Monday 12 March 2012

Kesesatan Wahabi

Di bawah ini ada sedikit uraian tentang wahabi dan kesesatannya, saya hanya menukil, sedangkan pandangan kembali pada diri masing-masing. 
























Menelanjangi Kesesatan Salafi Wahabi 

Judul      : Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi 
Penulis   : Syaikh Idahram 
Penerbit : LKiS Yogyakarta Cetakan: I, 2011 
Tebal     : 340 halaman, 13,5 x 20,5 cm ISBN: 602-8995-02-3 


Peresensi: Hairul Anam 

Selama ini, kaum Salafi Wahabi selalu getol menyesatkan umat Islam yang tak selaras dengan ideologinya. Mereka cenderung melakukan beragam cara, terutama melalui tindakan-tindakan anarkis yang meresahkan banyak kalangan. Padahal, ketika dilakukan kajian mendalam, justru Salafi Wahabi-lah yang sarat dengan pemahaman menyesatkan. Sesat karena berbanding terbalik dengan ajaran Islam yang terkandung di dalam hadis dan al-Qur’an. Setidaknya, buku ini memberikan gambaran jelas akan hal itu. 

Buku berjudul Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, ini secara komprehensif mengungkap kesesatan pemikiran para ulama yang menjadi panutan utama kaum Salafi Wahabi. 

Didalamnya dijelaskan betapa para ulama Salafi Wahabi itu menggerus otentisitas ajaran Islam, disesuaikan dengan kepentingan mereka. Terdapat tiga tokoh utama Salafi Wahabi: Ibnu Taimiyah al-Harrani, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani. Pemikiran mereka nyaris tidak membangun jarak dengan kerancuan serta beragam penyimpangan. Penyimpangan yang dilakukan Ibnu Taimiyah (soko guru Salafi Wahabi) ialah meliputi spirit menyebarkan paham bahwa zat Allah sama dengan makhluk-Nya, meyakini kemurnian Injil dan Taurat bahkan menjadikannya referensi, alam dunia dan makhluk diyakini kekal abadi, membenci keluarga Nabi, menghina para sahabat utama Nabi, melemahkan hadis yang bertentangan dengan pahamnya, dan masih banyak lagi lainnya. Dalam pada itu, wajar manakala ratusan ulama terkemuka dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Ja’fari/Ahlul Bait, dan Syiah Itsna Asyariah) sepakat atas kesesatan Ibnu Taimiyah, juga kesesatan orang-orang yang mengikutinya, kaum Salafi Wahabi. Lihat di antaranya kitab al-Wahhabiyah fi Shuratiha al-Haqiqiyyah karya Sha’ib Abdul Hamid dan kitab ad-Dalil al-Kafi fi ar-Raddi ‘ala al-Wahhabi karya Syaikh Al-Bairuti. (hal. 90). 

 Sebagai penguat dari fenomena itu, terdapat ratusan tokoh ulama, ahli fikih dan qadhi yang membantah Ibnu Taimiyah. Para ulama Indonesia pun ikut andil dalam menyoroti kesesatan Ibnu Taimiyah ini, seperti KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Rais ‘Am Nahdhatul Ulama dari Jombang Jawa Timur), KH. Abu al-Fadhl (Tuban Jawa Timur), KH. Ahmad Abdul Hamid (Kendal Jawa Tengah), dan ulama-ulama nusantara tersohor lainnya. Pendiri Salafi Wahabi, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, juga membiaskan pemikiran yang membuat banyak umat Islam galau kehidupannya. Ragam nama dan pemikiran ulama yang menguak penyimpangannya dimunculkan secara terang-terangan dalam buku ini, dilengkapi dengan argumentasi yang nyaris tak bisa terpatahkan. 

Dibanding Ibnu Taimiyah, sikap keberagamaan Abdul Wahab tak kalah memiriskan. Ada sebelas penyimpangan Abdul Wahab yang terbilang amat kentara. Yakni: Mewajibkan umat Islam yang mengikuti mazhabnya hijrah ke Najd, mengharamkan shalawat kepada Nabi, menafsirkan al-Qur’an & berijtihad semaunya, mewajibkan pengikutnya agar bersaksi atas kekafiran umat Islam, merasa lebih baik dari Rasulullah, menyamakan orang-orang kafir dengan orang-orang Islam, mengkafirkan para pengguna kata “sayyid”, mengkafirkan ulama Islam di zamannya secara terang-terangan, mengkafirkan imam Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu Faridh, mengkafirkan umat Islam yang tidak mau mengkafirkan, dan memuji kafir Quraisy-munafik-murtad tapi mencaci kaum Muslimin. (hal. 97-120). 

Nasib Abdul Wahab tidak jauh beda dengan Ibnu Taimiyah; ratusan tokoh ulama sezaman dan setelahnya menyatakan kesesatannya. Di antara para ulama yang menyatakan hal itu adalah ulama terkenal Ibnu Abidin al-Hanafi di dalam kitab Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Juga Syaikh ash-Shawi al-Mishri dalam hasyiah-nya atas kitab Tafsir al-Jalalain ketika membahas pengkafiran Abdul Wahab terhadap umat Islam. Searah dengan Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab, Muhammad Nashiruddin al-Albani melakukan tindakan yang membentur kemurnian ajaran Islam. Ia telah mengubah hadis-hadis dengan sesuatu yang tidak boleh menurut Ulama Hadis. Sehingga, sebagaimana diakui Prof Dr Muhammad al-Ghazali, al-Albani tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menetapkan nilai suatu hadis, baik shahih maupun dhaif. Selain ketiga ulama di atas, ada 18 ulama Salafi Wahabi yang juga diungkap dalam buku ini. Mereka telah menelorkan banyak karya dan memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemikiran kaum Salafi Wahabi. 

Di samping itu, Syaikh Idahram juga menghimbau agar umat Islam mewaspadai terhadap tokoh Salafi Wahabi generasi baru. Mereka adalah anak murid para ulama Salafi Wahabi. Secara umum, mereka berdomisili di Saudi Arabia. Menariknya, buku ini kaya perspektif. Referensi yang digunakannya langsung merujuk pada sumber utama. Data-datanya terbilang valid. Validitas data tersebut dapat dimaklumi, mengingat karya fenomenal ini berpangkal dari hasil penelitian selama sembilan tahun, mulai 2001 sampai 2010. Selamat membaca!

* Penggiat buku di Intitut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep.
sumber

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Sunday 11 March 2012

Tetap "Husnudzon" Berprasangka Baik

saya bukan ahli dalam ilmu psikologi, namun dibawah ini saya berusaha sedikit menganalisa bagaimana pikiran positif bisa menentukan kehidupan seseorang apakah bisa menyebabkan kegagalan atau sebaliknya.

Penulis terkenal Doug Hooper pernah menyatakan "You are What You Think" dalam bukunya yang berjudul sama "you are what you think", seraya ia mengambil sebuah kesimpulan bahwa pendapat kita tentang ihwal\keadaan diri kita sendiri, termasuk masalah keberhasilan dan kegagalan adalah satu hal yang akan menjadi kenyataan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya "The 7 Habits of Highly Effective people" ia menyatakan bahwa kita melihat dunia, sesungguhnya bukan sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita adanya atau sebagaimana kita mengkondisikan diri untuk melihatnya.

Seseorang dapat saja merasa selamanya hidup gagal, atau mencap dirinya seakan terlahir dengan perasaan sudah sepantasnya menjadi manusia sial, pecundang, atau gagal. Namun perlu diketahui bahwa pandangan ini sesungguhnya lahir dari sikap diri negatif yang mendorong untuk melihat diri dan dunia luar dengan kaca mata kuda yang gelap dan satu arah, sehingga ia hampir tidak bisa melihat sisi pandang lain secara jernih sekalipun sebenarnya yang ia pandang adalah sesuatu yang positif atau memiliki unsur positif.

Apa yang kita pikirkan memang sangat mempengaruhi hasil yang akan kita peroleh. Seperti pernah dikatakan Dale Carnegie dalam bukunya : “Ingatlah kebahagiaan tidak tergantung pada siapa dirimu dan apa yang kamu miliki tetapi tergantung pada apa yang kamu pikirkan.”

Dan dalam buku La Tahzan ( Jangan Bersedih ) yang ditulis oleh Dr. Aid Al Qarni, beliau menyatakan :

“Apakah anda menginginkan kebahagiaan yang sesungguhnya? Tidak usah jauh-jauh anda mencarinya, karena kebahagiaan itu ada pada diri anda sendiri. Ia terdapat pada pikiran positif dan kreatif, khayalan yang indah kemauan yang optimis, dan hati yang selalu memancarkan kebaikan.”

Ada sebuah hadits Qudsi yang menerangkan kepada kita bahwa Allah senantiasa menurut pandangan dan prasangka hamba-Nya. " ana 'inda dzonni 'abdii bii" :

فقد قال عليه الصلاة والسلام { قال الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حيث ذكرني } الحديث رواه البخاري ومسلم من حديث أبي هريرة .

Rasulullah sholallohu'alaihi wasallam telah bersabda; Allah azza Wajalla berfirman: "Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada diri-Ku. Aku bersamanya setiap kali ia mengingat-Ku. (hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah rhadiallohuanhu)

bahkan dalam islam berprasangka baik dan berfikiran positif adalah ibadah bahkan sebaik-baik ibadah.

وأخرج أبو داود وابن حبان في صحيحه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم { من حسن الظن العبادة } ورواه الترمذي والحاكم بلفظ { إن حسن الظن بالله من حسن عبادة الله }

"Imam Abu Daud dan Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiallohu'anhu, dari Nabi Shalallohu'alaihiwasallam : Berprasangka Baik adalah sebagian dari ibadah, dan Imam Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan dengan lafadznya: sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah adalah termasuk sebaik-baik ibadah kepada Allah.

Demikian luar biasa efek dari berfikiran positif dan betapa sangat diperlukan dan bermanfaatnya kekuatan itu dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir positif akan menjadikan kita manusia yang selalu pandai bersyukur, menjadi penyabar dan tahan atas segala musibah sehingga semua perkara selalu baik adanya. Ketika kita mendapat anugerah, pikiran kita akan selalu mengatakan “ya Tuhan, telah kau limpahkan nikmat-Mu yang sangat banyak, betapa bersyukurnya aku sebagai hamba-Mu” dan saat ditimpa musibah akan mengatakan “tentu selalu ada hikmah di balik cobaan yang Engkau berikan, aku akan selalu sabar dan bertawakal. Saya yakin semuanya akan baik-baik saja nantinya.”

intinya jika kita berprasangka buruk kepada Allah maka hasil buruklah yang akan terjadi, sebaliknya jika kita berprasangka baik alias positif maka hasil baiklah yang akan diraih, saya menyebutkan penulis-penulis barat dan memunculkan perkataan mereka bukan berarti mengesampingkan para ulama islam, namun saya ingin menjabarkan bahwa mereka (barat) biasa dapat menyimpulkan hal tersebut belakangan ini ketika abad ilmu pengetahuan berkembang pesat, namun Nabi kita Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam telah bersabda di dalam hadits qudsi diatas 14 abad yang lalu, bahwa positif dan negatif itu tergantung kita, tergantung prasangka kita, subhanallah.... Maha Benar Allah dan Rasul-Nya.

Be positive people for better life :)

semoga bermanfaat,,,,,

ditulis di damaskus 2012

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Keutamaan Do'a

apa saudara-saudara suka berdoa ? sudah tahukah keutamaan dan urgensi dari do'a, berikut diantara fadhilah do’a:

1. Do'a adalah ibadah berdasarkan firman Allah :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Artinya : Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina ". [Ghafir : 60]

2. Doa adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ليس شيئ أكرم علي الله تعالى من الدعاء
"Artinya : Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa". [Sunan At-Timidzi, bab Do'a 12/263, Sunan Ibnu Majah, bab Do'a 2/341 No. 3874. Musnad Ahmad 2/362, Al-hakim dan beliau mensohihkannya].

3. Allah murka terhadap orang-orang yang meninggalkan doa, berdasarkan hadits bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
من لم يسأل الله يغضب عليه
"Artinya : Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan memurkainya". [Sunan At-Tirmidzi, bab Do'a 12/267-268].

4. Doa mampu menolak takdir Allah, berdasarkan hadits dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لا يرد القضاء إلا الدعاء
"Artinya : Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa". [Sunan At-Tirmidzi, bab Qadar 8/305-306]

5. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berdoa, barangsiapa yang meninggalkan doa berarti menentang perintah Allah dan barangsiapa yang melaksanakan berarti telah memenuhi perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

"Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". [Al-Baqarah : 186].

6. Doa bermanfaat bagi apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Ibnu Umar radhiallohuanhu:
الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل فعليكم عبادالله بالدعاء

Doa itu bermanfaat terhadap apa yang telah turun (peristiwa yg telah terjadi) dan yang belum turun, maka selalulah berdoa wahai hamba Allah. (diriwayatkan Imam Ahmad dan Al-Hakim, dan hadits ini Hasan)


berikut contoh doa-doa yang berasal dari Al-Quran dan Nabi sholallohu alaihiwasallam, bisa diamalkan diantaranya :

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku melakukan perbuatan yang baik yang Engkau ridai, dan masukkanlah kami dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-Mu yang salih”.[1]

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Wahai Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku melakukan perbuatan yang baik yang Engkau ridai, dan berilah kami kebaikan bagi anak keturunan kami. Sesungguhnya kami bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah.[2]

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman berserah diri”.[3]

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[4]

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tiada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya itu tertulis dalam Kitab yang nyata”.[5]

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya aku menyerahkan diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata-pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus”.[6]

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa (mengurus) rizkinya. Allah-lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.[7]

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Apa saja rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang Allah menghalangi dari manusia, tidak ada seorangpun yang dapat melepaskannya setelah itu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.[8]

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab “Allah”. Katakanlah : “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhalamu-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya bertawakal orang-orang yang berserah diri”.[9]

اللّهم أنت ربّى لا اله الا أنت عليك توكّلت و أنت ربّ العرش العظيم ما شاء الله كان وما لم يشاء لم يكن ولا حول ولا قوة الا بالله العلىّ العظيم أعلم أنّ الله على كل شىء قدير و أنّ الله قد أحاط بكل شىء علما اللّهم انى أعوذبك من شرّ نفسى ومن شرّ كل دابّة أنت آخذ بناصيتها ان ربّى على صراط مستقيم .
“Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada tuhan selain Engkau, hanya kepada-Mu aku berserah diri. Engkau menguasai ‘arasy yang agung. Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah tidak akan terjadi. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah, yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Aku mengetahui bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu; dan Aku mengetahui bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku dan dari kejahatan semua makhluk yang di bumi. Sesungguhnya Engkau menguasai ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus”. [10]
------------------------------------
[1] Q.S. al-Naml : 19. Doa pada ayat ini adalah doa dari Nabi Sulaiman AS mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
[2] Q.S. al-Ahqaf : 15.

[3] Q.S. al-Tawbat : 51.

[4] Q.S. Yunus : 107.

[5] Q. S. Hud: 6.

[6] Q.S. Hud: 56.

[7] Q.S. al-‘Ankabut: 60.

[8] Q.S. Fathir: 2.

[9] Q.S. al-Zumar : 38.
[10] Doa ini dinamakan Doa Abu Darda’, merupakan salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hendaknya dibaca setiap pagi sesudah salat subuh (Minhaj al-Qashidin (Mukhtashar Ihya’ ‘Ulum dl-Din), h. 62. Terdapat pula dalam kitab Sabil al-Muhtadin fi Dzikr Ad’iyah Ashhabil Yamin, h. 50

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Sunday 4 March 2012

Pentingkah Belajar Bahasa Arab ?

Bahasa Arab adalah bahasa yang dipilih Allah sebagai bahasa Al-Quran yang diturunkan kepada manusia sebagai pedoman hidup dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman, bahasa Arab adalah bahasa wahyu, Al-Qur’an menyebutkan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu sebanyak 11 kali (QS. Az-Zukhruf: 3, Yusuf: 2, Fushshilat: 3 & 44, As-Syura: 7, Al-Ahqaf: 12, al-Ra’d: 37, An-Nahl: 103, Taha: 113, As-Syu’ara: 192-195 dan Az-Zumar: 27-28) di antara firman tersebut adalah: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (2) “Sesungguhnya Kami turunkan Al-Quran dalam bahasa Arab agar kamu mengerti”. (QS. Yusuf 2).

Al-Quran adalah sumber rujukan umat Islam di dunia dalam mengambil hukum dan tata cara peribadatan mereka, ibadah kepada Allah, Tuhan seluruh alam semesta adalah hakikat penciptaan manusia oleh karena itu ibadah sangatlah penting dan hal yang paling pokok untuk diketahui oleh setiap orang. Peran Bahasa Arab tidak bisa dilepaskan dalam pengambilan hukum ini, karena Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan bahasa rasul-Nya yang keduanya (Al-Quran dan Al-Hadits) adalah sumber pokok bagi umat islam. Bahasa Arab selain merupakan bahasa Al-Qur’an (Firman Allah atau kitab pedoman umat Islam) yang memiliki tata bahasa yang tinggi dan bermutu juga memiliki sastra yang sangat mengagumkan dan manusia tidak mampu untuk menandingi. Menurut Abdul Alim Ibrahim (1978) bahwa bahasa Arab merupakan bahasa orang Arab sekaligus juga merupakan bahasa Islam. (Azhar Arsad) Bahasa Arab dan Beberapa Metode Pengajarannya, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003).

Bahasa lain termasuk bahasa Indonesia, tidak dapat diandalkan untuk memberikan kepastian arti yang tersurat dan tersirat yang terkandung dalam Al-Qur’an (Ash Shidiqi, 1975;2007) karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka kaidah-kaidah yang diperlukan dalam memahami Al-Qur’an bersendikan atas kaidah-kaidah bahasa Arab, memahami asas-asasnya, merupakan tata bahasanya dan mengetahui rahasia-rahasianya (Ash Shidqi, 1972;284). Dewasa ini semakin banyak umat Islam yang belum memahami betapa pentingnya bahasa Arab sehingga mereka acuh, tidak memperdulikan bahasa Arab dan enggan untuk mempelajarinya. Di samping itu sebagian besar umat Islam pada umumnya dan para remaja muslim pada khususnya menganggap bahwa mempelajari bahasa Arab itu sangat sulit dan rumit, padahal sebenarnya tidak sesulit apa yang dibayangkan jika mereka mau mempelajarinya. Bahasa Arab merupakan salah satu komponen dalam islam yang sangat penting, umat islam akan bodoh terhadap agama mereka dan akan timbul perselisihan diantara mereka jika mereka tidak menguasai bahasa Arab.

Imam Syafi’i mengatakan : ”Manusia menjadi buta agama, bodoh, dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles”. (Siyaru A’lamin Nubala, Imam Adz-Zahabi 10/74) Itulah ungkapan Imam Syafi’i bagi umat, agar kita jangan memarginalkan bahasa kebanggaan umat Islam. Seandainya sang Imam menyaksikan sikap umat sekarang ini terhadap bahasa Arab, tentulah keprihatinan beliau akan semakin memuncak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim hlm. 204). Asy-Syafi’iy berkata sebagaimana diriwayatkan As-Silafi dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam, beliau berkata: “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-syafi’iy berkata: “Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual beli (berdagang) dengan nama tujjar (tujjar dalam bahasa Arab artinya para pedagang-pent), kemudian Rosulullah juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa arab. Sedangkan “samasiroh” adalah penamaan dengan bahasa `ajam (selain arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa arab menamai para pedagang kecuali dengan nama tujjar dan janganlah orang tersebut berbahasa Arab lalu dia menamakan sesuatu (apapun juga-pent) dengan bahasa `ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah, sehingga Allah menurunkan kitab-Nya yang dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab merupakan bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 


Oleh karena itu, kami katakan seyogyanya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain. Imam Syafi’iy membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia tidak berbahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa `ajam.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Abu Bakar bin ‘Ali Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushanaf:“Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tidaklah seorang belajar bahasa Persia kecuali menipu, tidaklah seseorang menipu kecuali berkurang kehormatannya. Dan Atho’ (seorang tabi’in) berkata: Janganlah kamu belajar bahasa-bahasa ajam dan janganlah karnu masuk gereja – gereja mereka karena sesungguhnya Allah menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Tanda keimanan pada orang ‘ajam (non arab) adalah cintanya terhadap bahasa arab.” Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan bahasa selain Arab, yang mana bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa selain arab menjadi kebiasaan bagi penduduk suatu daerah, keluarga, seseorang dengan sahabatnya, para pedagang atau para pejabat atau bagi para karyawan atau para ahli fikih, maka tidak disangsikan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabuh (menyerupai) dengan orang `ajam dan itu hukumnya makruh.”(Iqtidho Shirotil Mustaqim). 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Kisah Sahabat Abu Darda Rodhiallohu'anhu

Ia sahabat Rasulullah yang penuh dengan hikmah. Sampai kini ajarannya masih relevan untuk direnungkan.
Makam beliau ada di damaskus. mari kita simak kisah beliau.

Salah seorang di antara sahabat Rasulullah SAW yang utama ialah Abu Darda. Ia dikenal sebagai sahabat yang cerdas, tapi hidupnya sederhana. Ia bahkan menjalani hidup sebagai sufi yang wara – menjauhi kehidupan duniawi, lebih mementingkan ibadah. Ia salah seorang sahabat yang kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi sahabat Nabi yang lain. Beliau  salah seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur itu, masuk Islam karena kejujurannya, banyak orang yang lebih suka berdagang dengannya ketimbang dengan pedagang lain. Sebab sebagai pedagang ia tidak pernah menipu.

Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku kesampingkan perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski setiap hari untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT. Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT. Tak kurang, sejarawan dari Mesir, Khalid Muhammad Khalid, sempat memujinya. Dalam bukunya, para sahabat yang akrab dengan ehidupan Rasul, ia menulis tentang Abu Darda, “tidakkah anda perhatikan sinar memancar di sekeliling keningnya? Dan tidakkah anda mencium aroma yang semerbak dari arah dia? Itulah cahaya hikmah dan harumnya Iman.

Sesungguhnya Iman dan Hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu pada Allah ini. Suatu pertemuan yang bahagia tiada tara.” Abu Darda mampu memadukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akherat. Setelah meninggalkan perniagaan, belakangan ia menjalani hidup sebagai sufi. Berikut beberapa ajaran Abu Darda yang penuh hikmah. “Maukah anda mendengarkan jika aku smpaikan amalan yang terbaik? Amalan yang terbersih disisi Allah, yang mampu mempertinggi derajat anda, yang lebih baik daripada memerangi musuh di medan perang, yang lebih baik daripada uang emas dan perak?” kata Abu Darda, “Amalan apakah itu?” tanya para sahabat. Jawab Abu Darda. “Dzukrullah, karena dzikir kepada Allah itu lebih utama. Anak Durhaka Suatu hari Abu Darda mengirim surat kepada sahabatnya, “tak ada satupun harta di dunia ini yang kamu miliki melainkan sudah ada orang yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada terus orang lain yang memilikinya sesudah kamu. 

Sebenarnya harta yang kamu miliki sekedar yang kamu telah manfaatkan untuk dirimu. Maka utamakanlah harta itu untuk orang yang membutuhkannya, yaitu anak-anakmu yang mewarisimu. Mungkin kepada anak saleh yang beramal untuk Allah – maka engkau akan bahagia, mungkin kepada anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat – maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah engkau kumpulkan. Maka pecayakanlah nasib mereka kepada rezeki Allat SWT, dan selamatkanlah dirimu sendiri.” Menurut pandangan Abu Darda, dunia seluruhnya hanyalah titipan Allah SWT. Ketika banyak harta rampasan di bawa ke Madinah sebagai hasil kemenangan pasukan Islam di Cyprus, Abu Darda malah menangis, maka sahabat Zubair bin Nafis pun bertanya, “Wahai Abu Darda, mengapa engkau menangis ketika di menangkan oleh Allah SWT?’ jawab Abu Darda, “Wahai Zubair, alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, selagi ia perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu meninggalkan amanat Allah SWT, jadilah mereka seperti yang engkau lihat.” 

Suatu hari, Abu Darda berkunjung ke Syiria, yang kala itu makmur, penduduknya hidup dalam gelimang kemewahan. Melihat kenyataan itu ia memberi peringatan. “Wahai warga Syiria, kalian adalah saudara seagama, tetangga dan pembela dalam melawan musuh bersama, tapi aku heran melihat kalian, mengapa kalian tidak punya rasa malu?” kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan, kalian bangun semua yang tidak kalian huni, kalian harapkan apa yang tidak kaliana dapat. Beberapa kurun waktu sebelum kalian, kaum Ad telah mengumpulkan dan menyimpannya, mereka memimpikan dan membina, lalu meneguhkan bangunan, tapi akhirnya semua binasa. Angan-angan mereka jadi fatamorgana, dan rumah mereka jadi kuburan belaka.” 

Sebagai ahli hikmah, Abu Darda selalu terbuka untuk meneliti dan merenungkan kembali ibadahnya. Ia selalu mengingatkan orang akan perilaku palsu, karena kepalsuan melemahkan Iman, merasa lebih dari orang lain dan sombong. Tentang hal ini ia berkata, “kebaikan sebesar Zarah (butiran kecil) dari orang yang bertaqwa lebih berat dan bernilai daripada ibadah setinggi gunung dari orang yang menipu diri sendiri.” Ibadah menurut Abu Darda, bukan sekedar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan Ridla Allah SWT, melainkan juga senantiasa rendah hati, mengingat kelemahan diri sendiri. Ia berkata, “carilah kebaikan sepanjang hidupmu, sebab Allah SWT mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. 

Mohonlah kepada Allah SWT agar ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu, serta menghilangkan rasa tidak tentram di hatimu.” Itulah beberapa nasehat Abu Darda yang penuh dengan cahaya hikmah dan kebeningan hati. Banyak ulama yang menyatakan, Abu Darda adalah salah seorang peletak fondasi Tasawuf. Karena lebih suka bersunyi diri, sampai di akhir hayatnya orang tidak tahu kapan ia wafat dan dimana dikebumikan. Sebab hidupnya memang hanya untuk Allah SWT, “Berniaga” dengan Allah, dan hanya Allah SWT yang mengetahui segala hal mengenai dirinya. 

Referensi Kisah: Alkisah Nomor 21 / 11-24 Oktober 2004

BACA SELENGKAPNYA>>>>

Saturday 3 March 2012

Doa Penutup Majelis atau Acara

Doa penutup biasanya selalu ada dalam setiap susunan sebuah acara, karena penutup makanya ia berada di akhir sebuah acara, namun doa apa yang harus dibaca ? ada sebuah hadits tentang masalah ini, Tentang doa ini, sebagaimana disebutkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap orang yang berada dalam sebuah majelis (tempat orang-orang berkumpul) dan banyak berbicara di dalamnya, kemudian sebelum beranjak dari majelisnya tersebut ia membaca subhaanakaLlahumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik, maka dosa-dosa yang dilakukannya di majelis tersebut akan diampuni.


doa akhir majelis :
سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنِتَ أَسْتَغْفِرُكَ

وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

[MahasuciEngkau, Ya Allah. Dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan haq selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu]

setelah itu boleh membaca doa apapun untuk kemashlahatan bersama, yang paling mudah adalah dengan doa sapu jagat, ada dalam surah Al-Baqoroh ayat 201:
ربنا اتنا في الدنيا حسنة و في الأخرة حسنة وقنا عذاب النار

Artinya: "Ya Tuhan, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa neraka.

bisa ditambah dengan doa ini

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا ، وَتَفَرُّقَـَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقاً مَعْصُوْمًا ، وَلاَ تَجْعَلِ اللَّهُمَّ فِيْنَا وَلاَ مَعَنَا وَلاَ مَنْ يَتْبَعُنَا شَقِيًّا وَلاَ مَطْرُوْدًا وَلاَ مَحْرُوْمًا

Yaa Allah jadikanlah perkumpulan ini adalah perkumpulan yang dirahmati. Dan jadikanlah perpisahan ini perpisahan yang terjaga (dari bencana), dan Yaa Allah jangan Engkau jadikan diantara kami,siapa yang bersama kami dan siapa yang mengikuti kami orang-orang yang sakit, orang yang tertolak (amal2nya) dan terhalang (dari ridhoMu),

bisa juga doa-doa yang lainnya...terserah anda, yang penting untuk kebaikan :)

dan terakhir jangan lupa tutup dengan sholawat :

وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ ، وَالْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ."



BACA SELENGKAPNYA>>>>
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...