Thursday 14 July 2011

Kenapa Harus Bermadzhab ?

Pada sa’at ini semakin banyak orang yang merasa mereka lebih hebat dibandingkan ulama ulama dahulu. Mereka mencoba menebarkan slogan untuk tidak bermadzhab, tetapi mengambil hukum dari al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. Slogan (semboyan = perkataan) berhukum al-Qur’an dan hadits benar tetapi memiliki tujuan yang salah, dan akan menghasilkan kesalahan yang besar. Adapun diantara dalil-dalil yang diucapkan oleh mereka yang anti madzhab ialah:




1 – Rasulullah tidak pernah memerintahkan kita untuk bermadzhab, bahkan memerintahkan kita mengikuti sunnahnya.
2 – al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi dalil dan hukum sehingga tidak di perlukan lagi Madzhab-madzhab.
3 – Madzhab-madzhab itu bid`ah karena tidak ada pada zaman Rasul.
4 – Seluruh ulama Madzhab seperti Imam Syafi`i melarang orang-orang mengikuti mereka dalam hukum.
5 – Bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti telah menolak sunnah Nabi Muhammad SAW.
6 – Pada Zaman sekarang sudah semestinya kita berijtihad, karena dihadapan kita telah banyak kitab-kitab hadits, Fiqih, ulumul Hadits dan lain-lain, kesemuanya itu mudah didapati.
7 – Para Ulama Madzhab adalah manusia biasa, bukan seorang nabi yang ma’shum dari kesalahan, semestinya kita berpegang kepada yang tidak ma’shum yaitu hadits-hadits Rasulullah.
8 – Setiap hadits yang shahih wajib diamalkan, tidak boleh menyalahinya dengan mengikuti pendapat ulama madzhab.

Ini sebahagian hujjah-hujjah mereka, kita akan jawab satu persatu insyaAllah. 

Masalah pertama
1 Rasulullah tidak pernah memerintahkan kita untuk bermadzhab. Dari maknanya, tidak ada perintah untuk bermazhhab secara khusus, akan tetapi, bermazhab diperintahkan secara umum.
Perintah umum tersebut terdapat didalam al-Qur`an dan Hadits Rasul , demikian juga disana tidak terdapat larangan untuk bermazhab dari Rasulullah. Dengan demikian tidak boleh kita buang dalil umum yang menyuruh untuk bermadzhab. Bahkan sebagian dalil dan hujjah-hujjah menjurus kepada kekhususan mengikuti ulama-ulama yang telah sampai derajat Ijtihad.

Berikut ini saya aka uraikan beberapa dalil tentang bermadzhab:
1 – Allah Berfirman :
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya : Hendaklah bertanya kepada orang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.
Penjelasan ayat : ayat ini memerintahkan orang-orang awam yang tidak mengetahui sesuatu, atau belum mencapai derajat mujtahid untuk bertanya kepada orang alim atau orang yang telah sampai derajat Mujtahid. Hal ini bermakna orang yang tidak sampai derajat mujtahid diharuskan mengikuti mazhab-madzhab yang di i’tiraf (diakui) oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.

Siapa yang merasa tidak memiliki ilmu maka dia wajib bertaqlid kepada ulama, sebab Allah tidak mengatakan , jikalau kau tidak mengetahui maka hendaklah lihat didalam al-Qur`an dan Hadits. Karena al-Qur`an dan al-Hadits memiliki pemahaman yang hanya ulama yang mujtahid saja yang memahaminya. Karena itulah Allah memerintahkan untuk bertanya kepada Ulama mujtahid akan arti dan pemahaman dari al-Qur`an dan al-Hadits.
2 – Rasulullah SAW bersabda :
عن عبد الله بن عمرو بن العاصي قال ” سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالم اتخذ الناس رؤسا جهالا، فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. ( رواه البخاري و مسلم والترمذي وابن ماجه ولا أحمد والدارمي ).
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hati hamba-hambanya ( ulama ) akan tetapi mengambil ilmu dengan mencabut nyawa ulama, sehingga apabila tidak terdapat ulama, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh ( menjadi pegangan mereka ), mereka bertanya hukum kepadanya, kemudian orang-orang bodoh itu berfatwa menjawab pertanyakkan mereka, jadilah mereka sesat dan menyesatkan pula. ( H.R Bukhari, Muslim , Tirmidzi , Ibnu Majah. Ahmad, ad-Darimi).

Penjelasan hadits : Hadits ini menunjukkkan kepada kita semakin sedikitnya ulama pada masa sekarang. Siapa yang mengatakan semangkin banyak maka dia telah menyalahi hadits Nabi yang shahih dan kenyataan yang ada. Sebab Allah mencabut nyawa ulama, dan tidak ada pengganti yang dapat menandingi keilmuannnya. Siapa yang dapat menandingi keilmuan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`I, Imam Ahmad pada zaman sekarang? Tidak ada yang mampu. Mereka telah wafat dan meninggalkan warisan yang sangat besar , yaitu ilmu dan madzhab-mazhab mereka.

Jadi orang -orang awam yang mengambil warisan ilmu-ilmu mereka seolah-olah seperti bertanya lansung kepada Imam yang empat. Dengan begitu, jauhlah mereka dari kesesatan dan menyesatkan orang. Tetapi orang bodoh yang tidak mau bermadzhab akan menanyakan permasalahannya kepada orang yang berlagak alim dan mujtahid tetapi bodoh, tolol dan sok tahu, maka dia berfatwa menurut hawa nafsunya dan perutnya dalam memahami hadits dan lainnya. Orang ini sangat membahayakan dan menyesatkan umat Islam. Mereka tidak menyadari kesesatan mereka dan berusaha untuk menyebarkan pemahaman mereka, inilah ciri-ciri kebodohannya.

Dari hadits ini kita perlu bertanya, mengapa Rasul mengatakan,”mereka bertanya kepada orang-orang bodoh”. Penyebab mereka mengambil ilmu kepada orang yang bodoh ialah karena orang alim sudah tiada lagi. Padahal kitab-kitab hadits semangkin banyak dicetak, kitab-kitab ilmu semangkin menyebar di kalangan masyarakat. Penulis melihat ada beberapa sebab :

1 – Pentingnya ulama madzhab dalam menuntun pemahaman yang ada dari al-Qur`an dan al-Hadits, sehingga apabila ulama meninggal dunia, tiada lagi orang yang mampu mengajarkan pemahaman yang sebenarnya dari al-Qur`an dan al-Hadits.
2 –Orang-orang yang sesat menolak untuk mengikuti madzhab-madzhab yang telah tertulis dan dibukukan, sehingga mereka lebih memilih orang yang berlagak lebih tahu dalam memahami al-Qur`an dan al-Hadits dibandingkan ulama-ulama terdahulu.
3 – Orang yang paling bodoh ialah yang tidak mengetahui bahwa dia bodoh, sehingga dia berfatwa walaupun dalam keadaan bodoh, tidak ingin melihat kembali apa kata ulama-ulama madzhab di dalam kitab mereka.
4 – Salah satu tanda hari kiamat adalah madzhab bodoh lebih berkembang dan menyesatkan orang yang bermadzhabkan empat madzhab.
5 – Dari hadits diatas juga kita fahami bahwa pada zamansekarang sangat sulit kita dapati ulama yang kedudukannya sampai kepada ulama mujtahid. Apabila kita menyalahi hal ini, kemungkinan kita telah mengingkari hadits Rasul yang menceritakan tentang ilmu akan dicabut dari permukaan bumi ini dengan wafatnya ulama. Pada abad pertama hijriyah, puluhan , bahkan ratusan orang sampai kepada derajat al-Hafizh dan mujtahid, demikian juga pada abad kedua, ketiga, dan keempat. Tetapi setelah itu, ulama-ulama semakin berkurang, apalagi pada zaman kita sekarang. Jadi apa yang dikatakan Rasul telah terjadi pada masa kini.

Kita dapat melihat, betapa banyak orang yang mengaku alim dan berfatwa, padahal dia tidak memiliki standar dalam berfatwa. Orang-orang ini bermuka tebal, seperti tembok China.
3 – Rasulullah bersabda :
لا تسبوا قريشا فإن عالمها يملأ الأرض علما
Artinya : Janganlah kamu menghina orang-orang Quraisy, karena seorang ulama dari kalangan bangsa Quraisy, ilmunya akan memenuhi penjuru bumi ini .
( H,R Baihaqi didalam al-Manaqib Syafi`i, Abu Naim didalam al-Hilyah, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi ).

Para ulama menta’wilkan maksud hadits tersebut kepada Imam Syafi`i al-Quraisyi yang telah menebarkan ilmu dan madzhabnya dibumi ini. Diantara ulama yang mengungkapkan hal itu ialah Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Abu Nuaim al-Ashbahani, Imam Baihaqi.

Dan maksud ilmu pada hadits tersebut adalah madzhab dan pemahamannya terhadap al-Quran dan sunnah, sebab pemahaman terhadap al-Qur`an dan sunnah itulah yang disebut ilmu. Ilmu itu adalah madzhab jika ilmu tersebut diikuti orang lain. Dengan demikian, madzhab adalah salah satu pemahaman al-Qur`an dan hadits yang diikuti oleh orang lain.


Masalah kedua
2 – Pendapat Saudara yang mengatakan bahwa Al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi sumber hukum adalah ungkapan seorang Mujtahid, yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Jika Saudara berkata demikian juga, berarti Saudara sudah menjadi mujtahid, dan sudah memiliki syarat-syarat ijtihad. Akan tetapi jika Akan tetapi jika tidak, maka saya sarankanagar Saudara mundur kebelakang, atau membeli cermin ( kaca ) agar dapat bercermin siapa diri anda, dan sampai mana keilmuan anda. Apabila cermin juga tidak mampu menunjukkan hakikat diri anda sendiri dalam keilmuan, maka hendaklah bercermin dengan ulama-ulama ahlus sunnah wal jama`ah, karena cermin yang ada dirumah harganya murah atau sudah pecah. jika tidak tergambar juga hakikat diri anda dihadapan orang lain, maka syaithan telah memperdayakan anda. Ingatlah, menjadi mujtahid itu amat berat, dan memiliki syarat-syarat yang sulit.

Rasul bersabda :
رحم الله امرءا عرف قدره
Artinya : Allah menyayangi seseorang yang mengetahui batas kemampuannya.
Kalau anda sadar akan batas keilmuan dan kemampuan anda, tentu anda akan mengikuti madzhab yang empat. Tetapi sayang, anda tidak melihat kelemahan dan kebodohan anda sendiri.
Perlu anda ketahui jika anda belum sampai kepada tahap Mujtahid, jika ingin mengambil langsung dari al-Qur`an dan Sunnah, apakah anda telah mengahapal al-Qur`an keseluruhannya? Atau paling sedikit ayat-ayat Ahkam, dan telah mengetahui maksud ayat-ayat tersebut, sebab-sebab turunnya ayat, apakah ayat tersebut tergolong Nasikh atau Mansukh, apakah ayat tersebut Muqayyad atau Muthalaq, atau ayat itu Mujmal atau Mubayyan, atau ayat tersebut `Am atau Khusus, kedudukan setiap kalimat didalam ayat dari segi Nahwu dan `Irabnya, Balaghahnya, bayannya, dari segi penggunanaan kalimat Arab secara `Uruf dan hakikatnya, atau majaznya, kemudian adakah terdapat didalam hadits yang mengkhususkan ayat tersebut, ini masih sebagian yang perlu anda ketahui dari al-Qur`an.

Sementara dalam Hadits, anda mesti menghapal seluruh hadits-hadits Ahkam, kemudian mengetahui sebab-sebab terjadinya hadits tersebut, mana yang mansukh dan mana yang Nasikh, mana yang Muqayyad dan mana yang Muthlaq, mana yang mujmal dan mubayyan, mana yang `Am dan Khas, dan mesti mengetahui bahasa arab dengan sedalam-dalamnya, agar tidak menyalahi Qaidah-Qaidah dalam bahasa. Hal ini meliputi Nahwu, Balaghah, bayan, ilmu usul Lughah.

Anda juga mesti mengetahui fatwa-fatwa ulama yang terdahulu, sehingga tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijma` ulama, dan mengetahui shahih atau tidaknya hadits yang akan digunakan. Hal ini meliputi pengetahuan tentang sanad, Jarah dan Ta`dil, Tarikh islami dan ilmu musthalah hadits secara umum dan mendalam, sebab tidak semua hadits shahih dapat dijadikan hujjah secara langsung, karena mungkin saja telah dimansukhkan, atau hadits tersebut umum dan adalagi hadits yang khusus, maka mesti mendahulukan yang khusus. Hal ini akan saya jelaskan insya Allah dalam pembahasan yang khusus.

Pertanyaannya adalah, sudahkan anda memiliki syarat yang telah kami sebutkankan, kalau sudah silahkan anda berijtihad sendiri, kalau belum jangan mempermalukan diri sendiri. Kebodohan yang paling bodoh adalah tidak mengakui diri bodoh, sehingga tidak mau belajar dari kebodohannya.
Masalah ketiga
3 – Pendapat anda yang mengatakan bermadzhab itu suatu yang bid’ah karena tidak terdapat pada zaman Rasul. Penulis mengira anda belum memahami kata-kata Bid`ah dengan sebenarnya. Tetapi, masalah ini insyaAllah akan kami akan buatkan sebuah pembhasan khusus.
Madzhab memang tidak ada pada zaman Nabi, karena para sahabat berada bersama nabi. Apabila ada permasalahan, maka mereka akan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, mulailah muncul madzhab-madzah di kalangan sahabat. Dan yang terkenal di antaraanya adalah madzhab Abu Bakar, madzhab Umar, Utsman, Ali, Abdullah Bin Umar, Sayyidah `Aiysah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Mas`ud, dll.
Demikian juga pada masa Tabi`in. Madzhab-madzhab telah bermunculan ketika itu, seperti madzhab Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Salim Bin Abdallah, Urwah Bin Zubair, dll. Imam Abu Hanifah juga tergolong Tabi`in yang memiliki Madzhab yang diikuti, begitu pula Imam Malik. maka jelaslah bahwa mengikuti madzhab yang ada dan diakui oleh ulama bukan hal yang bid`ah, jikalau hal tersebut bid`ah, niscaya para sahabat termasuk ahli bid`ah.
Masalah keempat

4 – Larangan ulama Madzhab kepada murid-muridnya agar jangan mengikuti mereka adalah hal yang tidak benar, sebab seluruh perkataan ulama Madzhab telah dirubah pemahamannya oleh orang tertentu. mari kita lihat sebagian kata-kata Imam Syafi`i` dan kisah Imam Malik.

A – Kisah Imam Malik berserta Khalifah Abu Ja`far al-Manshuri.
Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Waqidi, beliau berkata : Aku mendengar Malik Bin Anas berkata : ” ketika Abu Ja`far al-Manshur melaksanakan hajji, beliau memanggilku, maka aku bertemu dan bercerita dengannya, beliau bertanya kepadaku dan aku menjawabnya, kemudian Abu Ja`far berkata : ” Aku bermaksud untuk menulis kembali kitab yang telah kamu karang yaitu Muwaththa`, kemudian aku akan kirim keseluruh penjuru negeri islam, dan aku suruh mereka mengamalkan apa yang terkandung didalamnya, dan tidak mengamalkan yang lainnya. Dan meninggalkan semua ilmu-ilmu yang baru selain ” Muwaththa`, karena Aku melihat sumber ilmu adalah riwayat ahli Madinah dan ilmu mereka. Dan aku pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, Janganlah kamu buat seperti itu, karena orang-orang sudah memiliki pendapat sendiri, dan telah mendengarkan hadits Rasul, dan mereka telah meriwayatkan hadits-hadits yang ada, dan setiap kaum telah mengambil dan mengamalkan apa telah diamalkan pendahulunya, dari perbedaan pendapat para shahabat dan selain mereka, jika menolak apa yang mereka percayakan itu sangat berbahaya, biarlah mereka mengamalkan apa yang telah mereka amalkan dan mereka pilih untuk mereka”, berkata Abu J`afar: “Kalaulah engkau suruh aku untuk membuat seperti itu niscaya aku akan laksanakan.”

Dalam riwayat yang lain Imam Malik berkata : Wahai Amirul Mukminin Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW telah berpencar diberbagai negeri, orang-orang telah mengikuti madzhab mereka, maka setiap golongan berpendapat mengikuti madzhab orang yang diikuti. ( al-Intiqa : 41 , Imam Darul Hijrah Malik Bin Anas : 78 ).

Lihat bagaimana Imam Malik menjawab permintaan Khalifah Abu Ja`far. Beliau tidak melarang orang-orang untuk bertaqlid pada Madzhab yang mereka akui. Sebab pada masa itu madzhab fiqih sangat berkembang sekali. Seperti di Iraq madzhab Imam Abu Hanifah, Di Syam berkembang Madzhab Imam Auza`i, di Mesir berkembang madzhab Imam Laits Ibnu Sa`ad, dan masih banyak lagi madzhab-madzhab yang berkembang saat itu. Bahkan beliau menyarankan kepada Khalifah agar mereka dibenarkan untuk mengikuti madzhabnya masing-masing.

B – Perkataan Imam Syafi`i :
المزني ناصر مذهبي
Artinya : Al-Muzani itu adalah penolong ( dalam menyebarkan ) madzhabku
( Lihat Siyar `Alam an-nubala` li adz-Dzahabi : 12/493, Thabqatu Syafi`iyah al-Kubra Li as-Subki : 1/323, terbitan Dar kutub ilmiyah ).
Dari perkataan Imam Syafi`i diatas sangat jelas sekali bahwa beliau tidak melarang seorangpun untuk mengikuti madzhabnya, bahkan beliau mengatakan kepada murid-muridnya bahwa al-Muzani adalah seorang penolong dan penyebar madzhab Syafi`i. Apabila beliau melarang untuk mengikuti madzhabnya tentu beliau tidak mengatakan perkataan tersebut.

Diriwayatkan Imam al-Khatib didalam karangannya ” al-Faqih wa al-Mutafaqih ( 2 / 15 -19 ) ” cerita yang sangat panjang sekali tentang Imam al-Muzani seorang pewaris ilmu Imam Syafi`i, didalam akhirnya beliau mengungkapkan perkataan al-Muzani : ” Lihatlah apa yang kau tulis dari apa yanh ku ajarkan, tuntutlah ilmu dari seorang yang Faqih, maka kamu akan menjadi Faqih “.
Dari perkataan Imam al-Muzani yang memerintahkan muridnya untuk melihat apa yang beliau sampaikan, beliau tidak memerintahkan mereka untuk melihat kepada Hadits, karena hadits tidak boleh difahami dengan sebenarnya hukum yang terdapat didalamnya kecuali oleh seorang yang Faqih. Dan memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu kepada seorang yang Faqih bukan hanya untuk mengetahui hadits semata, sebab puncak ilmu hadits adalah Fiqih. Apabila bermadzhab itu dilarang, tentu Imam al-Muzani akan melarang muridnya untuk mengikuti apa yang beliau ajarkan, melainkan memerintahkan mereka mengambil hukum secara langsung dari al-Qur`an.

Masalah kelima

5 – Pendapat yang mengatakan bahwa bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti menolak Sunnah Rasulullah adalah pendapat yang tidak benar dan tidak berasas. Sebab seluruh ulama Mujtahid sangat berpegang teguh dalam mengamalkan sunnah Nabi SAW, mereka telah menjadikan al-Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur`an, dan kedudukan al-Hadits sangat tinggi dalam pandangan mereka.

Sebagian orang salah memahami perkataan Imam-imam Mujtahid seperti Imam Syafi`i dalam perkataanbeliau :
إذا وجدتم حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم على خلاف قولي فخذوا به ودعوا ما قلت
Artinya : Apabila kamu dapati perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah SAW maka tinggalkanlah perkataanku dan ambillah Hadits Rasul..
Perlu kita ketahui pemahaman yang mengatakan bahwa Imam Syafi`i melarang mengikuti pendapatnya adalah pemahaman yang salah, karena ungkapan Imam Syafi`i tersebut memiliki pemahaman sebagai berikut .
A – Kamu boleh mengikuti pendapatku selama pendapatku tidak bertentangan dengan Hadits Rasulullah.
B – Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya kedudukkan Hadits Nabi SAW dalam pandangan Imam Syafi`i.
C – Karena begitu besarnya kedudukan Hadits di hadapan Imam Syafi`i sehingga beliau menjadikan al-Hadits adalah sumber kedua didalam madzhabnya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan mungkin mendahulukan pendapatnya dari pada Hadits Rasul, kecuali apabila hadits tersebut tidak dianggap shahih dan memiliki beberapa sebab sehingga tidak boleh mengamalkannya, sebab tidak seluruh Hadits shahih boleh diamalkan.
D – Imam Syafi` hanya berpegang dengan hadits yang shahih menurut pandangannya, bukan hadits mansukh, atau hadits yang memiliki permasalahan dan `illat, karena beliau adalah seorang ahli hadits yang masyhur.

Masalah keenam
6 – Adapun ungkapan saudara yang mengatakan pada zaman sekarang ini sebenarnya semakin mudah untuk menjadi mujtahid karena banyaknya buku yang dicetak, berbeda dengan zaman dahulu, adalah ini tidak benar, bahkan menyalahi kenyataan yang ada. Coba kita lihat penyebab mengapa pada zaman ini sukar untuk menjumpai seorang mujtahid.

A – Tidak keseluruhan kitab telah dicetak dan disajikan kepada kita. Terbukti masih banyak lagi kitab ulama-ulama muslim yang tersebar dalam bentuk Makhthuthath ( Munuskrip ) di negeri Erofah, Mesir, Turki, Saudi Arabiyah, Pakistan, Hindia dan lain-lain.

B – Banyaknya kitab-kitab hadits yang hilang dan tidak ditemui pada saat sekarang ini disebabkan berbagai kejadian, seperti pembakaran kitab-kitab pada masa Monggolia menyerang Baghdad dan membakar seluruh kitab-kitab Islam, penghancuran Negeri Islam di Andalusia, dan lain-lain. Maka bisa saja hal ini boleh kita ketahui jika kita mentakhrij hadits, dan ingin melihat dari sumber aslinya, tetapi tidak diketemukan.

C – Pada zaman sekarang orang belajar ilmu menurut bidangnya masing-masing. Pelajar yang di Kuliah Syari`ah tidak mempelajari ilmu musthalah hadits secara mendalam, pelajar yang Kuliah Usuluddin tidak mempelajari Usul Fiqih dan Fiqih secara mendalam, pelajar Lughah bahkan sangat sedikit sekali mempelajari bidang ilmu fiqih dan hadits, dari cara belajar seperti ini bagaimana akan menjadi mujtahid?

D – Tidak adanya (langka) pada zaman sekarang orang dapat digelar al-Hafizh. Ini membuktikan betapa buruknya prestasi kita dalam bidang hadits dibandingkan dengan zaman-zaman sebelum kita. Bagaimana mau menjadi mujtahid hadits pun tidak hapal? Kalaulah dalam ilmu hadits saja kita belum mampu menjadi al-Hafizh bagaimana pula ingin menjadi al-Mujtahid?
e – Tetapi yang sangat lucunya yang ingin jadi mujtahid itu sekarang terdiri dari pelajar-pelajar kedoktoran,insinyur, mekanik, yang bukan belajar khusus tentang agama. Kalau pelajar agama saja tidak sampai kepada mujtahid bagaimana lagi dengan pelajar yang bukan khusus mempelajari agama? Kalau pun jadi mujtahid pasti mujtahid gadungan ( penipuan ).





Cobalah renungkan cerita Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya al-Muswaddah : 516, dan diungkapkan oleh muridnya Ibnu Qayyim. Dari Imam Ahmad, ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Ahmad: “Apabila seseorang telah menghapal hadits sebanyak seratus ribu hadits, apakah dia sudah dikira (dianggap) Faqih?” Imam Ahmad menjawab: “Tidak dikira (dianggap) Faqih,” berkata lelaki tersebut : ” jika dia hapal dua ratus ribu hadits ? “, Imam Ahmad menjawab : ” tidak disebut Faqih “, berkata lelaki tersebut : ” jika dia telah menghapal tiga ribu hadits ?”, Imam Ahmad menjawab : ” tidak juga dikira Faqih”, berkata lelaki tersebut : ” Jika dia telah menghapal empat ratus ribu hadits?” Imam Ahmad menjawab secara isyarat dengan tangannya dan mengerakkannya, maksudnya, mungkin juga disebut Faqih berfatwa kepada orang dengan ijtihadnya.
Cobalah renungkan dimana kedudukan kita dari Faqih dan al-Mujtahid, agar tahu kelemahan kita dan kebodohan kita.

E – Memang ada kitab-kitab yang dapat membantu kita agar dapat berijtihad. Tetapi yang jadi permasalahannya, apakah kita mampu benar-benar memahami apa yang kita baca? Apakah yang kita fahami sesuai dengan pemahaman ulama-ulama pada masa salafussalihin? Sebab membaca hadits dengan sendirian tanpa bimbingan seorang guru akan membawa kepada kesesatan, sebagaimana pesan ulama-ulama agar mengambil ilmu dari mulutnya ulama yang ahli.
خذوا العلم من أفواه العلماء
Artinya : Ambillah ilmu itu dari mulutnya para ulama.
Berkata Imam Ibnu Wahab seorang murid Imam Malik yang alim dalam ilmu Hadits:
الحديث مضلة إلا للعلماء
Artinya : al-Hadits dapat menyesatkan seseorang ( yang membacanya ) kecuali bagi para ulama
Berkata Imam Sufyan Bin Uyainah ( seorang ulama besar yang ahli dalam fiqih dan hadits guru Imam Syafi`i ) :
الحديث مَضِلّة إلا للفقهاء
Artinya : al-Hadits itu dapat menyesatkan seseorang kecuali bagi ulama yang faqih. ( al-Jami` li Ibni Abi Zaid al-Qairuwani : 118 )

Masalah ketujuh
7 – Apa yang saudara ungkapkan bahwa ulama mujtahid adalah manusia biasa yang mungkin saja salah dalam perbutan atau pemahaman adalah benar, tetapi sangat salah sekali jika saudara menyangka bahwa mereka yang berijtihad tidak boleh diikuti karena mereka manusia biasa. Yang sangat jelasnya, mereka bukan nabi, dan juga bukan bertarap seperti anda, tidak ada seorang ulama yang hidup sekarang ini yang mampu menandingi ilmunya Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafi`i, Imam Ahmad.

Berkata Imam adz-Dzahabi mengungkapkan didalam kitabnya at-Tadzkirah : 627-628 , diakhir ceritanya dari generasi muhaddits yang kesembilan diantara tahun 258 H – 282 H, beliau berkata : “Wahai syeikh lemah lembutlah pada dirimu, senantiasalah bersikap adil, janganlah memandang mereka dengan penghinaan, jangan kamu menyangka muhaddits pada masa mereka itu sama dengan muhaddits pada masa kita ( maksudnya dari masa 673 H – 748 H ), sama sekali tidak sama. Tidak ada seorang pun pembesar Muhaddits pada masa kita yang sampai kedudukkannya seperti mereka didalam keilmuan.”

Dari ungkapan Imam adz-Dzahabi diatas memberikan pengertian bahwa ilmu kita memang tidak setarap dengan para ulama-ulama mujtahid pada zaman dahulu. Jadi jikalau mereka berijihad ternyata salah di dalam ijtihadnya, maka mereka akan mendapat satu pahala dan tidak mendapat dosa. Bagaimana dengan anda yang tidak sampai kepada derajat ijtihad kemudian berijtihad menurut kemampuan anda? Maka kesalahan anda akan lebih banyak dibandingkan dengan ulama-ulama mujtahid yang terdahulu.
Dengan begitu seseorang yang memang sudah sampai kepada derajat mujtahid, apabila benar ijtihadnya maka akan mendapatkan dua pahala. Jika salah dalam berijtihad maka mendapat satu pahala saja. Tetapi jika anda yang belum sampai kepada tahap mujtahid berijtihad dan tersalah dalam ijtihadnya, maka anda akan mendapatkan dosa, karena berijtihad dengan kebodohan.

Masalah kedelapan

8 – Adapun ungkapan anda tentang hadits yang Shahih wajib diamalkan secara langsung adalah salah satu kesalahan. Sebab tidak semua hadits yang shahih dapat diamalkan secara lansung, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki `illat yang sangat samar sekali. Kemungkinan hadits shahih tersebut dimansukhkan, atau haditsnya muthlaq kemudian dimuqayyadkan dan lain-lain. Penulis ( insyaallah ) akan membahas permasalahan ini secara khusus .
Pada zaman sekarang ini telah banyak kita lihat golongan yang anti dan berusaha untuk menyerang dan membasmi madzhab-mahzhab yang masyhur. Dengan alasan (jargon) kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan sunnah bukan berpegang teguh dengan madzhab. Tidak pernah kita dapati di dalam al-Qur`an atau di dalam hadits Rasulullah untuk menyuruh kita bermadzhab. Bahkan para pendiri madzhab sendiri pun melarang mengikuti jejak mereka, demikian kata mereka.
Hal ini sangat aneh sekali, mereka mati-matian mengajak orang agar meninggalkan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Ahmad, tetapi mereka juga sengaja menarik orang untuk mengikuti pemikiran dan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Apakah mereka tidak tahu bahawa mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah juga disebut mengikuti madzhab? Atau mungkin mereka terlupa, juga mungkin karena ta’asub yang berlebih-lebihan terhadap Ibnu Taimiyah? Atau juga mungkin hasad dan dengki dengan pendiri para Madzhab? Kalau tidak sebab-sebab itu niscaya mereka tidak akan keberatan terhadap seseorang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, atau Syafi`i.

Kenyataan ini telah kita lihat sendiri, jikalau kita kata Ibnu Taimiyah saja yang berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah, maka maknanya madzhab-madzhab yang lain tidak benar. Sebab menurut pandangan mereka ( orang yang tidak bermazhab atau golongan Wahabi ) bahwa Taimiayah yang benar. Disini mereka terlupa bahwa Ibnu Taimiyah seorang manusia bukan seorang nabi yang tidak berdosa. Wajarkah kita larang seseorang bermadzhab, sementara kita sendiri mengikuti madzhab seseorang? Jikalau kita sebutkan seperti ini maka mereka tidak akan mengaku dengan sebenarnya. Bahkan mencoba untuk memutar balikkan Fakta, dengan ucapan kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah.

Tetapi yang menjadi pertanyaan dibenak hati saya adalah apakah pendiri-pendiri Mazhab tidak mengikuti al-Qur`an dan al-Sunnah? Tentu mereka menjawab ” Sudah tentu para pendiri madzhab mengikut al-Qur`an dan as-Sunnah tetapi mereka manusia yang mungkin memiliki kesalahan”. Jadi menurut mereka ( para anti mazhab ) karena adanya kesalahan pada ulama mujtahid maka mereka sendiri mengambil al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. Ini akan membuktikan mereka tidak akan tersalah dalam menentukkan hukum dalam berijtihad? Jikalau sekiranya mereka sadar diri dengan kemampuan meraka niscaya mereka akan berpegang teguh dengan mana-mana mazhab yang empat.
Pada kesempatan ini saya hanya mencoba untuk memaparkan beberapa dalil yang menjadi pegangan masyarakat awam dalam mengikuti madzhab yang empat, beserta makna dan tujuan ” Madzhab ” dan bila timbulnya madzhab. Dalam kesempatan lain insyaallah saya akan ketengahkan segala dalil-dali yang membatalkan anggapan-anggapan bahwa mengikuti mazhab adalah bid`ah.
Pengertian Madzhab

Kalimat Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumberkan dari kalimat Dzahaba, kemudian diobah kepada isim maf`ul yang berarti, Sesuatu yang dipegang dan diikuti. Dalam makna lain mana-mana pendapat yang dipegang dan diikuti disebut madzhab. Dengan begitu madzhab adalah suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai masalah, mungkin lebih kita kenal lagi dengan sebutan aliran kepercayaan atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup permasalahan `Aqidah, Tashawuf, Nahu, Shorof, dan lain-lain. Di dalam Fiqih kita dapati berbagai macam madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi`i. Di dalam ‘Aqidah kita dapati madzhab `Asya`irah, Maturidiyah, Muktazilah, Syi`ah. Di dalam Tashawuf kita dapati madzhab Hasan al-Bashri, Rabi`atu adawiyah, Ghazaliyah,Naqsabandiyah, Tijaniyah, dll. Di dalam Nahu kita dapati madzhab al-Kufiyah dan madzhab al-Bashriyah.


Tumbuhnya Madzhab Fiqih
Pada zaman Rasulullah SAW ”madzhab” belum dikenal dan digunakan karena pada zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat. Jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam, sementara itu umat Islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul.





Tetapi tidak seluruh shahabat mampu berfatwa dan berijtihad, sebab itulah terkenal di kalangan para sahabat yang berfatwa di tengah sahabat-sahabat Rasul lainnya. Sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Sayyidah `Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas`ud dan yang lainnya. Kenapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda. Sementara Allah telah menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang `Alim diantara mereka.
 فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya : Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.
Pada zaman Tabi`in timbul pula berbagai macam madzab yang lebih dikenal dengan madzhab Fuqaha Sab`ah ( Madzhab tujuh tokoh Fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah madzhab yang lainnya di negeri islam, seperti madzhab Ibrahin an-Nakha`i, asy-Syu`bi, dan masih banyak lagi. Sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah, Hanabilah, madzhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti karena beberapa sebab :
1 – Madzhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.
2 – Madzhab ini di turunkan dengan sanad yang Shahih dan dapat dipegang .
3 – Madzhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perobahan .
4 – Madzhab ini berdasarkan al-Qur`an dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab berbeda pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan .
5 – Ijma`nya ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat madzhab tersebut.


SETAN SELALU BERKEINGINAN MENANAMKA KEPUTUSASAN DI DALAM DIRI MANUSIA 
Setan selalu berhasrat untuk menanamkan perasaan tidak aman, putus asa akan masa depan dan pandangan pesimis terhadap peristiwa dalam diri orang-orang yang dianggap sebagai teman oleh setan. Dia tidak ingin manusia memiliki keyakinan, taat kepada Allah, menyerahkan diri kepada takdir atau menjadi manusia yang mempercayakan semuanya kepada Allah dan menjadi manusia yang optimis dan dipenuhi semangat. Karena semua itu merupakan hal-hal yang disukai Allah dan membuat manusia lebih dekat pada-Nya, dan itulah yang penting bila seseorang hidup dengan nilai-nilai moral agama. Setan tidak menginginkan manusia lebih dekat dengan Allah atau hidup dengan agama Allah secara antusias dan mengikuti aturan yang ditetapkan Allah. Oleh karena itu, setan selalu berusaha menanamkan perasaan lelah, pesimis, dan putus asa dalam diri manusia dengan menguatkan rasa keputusasaan.

Salah satu hal yang diinginkan Setan agar orang-orang yang beriman mau melakukan, tetapi tidak dapat dilakukan oleh Setan adalah membuat mereka jatuh dalam keputusasaan dalam menghadapi keadaan yang tidak diinginkan. Setan tidak berdaya menghadapi orang-orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan tidak dapat menjerumuskan mereka pada keputusasaan ini. Optimisme adalah perintah Allah yang secara jelas diungkapkan dalam Al Quran. Sehingga tidak ada keraguan bagi orang-orang yang beriman berperilaku dengan cara lain berkenaan masalah tersebut. Karena dalam ayat tersebut, Allah mengatakan pada orang-orang yang beriman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Surat Yusuf, ayat 87) Oleh karena itu, orang-orang yang beriman dapat menghindari terjerumus ke dalam pikiran seperti itu.

Pesimis juga dikutuk di beberapa ayat dalam Al Quran dan digambarkan sebagai ciri-ciri negatif pendusta. Kita diberitahu dalam ayat tersebut bahwa:
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya". Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras. (Surat Fussilat, ayat 49-50)

Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. (Surat Al-Ankabut, ayat 23)
Orang-orang yang jatuh ke dalam keputusasaan dan kedurhakaan telah jatuh ke dalam perangkap setan dan mematuhi perintahnya. Tetapi orang-orang yang beriman, yang senantiasa optimis dan memandang masa depan penuh harapan akan mendapatkan persetujuan dan pahala dari Allah di akhirat kelak, serta hidup sehat dan bahagia di dunia sebagai rahmat dari Allah. Karena mereka optimis dalam semua keadaan, berpegang teguh pada Al Quran dan merupakan teman dekat Allah, setan tidak akan mampu menipu mereka dan menimbulkan rasa putus asa kepada mereka. Karena ini merupakan masalah penting yang membangun esensi nilai moral agama, orang-orang yang beriman sangat berhati-hati berkenaan dengan ini, sebagaimana dalam semua masalah yang berkenaan dengan Al Quran lainnya.
Aspek lain yang menjadi subjek adalah bahwa setan yang segan terhadap siapa saja yang hidup dengan agama Allah, selalu menginginkan manusia untuk melakukan gaya hidup tidak beragama, di mana model pesimisme merupakan salah satu komponennya. Begitu banyaknya sehingga dalam beberapa lingkungan masyarakat, pesimisme benar-benar menjadi filosofi kehidupan. Manusia yang dipengaruhi setan mengekspresikan rasa pesimis dalam lagu, film dan tulisan yang berisi pesimisme dan keputusasaan.

Kini pesimisme tidak sesuai dengan nalar manusia, pikiran logis, dan kekuatan untuk mengambil keputusan yang sehat. Pesimisme merusak kesehatan mental dan fisik dan merupakan kekacauan psikologis yang bahkan bisa mengarah pada bunuh diri, tergantung pada keparahan rasa pesimis yang diderita. Tentu saja, setan tidak dapat mengharapkan manusia hidup menurut nilai-nilai moral Al Quran. Dan ini benar-benar sesuai dengan tujuan setan. Karena dengan cara ini dia memimpin orang-orang yang tersesat dari nilai-nilai moral agama sedemikian rupa sehingga mereka tidak punya harapan akan Akhirat, dan mengutuk mereka dalam penderitaan kekal bersamanya. Hal ini telah menjadi tujuan terbesar setan perjalanan kehidupan manusia.

Seseorang yang berputus asa juga menyebarkan pesimisme dan perasaan negative ke orang-orang di sekelilingnya. Dengan sikap ini, secara harfiah, dia bertindak sebagai pembantu setan. Karena, melalui dirinya setan lebih giat menanamkan pikiran semacam itu kepada manusia. Dengan mengadopsi sikap seperti itu, seseorang, secara sukarela atau tidak, telah membantu melayani setan. Namun manusia diciptakan untuk melayani Allah dan agama-Nya, bukan setan.
Diposkan oleh A.Khudori Yusuf lc di 11:40 0 komentar Link ke posting ini 
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz 
Reaksi: 
Mengenal Aqidah Ahlussunah Wal Jama'ah 
Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah ? 
Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه
“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.

Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.

Sejak kapan istilah golongan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) muncul ? 
Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) al-Asy’ari dan abu Manshur al-maturidi. Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode ‘Ali bin Abi Thalib KW. Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .

Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “ [1]. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.

Apa latar belakang sejarah yang menyebabkan lahirnya akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah ?
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan akidah. Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat pemaksaan paham akidah Mu’tazilah oleh penguasa. Dalam situasi kacau dan resah itulah muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai paham teologi Aswaja. Makin lama pengikut paham ini makin besar. Sementara di daerah lain, yakni Samarqand Uzbekistan dan di Mesir, Imam Abu Manshur al-Maturidi dan at-Thahawi, juga berhasil menyusun rumusan teologi yang pararel dengan rumusan Imam al-Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu
BUKALAH MATA HATI, KARENA MATA HATI BISA MELIHAT APA YG TIDAK DILIHAT OLEH MATA KEPALA
WASSALAM...!! 
diambil dari facebook
Artikel Terkait

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...