita tersebut, maka peranan Bahasa Arab dalam proses pengembangan sikap religius warga bangsa pada umumnya dan peserta didik di lingkungan satuan-satuan pendidikan, sangatlah besar.
Disisi lain, era globalisasi yang menjadikan dunia sebagai desa kecil, mau tidak mau memaksa warga dunia untuk melakukan interaksi sosial dan budaya secara intensif antar mereka. Atas dasar itu, perkembangan sosial budaya di suatu bangsa akan mudah diakses bahkan mempengaruhi warga dunia lainnya.
Sementara dalam konteks Bahasa Arab, perkembangan sosial budaya yang terjadi di negara-negara Arab pun akan mempengaruhi dunia secara positif atau negatif.
Misalnya, perkembangan situasi Timur Tengah yang demikian memanas akan mempengaruhi iklim ekonomi dan politik dunia.
Demikian juga dengan perkembangan pemikiran Islam garis keras di suatu negara juga akan mempengaruhi pemikiran dan pemahaman Islam di negara-negara Islam lain di dunia.
“Atas dasar itu, pemahaman Bahasa dan Budaya Arab, bagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi penting dalam merespon perkembangan yang terjadi di Timur Tengah, baik di bidang ekonomi, politik, dan agama,” katanya.
Staf Pengajar Program Studi bahasa Arab, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (USU), Drs Aminullah MA, mengatakan, peran Bahasa Arab sebagai bahasa agama sangat berpengaruh pada pola kehidupan Indonesia di kehidupannya sehari-hari.
“Sejak dahulu sampai sekarang, masyarakat muslim Indonesia terus berlomba-lomba mengusakan agar anaknya dapat menguasai Bahasa Arab sejak dini. Ini tentunya dengan harapan agar si anak dapat semakin menguasai Islam dengan baik,” katanya. ( dan )
Perkembangan Bahasa Arab
Monday, 30 August 2010
Sejarah Munculnya Ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab)
Sebab-sebab Munculnya Ilmu Nahwu
Banyak hal yang menyebabkan ilmu nahwu disusun. Secara umum sebabnya adalah seputar kekeliruan orang-orang arab pada bahasa mereka yang disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang ‘ajam (non arab) yang masuk islam sehingga mempengaruhi tata bahasa mereka. Diantara penyebab utama disusunnya ilmu nahwu adalah:
- Pada masa Rasulullah diriwayatkan bahwa ada seseorang yang keliru dalam penggunaan bahasanya, maka Rasulullah bersabda: “ Bimbinglah saudura kalian ini.. Sesungguhnya dia tersesat”
- Berkata Abu Bakar Ash Shidiq: “Aku lebih menyukai jika aku membaca dan aku terjatuh daripada aku membaca dan aku keliru”
- Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang arab semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan Islam sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk islam. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi:
1. Umar melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela mereka. Mereka pun menjawab:
إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ
(Makna yang mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum terpelajar”. Akan tetapi mereka keliru karena yang benar إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَdengan merofa’kan kata “مُتَعَلِّمِيْنَ”)
Umar berpaling dari mereka karena marah dan berkata:”Demi Allah kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat menurutku daripada kesalahan kalian pada lemparan (tombak) kalian“.
2. Abu musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab yang tertulis di situ kalimat
مِنْ اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ
(Dari abu musa kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab. Namun secara kaidah bahasa, kalimat yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى dengan menjarkan kata “اَبُوْ”)
Umar membalas surat tersebut dengan: “Sebaiknya kau cambuk Juru tulis mu (karena keliru)”. Juru tulisnya adalah Abul Hushain Al Anbary.
3. Seorang laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta diajarkan sesuatu dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin membacakan awal surat At Taubah:
“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”( At Taubah : 3)
Akan tetapi orang tersebut membacanya sebagai berikut:
أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ”” sehingga artinya berubah menjadi“bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya.”
Berkatalah orang badui tersebut: “Apakah benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya? Demi Allah aku akan berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.” Ketika Umar mengetahui hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang tersebut dan membenarkan bacaannya dan Ia berseru kepada manusia:”Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran kecuali ia mengetahui bahasa Arab”.
Ini adalah beberapa contoh kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab. Kekeliruan ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin terhadap Al Quran sebagaimana contoh yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, ilmu nahwu disusun agar memudahkan seseorang dalam mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab sehingga tidak keliru dalam memahami kalimat bahasa Arab.
Pencetus Ilmu Nahwu
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu tentang siapa pencetus ilmu nahwu. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu adalah:
1. Amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib
2. Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab
3. Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau atas perintah Ziyad,
pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang mencetuskan nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak perempuan nya. Berkata anaknya: “wahai ayahku.. مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)” – dengan merofa’kan (membaca dhammah) kata ” أَحْسَنُ ” dan menjarkan (membaca kasrah) kata “السَّمَاءِ“ . Beliau pun menjawab:”Bintang-bintangnya”. Anaknya pun berkata:”Aku bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..”. Belaiu pun menjawab:“Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah.. مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa langit yang indah!)” – dengan membaca fathah kata “أَحْسَنَ ” dan “السَّمَاءَ “.
4. Abdurrahman bin Humuz Al A’raj
5. Nashr bin ‘Ashim Al Laitsy
Pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat di atas adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi banyak kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.
Begitulah sejarah lahir nya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan utamanya adalah agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2)
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]
Benarlah perkataan penyair yang berkata:
النَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ.. إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..
(Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..)
* Disarikan dari Diktat Kuliah Ilmu Nahwu, Universitas Al Madinah Internasional (MEDIU)oleh Khairul Umam Al Batawy.
diedit oleh kanhamdan
Pengaruh Al-Quran terhadap Organ tubuh
Pengaruh Al-Quran terhadap Organ tubuh
Dievalusi dengan menggunakan perangkat elektronik]
Dr. Ahmad Al-Qadhiy (United States of America)
Ada menyeruak perhatian yang begitu besar terhadap kekuatan membaca Al-Qur'an, dan yang terlansir di dalam Al-Qur'an, dan pengajaran Rasulullah. Dan sampai beberapa waktu yang belum lama ini, belum diketahui bagaimana mengetahui dampak Al-Qur'an tersebut kepada manusia. Dan apakah dampak ini berupa dampak biologis ataukah dampak kejiwaan, atakah malah keduanya, biologis dan kejiwaan.
Maka, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kami memulai sebuah penelitian tentang Al-Qur'an dalam pengulangan-pengulangan "Akbar" di kota Panama wilayah Florida. Dan tujuan pertama penelitian ini adalah menemukan dampak yang terjadi pada organ tubuh manusia dan melakukan pengukuran jika memungkinkan. Penelitian ini menggunakan seperangkat peralatan elektronik dengan ditambah komputer untuk mengukur gejala-gejala perubahan fisiologis pada responden selama mereka mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Penelitian dan pengukuran ini dilakukan terhadap sejumlah kelompok manusia:
1. Muslimin yang bisa berbahasa Arab.
2. Muslimin yang tidak bisa berbahasa Arab
3. Non-Islam yang tidak bisa berbahasa Arab.
Pada semua kelompok responden tersebut dibacakan sepotong ayat Al-Qur'an dalam bahasa Arab dan kemudian dibacakan terjemahnya dalam bahasa Inggris.
Dan pada setiap kelompok ini diperoleh data adanya dampak yang bisa ditunjukkan tentang Al-Qur'an, yaitu 97% percobaan berhasil menemukan perubahan dampak tersebut. Dan dampak ini terlihat pada perubahan fisiologis yang ditunjukkan oleh menurunnya kadar tekanan pada syaraf secara sprontanitas. Dan penjelasan hasil penelitian ini aku presentasikan pada sebuah muktamar tahunan ke-17 di Univ. Kedokteran Islam di Amerika bagian utara yang diadakan di kota Sant Louis Wilayah Mizore, Agustus 1984.
Dan benar-benar terlihat pada penelitian permulaan bahwa dampak Al-Qur'an yang kentara pada penurunan tekanan syaraf mungkin bisa dikorelasikan kepada para pekerja: Pekerja pertama adalah suara beberapa ayat Al-Qur'an dalam Bahasa Arab. Hal ini bila pendengarnya adalah orang yang bisa memahami Bahasa Arab atau tidak memahaminya, dan juga kepada siapapun (random). Adapun pekerja kedua adalah makna sepenggal Ayat Al-Qur'an yang sudah dibacakan sebelumnya, sampai walaupun penggalan singkat makna ayat tersebut tanpa sebelumnya mendengarkan bacaan Al-Qur'an dalam Bahasa Arabnya.
Adapun Tahapan kedua adalah penelitian kami pada pengulangan kata "Akbar" untuk membandingkan apakah terdapat dampak Al-Qur'an terhadap perubahan-perubahan fisiologis akibat bacaan Al-Qur'an, dan bukan karena hal-hal lain selain Al-Qur'an semisal suara atau lirik bacaan Al-Qur'an atau karena pengetahun responden bahwasannya yang diperdengarkan kepadanya adalah bagian dari kitab suci atau pun yang lainnya.
Dan tujuan penelitian komparasional ini adalah untuk membuktikan asumsi yang menyatakan bahwa "Kata-kata dalam Al-Qur'an itu sendiri memiliki pengaruh fisiologis hanya bila didengar oleh orang yang memahami Al-Qur'an . Dan penelitian ini semakin menambah jelas dan rincinya hasil penelitian tersebut.
Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah perangkat studi dan evaluasi terhadap tekanan syaraf yang ditambah dengan komputer jenis Medax 2002 (Medical Data Exuizin) yang ditemukan dandikembangkan oleh Pusat Studi Kesehatan Univ. Boston dan Perusahaan Dafikon di Boston. Perangkat ini mengevaluasi respon-respon perbuatan yang menunjukkan adanya ketegangan melalui salah satu dari dua hal: (i) Perubahan gerak nafas secara langsung melalui komputer, dan (ii) Pengawasan melalui alat evaluasi perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh. Perangkat ini sangat lengkap dan menambah semakin menguatkan hasil validitas hasil evaluasi.
Subsekuen:
1. Program komputer yang mengandung pengaturan pernafasan dan monitoring perubahan fisiologis dan printer.
2. Komputer Apple 2, yaitu dengan dua floppy disk, layar monitor dan printer.
3. Perangkat monitoring elektronik yang terdiri atas 4 chanel: 2 canel untuk mengevaluasi elektrisitas listrik dalam otot yang diterjemahkan ke dalam respon-respon gerak syaraf otot; satu chanel untuk memonitor arus balik listrik yang ke kulit; dan satu chanel untuk memonitor besarnya peredaran darah dalam kulit dan banyaknya detak jantung dan suhu badan.
Berdasarkan elektrisitas listrik dalam otot-otot, maka ia semakin bertambah yang menyebabkan bertambahnya cengkeraman otot. Dan untuk memonitor perubahan-perubahan ini menggunakan kabel listrik yang dipasang di salah satu ujung jari tangan.
Adapun monitoring volume darah yang mengalir pada kulit sekaligus memonitor suhu badan, maka hal itu ditunjukkan dengan melebar atau mengecilnya pori-pori kulit. Untuk hal ini, menggunakan kabel listrik yang menyambung di sekitar salah satu jari tangan. Dan tanda perubahan-perubahan volume darah yang mengalir pada kulit terlihat jelas pada layar monitoryang menunjukkan adanya penambahan cepat pada jantung. Dan bersamaan dengan pertambahan ketegangan, pori-pori mengecil, maka mengecil pulalah darah yag mengalir pada kulit, dan suhu badan, dan detak jantung.
Metode dan Keadaan yang digunakan:
Percobaan dilakukan selama 210 kali kepada 5 responden: 3 laki-laki dan 2 perempuan yang berusia antara 40 tahun dan 17 tahun, dan usia pertengahan 22 tahun.
Dan setiap responden tersebut adalah non-muslim dan tidak memahami bahasa Arab. Dan percobaan ini sudah dilakukan selama 42 kesempatan, dimana setiap kesempatannya selama 5 kali, sehingga jumlah keseluruhannya 210 percobaan. Dan dibacakan kepada responden kalimat Al-Qur'an dalam bahasa Arab selama 85 kali, dan 85 kali juga berupa kalimat berbahasa Arab bukan Al-Qur'an. Dan sungguh adanya kejutan/shock pada bacaan-bacaan ini: Bacaan berbahasa Arab (bukan Al-Qur'an) disejajarkan dengan bacaan Al-Qur'an dalam lirik membacanya, melafadzkannya di depan telingga, dan responden tidak mendengar satu ayat Al-Qur'an selama 40 uji-coba. Dan selama diam tersebut, responden ditempatkan dengan posisi duduk santai dan terpejam. Dan posisi seperti ini pulalah yang diterapkan terhadap 170 uji-coba bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur'an.
Dan ujicoba menggunakan bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur'an seperti obat yang tidak manjur dalam bentuk mirip seperti Al-Qur'an, padahal mereka tidak bisa membedakan mana yang bacaan Al-Qur'an dan mana yang bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur'an. Dan tujuannya adalah utuk mengetahui apakah bacaan Al-Qur'an bisa berdampak fisiologis kepada orang yang tidak bisa memahami maknanya. Apabila dampak ini ada (terlihat), maka berarti benar terbukti dan dampak tidak ada pada bacaan berbahasa Arab yang dibaca murottal (seperti bacaan Imam Shalat) pada telinga responden.
Adapun percobaan yang belum diperdengarkan satu ayat Al-Qur'an kepada responden, maka tujuannya adalah untuk mengetahui dampak fisiologis sebagai akibat dari letak/posisi tubuh yang rileks (dengan duduk santai dan mata terpejam).
Dan sungguh telah kelihatan dengan sangat jelas sejak percobaan pertama bahwasannya posisi duduk dan diam serta tidak mendegarkan satu ayat pun, maka ia tidak mengalami perubahan ketegangan apapun. Oleh karena itu, percobaan diringkas pada tahapan terakhir pada penelitian perbandingan terhadap pengaruh bacaan Al-Qur'an dan bacaan bahasa Arab yang dibaca murottal seperti Al-Qur'an terhadap tubuh.
Dan metode pengujiannya adalah dengan melakukan selang-seling bacaan: dibacakan satu bacaan Al-Qur'an, kemudian bacaan vahasa Arab, kemudian Al-Qur'an dan seterusnya atau sebaliknya secara terus menerus.
Dan para responden tahu bahwa bacaan yang didengarnya adalah dua macam: Al-Qur'an dan bukan Al-Qur'an, akan tetapi mereka tidak mampu membedakan antara keduanya, mana yang Al-Qur'an dan mana yang bukan.
Adapun metode monitoring pada setiap percobaan penelitian ini, maka hanya mencukupkan dengan satu chanel yaitu chanel monitoring elektrisitas listrik pada otot-otot, yaitu dengan perangkat Midax sebagaimana kami sebutkan di atas. Alat ini membantu menyampaikan listrik yang ada di dahi.
Dan petunjuk yang sudah dimonitor dan di catat selama percobaan ini mengadung energi listrik skala pertengahan pada otot dibandingkan dengan kadar fluktuasi listrik pada waktu selama percobaan. Dan sepanjang otot untuk mengetahui dan membandingkan persentase energi listrik pada akhir setiap percobaan jika dibandingkan keadaan pada awal percobaan. Dan semua monitoring sudah dideteksi dan dicatat di dalam komputer.
Dan sebab kami mengutamakan metode ini untuk memonitor adalah karena perangkat ini bisa meng-output angka-angka secara rinci yang cocok untuk studi banding, evaluasi dan akuntabel..
Pada satu ayat percobaan, dan satu kelompok percobaan perbandingan lainnya mengandung makna adanya hasil yang positif untuk satu jenis cara yang paling kecil sampai sekecil-kecilnya energi listrik bagi otot. Sebab hal ini merupakan indikator bagusnya kadar fluktuasi ketegangan syaraf, dibandingkan dengan berbagai jenis cara yang digunakan responden tersebut ketika duduk.
Hasil Penelitian
Ada hasil positif 65% percobaan bacaan Al-Qur'an. Dan hal ini menunjukkan bahwa energi listrik yang ada pada otot lebih banyak turun pada percobaan ini. Hal ini ditunjukkan dengan dampak ketegangan syaraf yang terbaca pada monitor, dimana ada dampak hanya 33 % pada responden yang diberi bacaan selain Al-Qur'an.
Pada sejumlah responden, mungkin akan terjadi hasil yang terulang sama, seperti hasil pengujian terhadap mendengar bacaan Al-Qur'an. Oleh karena itu, dilakukan ujicoba dengan diacak dalam memperdengarkannya (antara Al-Qur'an dan bacaan Arab) sehingga diperoleh data atau kesimpulan yang valid.
Pembahasan Hasil Penelitian dan Kesimpulan
Sungguh sudah terlihat jelas hasil-hasil awal penelitian tentang dampak Al-Qur'an pada penelitian terdahulu bahwasanya Al-Qur`an memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap syaraf. dan mungkin bisa dicatat pengaruh ini sebagai satu hal yang terpisah, sebagaimana pengaruh inipun terlihat pada perubahan energi listrik pada otot-otot pada organ tubuh. dan perubah-perubahan yang terjadi pada kulit karena energi listrik, dan perubahan pada peredaran darah, perubahan detak jantung, voleme darah yang mengalir pada kulit, dan suhu badan.
Dan semua perubahan ini menunjukan bahwasanya ada perubahan pada organ-organ syaraf otak secara langsung dan sekaligus mempengaruhi organ tubuh lainnya. Jadi, ditemukansejumlah kemungkinan yang tak berujung ( tidak diketahui sebab dan musababnya) terhadap perubahan fisiologis yang mungkin disebabkan oleh bacaan Al-Qur`an yang didengarkannya.
Oleh karena itu sudah diketahui oleh umum bahwasanya ketegangan-ketegangan saraf akan berpengaruh kepada dis-fungsi organ tubuh yang dimungkinkan terjadi karena produksi zat kortisol atau zat lainnya ketika merespon gerakan antara saraf otak dan otot. Oleh karena itu pada keadaan ini pengaruh Al-Qur`an terhadap ketegangan saraf akan menyebabkan seluruh badannya akan segar kembali, dimana dengan bagusnya stamina tubuh ini akan menghalau berbagai penyakit atau mengobatinya. Dan hal ini sesuai dengan keadaan penyakit tumor otak atau kanker otak.
Juga, hasil uji coba penelitian ini menunjukan bahwa kalimat-kalimat Al-Qur`an itu sendiri memeliki pengaruh fisiologis terhadap ketegangan organ tubuh secara langsung, apalagi apabila disertai dengan mengetahui maknanya.
Dan perlu untuk disebutkan disini bahwasanya hasil-hasil penelitian yang disebutkan diatas adalah masih terbatas dan dengan responden yang juga terbatas
Diposkan oleh Hanif di 22:39
Monday, 14 June 2010
Ragam Macam hukum Menikah
Begitu banyak usulan untuk tema-tema kajian pernikahan, sangat beragam, dan menantang untuk segera dituliskan. Memang pernikahan adalah dunia yang dipenuhi dengan tema-tema pendahulan. Baik secara ilmu dasar filosofisnya, hingga masalah teknis-teknis yang diperlukan menjelang pernikahan, semuanya begitu banyak dan beragam.
kali ini kita akan membahas ragam macam hukum pernikahan. Agar lebih jelas bagi kita –khususnya ikhwan dan akhwat bujangan – apakah saat ini sudah tepat saatnya untuk menikah, ataukah barangkali masih sekedar keinginan-keinginan sesaat disaat hati merasa sepi. Agar kita bisa lebih arif bahwasanya tidak setiap keinginan itu harus dipaksakan, tidak setiap hasrat harus segera dipenuhi. Sem
ua ada aturannya. Semua ada batasan-batasannya.
Pertama : Hukum Menikah menjadi wajib,
Menikah bagi sebagian besar ulama menjadi wajib hukumnya, ketika seorang itu :
Telah mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah finansial pada keluarganya
Berada dalam lingkungan yang memungkinkan terjerumus dalam kezinaan
Latar belakang keimanan dan keshalihannya belum memadai
Puasa sudah tidak mampu lagi menahan gejolak dan kegelisahannya
Hal ini bersandarkan bahwa : menahan dan menjauhi dari kekejian adalah suatu hal yang wajib, dan jika yang wajib itu tidak terpenuhi selain dengan menikah, maka dengan sendirinya menikah itu menjadi ikut wajib hakimnya. Kaidah ini dikenal dengan nama : “ maa lam yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib “.
Kedua : Hukum Menikah menjadi Haram
Seseorang diharamkan baginya menikah, ketika bisa dipastikan (berdasarkan pengalaman dan dhahirnya) bahwa dalam pernikahan itu ia akan menzalimi istrinya. Salah satu contohnya yaitu :
jelas-jelas tidak mampu memberikan nafkah finansial pada istrinya.
Atau dalam kondisi tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada suami/istrinya nanti, semisal : tidak punya kemampuan dalam hubungan suami istri.
Hukum haram ini bisa menjadi berubah saat dipastikan ternyata kondisi-kondisi tersebut telah diperbaiki. Lalu pertanyaan yang menarik selanjutnya adalah : Bagaimana jika seseorang berada pada kondisi yang berbahaya mengarah pada zina, dan pada saat yang sama dia belum mempunyai kemampuan finansial yang cukup ? . Maka solusi ‘sementara’ untuk hal ini adalah menjaga diri dengan berpuasa. Karena jika bertemunya wajib dengan haram, maka yang haramlah yang harus dijauhi terlebih dahulu.
Allah SWT berfirman “ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. “ (QS An- Nuur ayat 33)
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : Wahai segenap pemuda, barang siapa diantara kamu telah mempunyai kemampuan (jimak) maka hendaklah segera menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (memberi nafkah) maka hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi perisai baginya “ (HR Jamaah)
Ketiga : Hukum Menikah menjadi Makruh
Yaitu ketika seseorang berada dalam kondisi yang dikhawatirkan (bukan dipastikan) akan menimbulkan bahaya dan kerugian jika menikah nantinya, misalnya karena beberapa faktor sebagai berikut :
karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya, atau mempunyai penghasilan tetapi sangat belum layak.
Atau bisa juga karena track record kejiwaannya yang belum stabil, seperti emosional dan ringan tangan
Atau ada kecenderungan tidak mempunyai keinginan terhadap istrinya, sehingga dikhawatirkan nanti akan menyia-nyiakan istrinya
Keempat : Hukum Pernikahan menjadi Sunnah
Terakhir, jika seseorang berada dalam kondisi ‘pertengahan’ maka hukum menikah kembali kepada asalnya yaitu sunnah mustahabbah atau dianjurkan. Yaitu jika seseorang dalam kondisi :
Mempunyai daya dukung finansial yang mencukupi secara standar
Tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan karena lingkungan yang baik serta kualitas keshalihan yang terjaga.
Dalil yang menunjukkan hukum asal sunnah sebuah pernikahan, diantaranya adalah yang diriwayakan anas bin malik ra. Yaitu ketika datang tiga sahabat menanyakan pada istri-istri nabi tentang ibadah beliau SAW, kemudian mereka bersemangat ingin menirunya hingga masing-masing mendeklarasikan program ibadah andalannya :
Ada yang mengatakan akan shalat malam terus menerus
Ada yang mengatakan akan puasa terus menerus
Ada yang mengatakan tidak akan menikah selamanya
Dan puncaknya, ketika Rasulullah SAW mendengar hal ini, beliau segera bereaksi keras dan memberikan statemen yang cukup jelas tentang hal tersebut. Beliau bersabda : Demi Allah .. sungguh aku ini yang paling takut kepada Allah di antara kamu sekalian, aku juga yang paling bertakwa pada-Nya, tetapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wahita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukanlah bagian dariku “ (HR Bukhori)
Nah, jika urusannya adalah sunnah, maka insya Allah lebih baik untuk disegerakan. Saya ingat sebuah kisah nyata yang dulu sering saya sampaikan pada ibu saya jauh-jauh hari sebelum akhirnya menikah. Kisahnya seorang pemuda mesir yang belajar di Amerika. Pada tahun pertama, ia minta ijin pada ibunya untuk menikah, tapi oleh ibunya dilarang. Begitu pula tahun kedua, dan ketiga ia mengulangi lagi permintaan untuk menikah, dan senantiasa juga ditolak. Hingga akhirnya di tahun keempat dan kelulusannya, ibunya datang dan mengatakan sekaranglah saatnya menikah. Maka sang anak menjawab dengan enteng : ibu, sekarang saya tidak memerlukan pernikahan, di Amerika ini saya bisa memenuhi kebutuhan biologis saya tanpa harus menikah. Bukankah dulu ibu melarang saya menikah, ketika saya benar-benar membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan biologis saya ?Wal iyyadz billah.
Ikhwan dan akhwat sekalian, marilah mengkaji ulang status dan kondisi kita hari ini. Apakah telah sampai pada kita kewajiban menikah ? sunnah, atau barangkali justru masih dalam status makruh ? Anda lebih tahu jawabannya. wallahu a’lam bisshowab
Masalah Pernikahan Dini
Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.
Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.
Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.
Dalam kontek
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.
Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik
Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.
KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Urgensi Bahasa Arab
· Oleh : Abu Farha Qasim Atha
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al-Qur’an dengan standar bahasa Arab dan mengutus rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan Arab yang fasi. Amma ba’du.
Urgensi bahasa Arab meliputi banyak cabang disiplin ilmu yang tidak bisa dipisahkan dari bahasa arab, namun dalam makalah yang sederhana ini kami paparkan hal-hal penting yang terkait dengan kehidupan sehari-hari kaum muslimin yang akan dijelaskan dalam pembahasan nanti.
Tentunya tulisan ini hanya untuk membuka hati dan pikiran kita agar kita memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan bahasa Arab khususnya bagi para pemuda umat ini sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing. Perlu kesadaran pada diri setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan bahasa persatuan kaum muslimin.
URGENSI PENGETAHUAN BAHASA ARAB
1. Sebagai sumber ilmu
2. Sebagai pemersatu ummat
A. Sumber Ilmu
Sepanjang sejarah, bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki cabang ilmu yang indah dan kekuatan sastra yang kokoh sehingga mudah dipahami.
Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan terutama ilmu-ilmu keislaman, karena al-Qu’an, al-hadits, al-atsar serta penjelasan para ulama terdahulu menggunakan bahasa Arab. Kita tidak bisa memahaminya kecuali dengan bahasa Arab. Ini adalah bagian dari mukjizat al-Qur’an yaitu memiliki standar bahasa yang
1. Sarana mencapai kemuliaan
Ilmu adalah kemuliaan dan tidak bisa diraih kecuali dengan bahasa. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberi kemuliaan pada bahasa Arab dengan dua yaitu:
a.Standar bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu-Nya agar umat manusia bisa memahaminya dengan mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” 2
b.Memilih dan mengutus rasul-Nya dari orang Arab untuk seluruh alam. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” 3
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan orang Arab “asli” yang sangat fasih berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan bahasa yang mulia sehingga menjaga diri seseorang dari kebodohan dan perselisihan. al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih, kecuali ketika mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung pada bahasa Aristoteles.” 4
Oleh karena itu, banyak orang-orang mulia dari kalangan ulama, pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai sumber rujukan dalam memahami al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Mereka diantaranya yaitu:
a.Al-Imam Syafi’i rahimahullah
Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan al-Ja’farani, dia berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dan lebih alim dari Imam syafi’i. Jika dibacakan syai’r di hadapannya pasti beliau mengetahuinya, beliau adalah ibarat lautan ilmu.” 5
Dalam riwayat yang lain, dari Rabi’ah bin Sulaiman, dia berkata, “Saya mendengar Ibn Hisyam rahimahullah pengarang buku Maghazi berkata, “Imam Syafi’i adalah hujjah dan bahasa.” 6
b.Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ibrahim al-Harbi rahimahullah berkata, “Saya melihat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah seakan-akan Allah mengumpulkan ilmu orang terdahulu dan terakhir untuknya.” 7
c.Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah
Abu Hayyan rahimahullah adalah guru para ahli Nahwu, ketika dia bertemu dengan Ibn Taimiyah rahimahullah, dia berkata, “Kedua mata saya belum pernah melihat orang seperti Ibn Taimiyah.” 8
Dengan demikian, para ulama mendapat kemuliaan baik disisi manusia maupun disisi Allah karena mereka menjadikan bahasa Arab sebagai sarana untuk memahami agama ini.
2. Sarana memahami agama
Bahasa arab merupakan sarana yang paling penting untuk memahami agama Islam. Hal ini karena al-Qur’an, al-hadits, al-atsar, tafsir, dan penjelasan para ulama sebagian besar menggunakan bahasa Arab. Untuk bisa memahaminya kita membutuhkan sarana yaitu bahasa Arab.
Oleh karena itu, sahabat yang mulia al-Faruq Umar bin khaththab radiallahu ‘anhu diriwayatkan telah menulis
تعلموا العربية فإنها من دينكم……
“Belajarlah bahasa Arab karena sesungguhnya bahasa Arab itu bagian dari agama kalian.” 9
Dalam riwayat yang lain dari Umar bin Zaid berkata, “Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu menulis
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengarahkan penuntut ilmu hadits agar mempelajari bahasa dan Sastra arab. Beliau berkata, “Menurut pandangan saya, seorang penuntut ilmu yang mendalami ilmu hadits harus memperbanyak studi ilmu sastra dan bahasa Arab sehingga dia mampu menguasai fiqhul hadits dengan baik karena hadits adalah ucapan orang Arab (rasulullah) yang paling fasih.” 11
Keterangan di atas adalah wujud perhatian besar para ulama terhadap bahasa Arab yang merupakan sarana mereka dalam memahami agama Islam.
B. Pemersatu Ummat
Sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa orang Arab semata, akan tetapi merupakan bahasa kaum muslimin di seluruh dunia yang dengannya kaum muslimin menyatu dalam beberapa aspek ibadah dan dengan tujuan ini pula Allah menurunkan al-Qur’an menggunakan bahasa bahasa Arab.
Jika bahasa Arab hanya menjadi bahasa orang (bangsa) Arab saja maka tidak mungkin Allah menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal itu bertentangan dengan firman-firman-Nya, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai “sumber ilmu”.
Dalam Islam, ada beberapa ibadah yang tidak bisa dikerjakan kecuali dengan bahasa arab, diantaranya sebagai berikut:
1.Shalat
Shalat tidak sah kecuali dengan bahasa arab, mulai dari panggilan untuk shalat (adzan dan iqamah), dan saat melakukan shalat yang diawali dengan takbiratul ihram, bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir, dan salam, semua itu diucapkan dengan bahasa arab.
2. Dzikir-dzikir dan do’a-do’a
Dzikir dan do’a pada asalnya mengunakan bahasa Arab. Hal itu lebih utama, termasuk dalam dzikir adalah membaca al-Qur’an.
Seseorang dikatakan telah membaca al-Qur’an jika dia membaca teks aslinya. Orang yang membaca terjemahannya tidaklah dikatakan membaca al-Qur’an, karena bisa jadi terjemahan itu keliru.
Walaupun dzikir dan do’a secara umum boleh menggunakan bahasa terjemahan (bahasa Ibu) bagi orang non-Arab, namun “tidak” di semua tempat dan waktu boleh berdzikir dan berdo’a menggunakan bahasa non-Arab.
C. Kesimpulan.
Urgensi bahasa Arab selain sebagai bahasa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sebagai bahasa komunitas kaum muslimin di seluruh dunia. Apabila kita menengok sejarah perkembangan Islam maka tidak terlepas dari bahasa arab. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa negara di Afrika yang sampai sekarang masih menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibu (bahasa sehari-hari). Wallahu a’lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Sunday, 6 June 2010
Keunggulan Bahasa Arab
Manakala bahasa mulia telah ditelantarkan, bahasa yang mengantarkan pada pemahaman ilmu Qur'an dan sunnah yang shohih telah dicampakkan, apa yang akan terjadi??
Pertanyaan itu salah satunya dapat dijawab dengan ungkapan seorang ulama yang terkenal dengan kedalaman ilmunya, Imam Asy Syafi'i.
"Manusia menjadi buta agama, bodoh dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles."1
Kita tentu sering menemui banyak dari masyarakat kita yang notabene sebagian besar kaum muslimin, seolah mewajibkan putra-putri mereka untuk belajar bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Supaya bisa bersaing di dunia internasional, kata mereka. Memang tidak ada larangan untuk mempelajarinya, karena bahasa Inggris merupakan ilmu yang mubah untuk dipelajari, apalagi jika diniatkan untuk mempermudah dakwah. Tapi ketika niat telah ternoda, tertuju pada urusan duniawi yang fana semata, serta diiringi dengan pemberian porsi yang tidak adil, bahkan mencapai taraf mencibir terhadap Bahasa Arab, bahasa mulia yang justru sangat penting untuk dipelajari. Apakah ini dibenarkan??!
Jauh berbeda dengan masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan para khalifah sekalipun mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap bahasa Arab. Mereka begitu bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menguasai, mengajarkan, dan memberi fasilitas bagi putra-putri mereka memperdalam bahasa Arab. Bahkan diceritakan, para ulama salaf terdahulu memukul putra-putri mereka karena kesalahan berbahasa. Sungguh ironis, jika melihat kenyataan pada masa sekarang, tentu mereka akan sangat bersedih dan terpukul.
Mungkin banyak yang belum tahu atau belum menyadari bahwa bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Bagaimana mungkin seorang muslim lebih memilih untuk mencintai bahasa lain sedangkan ia memiliki bahasa yang lebih indah, yang lebih pantas untuk dicintai.
Keunggulan dan Keistimewaan Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang mulia dan istimewa. Bahasa Arab telah dipilih oleh Allah sebagai bahasa kitab-Nya, seperti yang difirmankan oleh Allah :
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).
Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah j), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril ), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.
” Allah juga memilih Bahasa Arab menjadi bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad j. Bahasa ini menjadi bahasa verbal Rasulullah j dan shahabat-shahabatnya. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita menggunakan bahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab rujukan yang ditulis oleh para ulama, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi jalan awal untuk memahaminya.
Selain itu, berbeda dengan bahasa lain, susunan kata dalam Bahasa Arab tidak banyak. Sebagian besar tersusun atas tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya. Disamping itu, kosakata dalam bahasa Arab pun sangat indah. Seseorang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas, padat, dan syarat dengan makna.
Namun bukan berarti belajar bahasa Arab itu mudah, hanya butuh waktu yang singkat untuk menguasainya, sama sekali tidak…, tetap dibutuhkan semangat, kesungguhan, dan keistiqomahan dalam mempelajarinya. Bahkan semangat dan kesungguhan itu harus lebih daripada mempelajari bahasa lainnya, karena ada pahala dan janji yang besar dibalik itu semua.
Perhatian Salaf dan Mujaddid Abad Ini Terhadap Bahasa Arab
Umar bin Khaththab pernah rnenulis
Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi ciri khas dan hampir menjadi suatu keharusan generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak sesuai dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: "Alangkah buruk bidikan panah kalian". Mereka menjawab, "Nahnu qawmun muta’alimiina (kami adalah para pemula)"5, maka Umar berkata, ‘Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya bidikan kalian…"6 Sungguh, sangat keras teguran beliau kepada orang yang salah dalam berbahasa.
Imam Syafi'i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab. Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau mempelajari dari kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa’, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil, Ibnul Fathi Al Ba’li. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi. Demikian halnya dengan Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu: Sayyid Isma’il bin Al Hasan, Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.
Tidak berbeda dengan mujaddid 'pembaharu' abad ini seperti Syaikh Al-'Alamah Abdul Azis bin Baaz, Al-'Alamah Al-Albani, dan Al 'Alamah Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka mencurahkan segala-galanya untuk Islam. Mereka menimba ilmu semenjak kecil, tidak pernah bosan dan berputus asa. Ilmu bahasa Arab pun tidak tertinggal untuk mereka pelajari.
Syaikh AlBani pernah berkata, "Sesungguhnya di antara nikmat yang besar dan tak terhingga dari Allah kepadaku ada dua hal; hijrahnya ayahku ke Syam dan dia mengajarkanku memperbaiki jam." Dia belajar dari ayahnya cara memperbaiki jam hingga dia mahir dan terkenal dalam bidang itu. Dia mencari nafkah dengan itu. Dia berkata, "pertama aku diberi kemudahan untuk belajar bahasa Arab yang sebelumnya ketika kami di
Subhanallaah, mereka adalah ulama-ulama yang terkenal kedalaman ilmunya begitu perhatian, semangat, gigih untuk mempelajari bahasa Arab. Pantaskah kita untuk meremehkan bahasa ini?
Saturday, 5 June 2010
Tips Menulis Cerpen
Menulis cerpen (cerita pendek) dapat menjadi permulaan karir yang baik sebagai penulis fiksi. Menulis cerita yang sangat panjang, seperti novel pastilah lebih membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Belum lagi mencari penerbit yang mau menerbitkannya. Cerita pendek dapat menjadi terobosan dalam karir menulis. Lebih banyak alternatif bagi penulis cerita pendek untuk dikenal, daripada novel. Majalah dan koran banyak yang menerima cerita pendek. Blog bisa juga menjadi alternatif dimuatnya cerita pendek di internet. Seringnya nama penulis muncul dalam cerita pendek yang dimuat di berbagai majalah dan koran, bisa menjadi pertimbangan positif bagi penerbit, bila penulis tersebut menyodorkan naskah cerita yang lebih panjang seperti novel ke penerbit.
Tulisan ini ditujukan pada penulis pemula yang ingin menulis cerita pendek dengan baik. Sesuai namanya, menulis cerita pendek memiliki keunikan tersendiri.
Tema
Sebaiknya Anda memiliki tema yang jelas saat menulis cerpen, tentang cerita seperti apa yang ingin Anda tulis. Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca. Dengan adanya tema, yang menjadi tulang punggung cerita, maka cerpen Anda akan meninggalkan kesan tersendiri pada pembaca. Penetapan tema dari awal juga berguna agar saat menulis, Anda tidak terlalu jauh melenceng dari cerita sudah ditetapkan.
Alur cerita
Fokuslah pada satu alur cerita sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan sebelumnya. Karakter tambahan, sejarah, latar belakang, dan detail lainnya sebaiknya memperkuat alur cerita ini. Percabangan alur cerita mutlak harus dihindari.
Karakter
Jangan menggunakan jumlah karakter yang terlalu banyak. Semakin banyak karakter bisa membuat cerita Anda menjadi terlalu panjang dan tidak fokus pada tema. Gunakan karakter secukupnya yang sesuai dengan alur cerita.
Sepenggal kisah hidup
Namanya saja cerita pendek, sehingga cerpen hanya menceritakan tentang sekelumit kisah dalam hidup karakter yang Anda buat. Jika karakter Anda memiliki kisah hidup yang sangat panjang, tulis hanya sebagai background yang menjadi penguat tema cerita tersebut. Tekankan hanya pada satu bagian dari hidupnya untuk ditulis.
Penggunaan kata
Bagaimanapun cerpen memiliki keterbatasan dalam jumlah kata yang bisa dipakai, apalagi cerita super pendek seperti flash fiction. Seringkali majalah atau koran tertentu benar-benar membatasi jumlah kata yang bisa dipakai. Jadi, Anda sebaiknya menggunakan pilihan kata yang efisien dan menghindari menggunakan kalimat deskriptif yang berpanjang-panjang.
Impresi
Secara tradisional, cerpen dimulai dengan pengenalan karakter, konflik, dan resolusi. Alternatif lain, adalah Anda dapat membuat impresi pada pembaca justru pada awal cerita, dengan langsung menghadirkan konflik. Karakter Anda sudah berada di dalam kekacauan besar. Hal ini akan membuat pembaca semakin penasaran, ada apa yang terjadi sebenarnya, bagaimana karakter tersebut akan mengatasi persoalannya. Pengenalan karakter, setting, dll dapat dilakukan secara perlahan-lahan di bagian cerita berikutnya.
Kejutan
Beri kejutan pada pembaca di akhir cerita. Hindari membuat akhir cerita yang mudah ditebak.
Konklusi
Jangan biarkan pembaca meraba-raba dalam gelap pada akhir cerita Anda. Pastikan konklusi di akhir cerita Anda memuaskan, tetapi juga tidak mudah ditebak. Pembaca perlu dibuat berkesan pada akhir cerita, tentang apa yang terjadi pada karakter tersebut. Akhir cerita yang mengesankan akan selalu diingat oleh pembaca, bahkan setelah lama mereka selesai membaca cerita tersebut.
Copyright Penerbit Escaeva BACA SELENGKAPNYA>>>>